• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 10 Mei 2024

Opini

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Elastisitas Keberagamaan Ala Prof Quraish Shihab

Elastisitas Keberagamaan Ala Prof Quraish Shihab
karakter elastis tersebut begitu melekat dalam banyak aspek dari ajaran Islam (Ilustrasi: isqw.us/NU Online)
karakter elastis tersebut begitu melekat dalam banyak aspek dari ajaran Islam (Ilustrasi: isqw.us/NU Online)

Bagi Penulis pribadi, seminar internasional yang diadakan Pendidikan Kaderisasi Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) 16 Februari 2023 tempo hari, menjadi momen yang sulit terlupakan. Seminar itu sendiri bertajuk “Meredupnya Karya-karya Tafsir dan Ulumul Qur’an Pasca Al-Misbah.” Ia menjadi istimewa lantaran yang hadir dan bertindak sebagai keynote speaker ketika itu adalah Prof Dr Quraish Shihab, salah satu begawan tafsir Indonesia kontemporer.


Sekian tahun Penulis membaca pemikiran Prof Quraish dan mengambil manfaatnya dalam berbagai bentuk. Namun belum pernah ada kesempatan untuk bertemu langsung dengannya kecuali setelah datangnya momen seminar itu. Di antara keunikan pemikiran Quraish Shihab sehingga menjadikannya istimewa adalah karakter elastisitasnya.


Elastisitas Ajaran Islam

Elastisitas dalam literatur Islam dikenal dengan istilah murunah. Kata ini merujuk juga pada kelenturan. Dalam KBBI, elastis atau lentur berarti mudah berubah bentuknya dan mudah kembali ke bentuk asal. 


Memang tidak semua ajaran Islam bisa bersifat elastis. Namun harus dicatat juga bahwa karakter elastis tersebut begitu melekat dalam banyak aspek dari ajaran Islam. Di antara yang bisa disebutkan di sini adalah fiqih yang merupakan sekumpulan peraturan hukum dan etika yang diperuntukkan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. 


Dalam rangka menyelesaikan tesis di International Islamic University Malaysia (IIUM), Penulis pernah mewancarai Gus Ulil Abshar Abdalla, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama Jakarta bahkan tentu saja di level nasional. Satu pernyataan inspiratif beliau yang hingga kini Penulis ingat adalah bahwa sedemikian elastis hukum Islam sehingga ia bisa dilukiskan sebagaimana spektrum cahaya yang bergerak perlahan dari putih, beraneka warna dari biru, hijau, merah, hingga kepada hitam. Hal yang sama berlaku juga pada hukum Islam; ia bergerak dari yang wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram. 


Perubahan dan elastisitas itu terjadi karena kondisi yang mengitari subyek hukum itu sendiri berubah. Karena itu, perlu disebutkan juga bahwa perubahan itu tidak berlaku mutlak kepada semua orang dalam segala kondisi yang mereka hadapi. Namun lebih tepat untuk dikatakan tergantung kepada kondisi yang dihadapi orang per orang. 


Peran sentral kondisi inilah yang kemudian dilukiskan oleh para sarjana dengan istilah ‘illah sehingga muncul kaidah al-hukmu yadur ma’a al-illati wujudan wa ‘adaman; ada tidaknya suatu hukum tergantung kepada keberadaan illatnya. Prinsip elastisitas inilah yang kemudian Penulis temukan juga pada pemikiran Prof Quraish, terutama ketika beliau menyinggung isu penyamarataan agama-agama.


Elastisitas dalam Isu Penyamarataan Agama.

Secara teoritis, isu penyamarataan agama termasuk dalam diskursus pluralisme agama. Pluralisme agama itu sendiri memang sebuah istilah umum yang mengandung beberapa perbedaan pendefinisian. Sejauh pluralisme agama didefinisikan sebagai pemahaman yang bermuara pada penyamarataan agama-agama yang ada, sehingga setiap agama dianggap sama-sama sah untuk mencapai keselamatan, maka elastisitas pemikiran Prof Quraish berikut patut untuk diperhatikan.


Dalam menanggapi isu tersebut, Prof Quraish menyarankan setiap Muslim untuk mempunyai dua sikap; sikap ke dalam (eksklusif) dan sikap ke luar (inklusif). Secara internal, setiap Muslim diwajibkan untuk mempercayai bahwa hanya agama yang dianutnya lah yang benar; sementara yang lain salah. Hal ini merupakan akidah pokok dari seorang Muslim yang jika tidak diyakininya akan menggiringnya kepada kekufuran.


Meski demikian, sikap tersebut tidak perlu disebarluaskan secara tidak beraturan di ruang publik yang mana masyarakatnya terdiri dari pelbagai agama. Sikap tersebut lebih merupakan keyakinan yang terpatri dalam hati untuk menjadi dasar dalam bersikap dan berbuat dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan sikap ke dalam.


Adapun sikap ke luar, lanjut Prof Quraish, yang perlu dikatakan oleh seorang Muslim adalah bahwa Allah lah yang akan menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah (As-Sajadah: 25). Sekilas, pernyataan tersebut memang terkesan melahirkan sikap abu-abu, yaitu kebimbangan seorang Muslim terhadap kebenaran agamanya. Namun, menurut Penulis, sikap tersebut lebih merupakan bentuk toleransi seorang Muslim terhadap sesama manusia lain agama.


Kombinasi antara sikap ke dalam dan sikap ke luar seperti ini menjadikan seorang Muslim begitu elastis dalam sikap keberagamaannya. Sebagaimana yang diilustrasikan oleh surat Ibrahim 24, keyakinan akan kebenaran agamanya begitu kokoh dalam hati dan fikirannya (ashluha tsabit). Namun pada saat yang sama, keyakinan tersebut tidak lantas menjadikannya intoleran terhadap sesamanya. Justru ia mampu bergaul bahkan dengan umat lain agama sekali pun dengan begitu dinamis (wa far’uha fi al-sama’) tanpa harus mengorbankan keyakinannya tersebut. 


Di era kontemporer ini, sesungguhnya muncul berbagai sarjana dengan kitab tafsir lengkap masing-masing. Namun, dengan elastisitas dan moderasi pemikiran semacam ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hingga hari ini belum terlihat sosok mufassir Indonesia yang tingkat keterterimaan pemikirannya sama atau bahkan melampaui apa yang telah diwariskan oleh Prof Quraish Shihab, Wallahu A'lam.


Artikel di atas merupakan karya dari Muhammad Abdul Aziz, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online. 


Opini Terbaru