• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 9 Mei 2024

Opini

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Belajar Persatuan dari Kerak Telor

Belajar Persatuan dari Kerak Telor
Ilustrasi: Kerak Telor (Foto: pixabay.com).
Ilustrasi: Kerak Telor (Foto: pixabay.com).

Kerak telor adalah makanan khas asal Betawi paling kesohor. Dalam catatan historis, makanan ini memiliki beragam versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa kerak telor tercipta tanpa sengaja. Ketidaksengajaan itu terjadi ketika masyarakat Betawi di kawasan Menteng mencoba meramu bahan-bahan makanan yang ada di sekitarnya dan jadilah “kuliner baru” berupa kerak telor itu (Yudhiet Fajar Dewantara, 2018).  


Jika dimaknai secara reflektif, riwayat ini mengetengahkan setidaknya dua bentuk kearifan. Kearifan pertama adalah mengenai pilihan untuk menggunakan bahan-bahan yang melimpah di wilayah Jakarta atau Batavia di masa lalu. Dalam ruang masyarakat kita, pilihan ini seperti proses pengenalan jatidiri, proses menemukan kekuatan dan mengakui kelemahan secara jujur yang pada akhirnya membentuk satu orisinalitas yang berakar dari tradisi sendiri. Orisinalitas itu memantulkan pandangan yang tidak silau dengan sesuatu di luar diri. 


Kearifan kedua kita temukan dalam proses peramuan kerak telor. Siapa saja sepakat bahwa meramu adalah proses yang tidak mudah, penuh trial and error. Ketika Pancasila disepakati sebagai grundnorm atau norma dasar bangsa kita misalnya, proses peramuannya tidak terjadi dalam waktu singkat. Ramuan Pancasila memiliki dinamika panjang. Apa yang dapat dipelajari dari proses ini adalah kemauan untuk tidak berhenti dan menyerah dalam menyatukan bahan-bahan yang berbeda menjadi produk baru dengan takaran yang pas. 


Peramuan atas keragaman bahan kerak telor menggumpalkan kesatuan baru yang saling mengikat. Beras ketan, telur, ebi, bumbu-bumbu seperti yang utama kelapa sangrai, dan sebagainya, dipadukan dan diolah menggunakan perimbangan komposisi yang tidak sembarangan. Hal ini membutuhkan kemauan dan kemampuan yang tangguh.  


Dua kearifan ini, baik dalam pemilihan bahan maupun proses peramuan kerak telor, jika ditarik dalam dinamika sosial, bisa menjadi amsal bagi pentingnya pengikatan, persatuan atau pemanunggalan masyarakat. Sebagai gambaran, Jakarta satu abad lalu tentu berbeda dengan Jakarta hari ini. Jakarta telah menjadi kota metropolitan dengan keragaman suku, ras, agama, dan golongan, yang barangkali tak tertandingi dan paling kompleks di Indonesia. 


Berarti Jakarta hari ini dibentuk oleh “bahan-bahan” dari seluruh Indonesia, atau bahkan mancanegara. Jika “bahan-bahan” ini tidak bisa dipadukan, maka yang terjadi adalah segregasi antarmasyarakat. Konflik dapat terjadi kapan saja sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengenali diri. Di sinilah proses peramuan yang berarti membutuhkan kemauan, kemampuan, keuletan, dan ketahanan untuk mempersatukan komposisi yang pas dengan tujuan luhur sama, dibutuhkan. 


Sebagaimana peramuan Pancasila, maka yang harus dilakukan adalah membangun kehendak bersama untuk kemaslahatan, terutama oleh para pemimpin. Dalam ushul fiqih kita mengenal kaidah tasharruful imam ‘alarrai’iyyah man’uthun bil maslahah. Demikian pula seluruh komponen perlu padu dan ambil bagian dalam membina persatuan, dan tidak melakukan hal sebaliknya, yaitu memecah belah atau bahkan sengaja menciptakan konflik. Yang perlu selalu diingat bahwa kerak telor hanya bisa tercipta oleh karena adanya kesatupaduan—dan karena itu ia bisa memberikan nutrisi dan juga kenikmatan kepada kita. 


Artikel di atas merupakan karya dari M. Najibur Rohman, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online. 


Opini Terbaru