• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 17 Mei 2024

Jakarta Raya

Rais Syuriyah PWNU DKI Terangkan Makna Shalat Sebagai Mi'rajul Mukmin

Rais Syuriyah PWNU DKI Terangkan Makna Shalat Sebagai Mi'rajul Mukmin
Kiai Muhyidin mengingatkan agar shalat yang dilakukan harus penuh dengan kesadaran jiwa, bukan karena tekanan apapun tapi murni dari kesadaran jiwa. (Foto: NU Online Jakarta/Haekal Attar).
Kiai Muhyidin mengingatkan agar shalat yang dilakukan harus penuh dengan kesadaran jiwa, bukan karena tekanan apapun tapi murni dari kesadaran jiwa. (Foto: NU Online Jakarta/Haekal Attar).

Jakarta Selatan, NU Online Jakarta


Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Muhyidin Ishaq menerangkan makna shalat sebagai 'Mi'rajul Mukminin'. Shalat dipercaya sebagai media orang mukmin untuk naik dari bumi, menuju Sidratul Muntaha untuk "Bertemu" Allah sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saat peristiwa Isra' Mi'raj.


"Rasulullah bersabda 'Ash-shalatu Mi’rajul Mukmin', Shalat itu merupakan media Mi’raj-nya orang yang beriman. Jadi nabi Muhammad itu mi'raj-nya ke Sidratul Muntaha, kalau orang muslim akhir zaman Mi'raj-nya kita dengan shalat," kata Kiai Muhyidin saat pengajian tiap dua minggu sekali di Masjid Al-Awwabin, Pesantren Miftahul Ulum, Gandaria Selatan Jaksel, Minggu (11/6/2023).


Sebagaimana ajaran Nabi Muhammad, Kiai Muhyidin menceritakan bahwa dahulu ketika Nabi sedang lelas dari rutinitasnya yaitu bekerja dan berdakwah. Nabi Muhammad menggunakan Shalat sebagai media untuk beristirahat, Nabi memanggil sahabat Bilal Bin Rabbah dengan seruan “Ya Bilal, aqimissholata, arihna biha,” artinya; Wahai Bilal, segeralah adzan (untuk mendirikan shalat) dan istirahatkan kami dengan shalat tersebut.


"Jadi shalat itu istirahatnya dari kehidupan dunia," jelas Pengasuh Pesantren Miftahul Ulum tersebut.


Kiai Muhyidin mengingatkan agar shalat yang dilakukan harus penuh dengan kesadaran jiwa, bukan karena tekanan apapun tapi murni dari kesadaran jiwa.


"Seperti layaknya anak TK (Taman Kanak-kanak), ketika dipaksa sekolah sama orang tuanya, ketika tidak mau orang tuanya mengiming-imingi hadiah entah permen atau es krim dan sebagainya agar anaknya tersebut mau sekolah. Janganlah kita shalat seakan-akan hanya mengharap dari Allah karena akan diganjar surga," jelasnya.


Boleh untuk berharap pahala yang mengantarkan kita ke surga, Kiai Muhyidin menyambungkan, akan tetapi lebih baik mengumpamakan sebagai kebutuhan jiwa layaknya makan dan minum.


"Jadi kita shalat terasa, kita yang butuh kepada Allah. Karena sejatinya Allah ta'ala tidak sama sekali tidak membutuhkan shalat kita justru sebaliknya kitalah yang membutuhkan Allah," tutupnya.


Editor: Haekal Attar


Jakarta Raya Terbaru