• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Selasa, 30 April 2024

Literatur

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Dari Betawi ke Masjidil Haram, Perjalanan Singkat Syekh Junaid Al-Batawi

Dari Betawi ke Masjidil Haram, Perjalanan Singkat Syekh Junaid Al-Batawi
Syekh Junaid al-Batawi menjadi sosok yang sangat dihormati dan kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat. (Ilustrasi: Syekh Junaid al-Batawi).
Syekh Junaid al-Batawi menjadi sosok yang sangat dihormati dan kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat. (Ilustrasi: Syekh Junaid al-Batawi).

Orang Betawi Tak Hanya Pandai Melawak

Orang Betawi identik dengan aksi yang kocak, egaliter dan bicara apa adanya. Stereotype yang selalu melekat itu terkadang membuat salah persepsi sebagai masyarakat yang tak ‘punya isi’. Padahal, sejak abad ke-18, kiprah intelektual Betawi diakui di Tanah Suci dan memiliki pengaruh besar dalam membangun Indonesia.


Ulama Betawi yang memiliki jaringan dan pengaruh kuat di dunia Islam pada awal abad ke-19 serta menjadi poros atau puncak utama adalah Syekh Junaid al-Batawi. Ia adalah ulama Betawi yang lahir di Pekojan Jakarta Barat. Dari sejarah silsilah yang berhasil terdokumentasi, Syekh Junaid al-Betawi masih keturunan darah biru. Secara lengkap ialah Syekh Junaid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Raden Abdul Muhit bin Pangeran Cakrajaya Nitikusuma (Adiningrat IV) bin Raden Aria jipang (Sayid Husein) bin Raden Bagus Surawiyata (Sayid Ali) bin Raden Fattah (Sayid Hasan), pendiri Kesultanan Demak. 


Hijrah ke Mekkah

Tak banyak data sejarah yang bisa membuktikan kehidupan nyata maupun pengaruh keilmuan Syekh Junaid al-Betawi. Data otobiografi beliau justru terungkap dalam tulisan catatan perjalanan Orientalis terkemuka asal Belanda C. Snouck Hurgronje (1936 M) setelah berhasil menyusup ke Makkah pada 21 Januari 1885, bahkan sempat tinggal selama tujuh bulan disana. Jurnalnya berjudul Mecca In The Latter Part Of 19th Century.


Hurgronje menulis, di Makkah pada perempat ketiga Abad ke-19, ada “sesepuh” (Nestor) para ulama Jawa yang berasal dari Tanah Betawi bernama “Junaid” yang sudah menetap selama 50 tahun. Perkiraan sementara, beliau sudah bermukim di Makkah sejak tahun 1834, tanpa diketahui secara pasti kapan waktu hijrahnya. Jika data ini benar, berarti Syekh Junaid berhijrah ke Makkah dalam usia yang cukup matang, sekitar 30 tahun.


Menjadi Imam Masjidil Haram

Rakhmad Zailani Kiki dkk dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2018), mengatakan, Syaikh Junaid Al-Batawi adalah sosok yang berpengaruh di Makkah. Sebagai imam Masjidil Haram, ia terkenal di seantero dunia Islam Sunni dan mazhab Syafi'i sepanjang abad ke-18 dan 19. Menurut Ridwan Saidi, Syekh Junaid al-Batawi mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan dunia Islam. Misalnya, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab karangan lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren Indonesia dan di luar negeri. Murid Syekh Junaid yang lain adalah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi seorang imam, khatib, dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’I. Berkat keluasan ilmunya diberikanlah gelar padanya “Syekh al-Masyāyikh” “Gurunya para guru” . 


Penghormatan Dari Keluarga Raja

Saat Makkah ditaklukkan pada tahun 1925 M dan diadakan perjanjian gencatan senjata antara Raja Ali bin Husein dengan Raja Ibnu Saud, keluarga Syekh Junaid masuk dalam list resmi pemerintah kerajaan yang diberi hak istimewa, karena telah menjalin hubungan baik dengan penguasa Makkah sebelumnya. Keturunan keluarga Betawi terdeteksi sejak 1987 M sampai sekarang dan masih tetap dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia.


Bahkan konon, keluarga besar Syekh Junaid yang bermukim di Jeddah biasa mengadakan acara Maulid dan Isra Miraj, padahal kegiatan-kegiatan sejenis sangat “tabu” dilakukan kalangan ulama dan penguasa Arab Saudi karena perbedaan ideologi. Sangat terlihat, betapa terhormat nama Syekh Junaid al-Betawi di kalangan keluarga kerajaan, bahkan hingga saat ini.


Saking dihormatinya Syaikh Junaid di Makkah, tulis Buya Hamka (dalam Shahab, 2009), ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, salah satu syarat penyerahannya adalah meminta "keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud. Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu Saud”.


Akhir Hayatnya

Sama halnya dengan tahun kelahirannya, tahun meninggalnya Syaikh Junaid juga tak diketahui pasti. Menurut Direktur Islam Nusantara Center (INC), A Ginanjar Sya’ban, meninggal pada akhir abad ke-19 Masehi. Adapun makam Syaikh Junaid, kata Dosen Filologi dari Universitas Padjajaran itu, berada di kompleks Pemakaman Al-Ma'la, tak jauh dari Masjidil Haram.


Alwi Shahab, budayawan Betawi, menulis 1840 M sebagai tahun wafat Syekh Junaid di usianya yang ke 100 tahun di tanah suci. Namun Ridwan Saidi meragukan analisa ini, karena pada tahun 1894-1895, ketika Snouck Hurgronje berhasil menyusup ke Makkah, Syekh Junaid diketahui masih hidup dalam usia yang sangat lanjut. Terlepas dari semua fakta ini, Syekh Junaid merupakan sosok teladan hebat yang mengabdikan sebagian besar usianya demi perkembangan khazanah Islam.


Berkat kiprahnya yang sangat harum di dunia islam internasional, sekaligus mengharumkan nama Betawi itu sendiri. Syekh Junaid al-Batawi menjadi sosok yang sangat dihormati dan kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat. Nama Junaid Al-Batawi menggantikan nama Jalan Lingkar Luar Barat di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat.
 

Sumber:
Jayana, Thoriq Aziz. Ulama-Ulama Nusantara Yang Mempengaruhi Dunia. Noktah, 2021.

Hurgronje, Snouck. Mecca in the Latter Part of 19th Century. Leiden: Boston, 2007.


Derani, Saidun. “Ulama Betawi Perspektif Sejarah.” Buletin Al-Turas 19, no. 2 (2018): 217–40. https://doi.org/10.15408/bat.v19i2.3717.

https://sidogirimedia.com/syekh-junaid-al-betawi-w-1840-m-syaikhul-masyayikh-yang-dilupakan-sejarah/ diakses pada 10 Mei 2023.


Artikel di atas merupakan karya dari Miftah Fayiz Mubarok, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online. 


Literatur Terbaru