Opini

Catatan Singkat SNIPER II: Quo Vadis Ekoteologi NU di Energi Baru dan Terbarukan?

Ahad, 15 Juni 2025 | 18:00 WIB

Catatan Singkat SNIPER II: Quo Vadis Ekoteologi NU di Energi Baru dan Terbarukan?

Ilustrasi Ekoteologi: Memadukan sains dan nilai spiritual dalam menjaga alam sebagai amanah Allah. (Foto: freepik)

Saya merasa beruntung bisa ikut kajian di SNIPER (Sekolah Nahdliyyin Pergerakan) Angkatan Kedua yang diselenggarakan oleh PWNU DKI Jakarta, terlebih di sesi pertemuan tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Swasembada Energi Nasional, Sabtu (14/06/2025) yang disampaikan oleh Tata Sukardi S.T., M.T., Ph.D, Direktur Pusat Riset untuk Konversi Energi dan Konservasi BRIN.

 

Sebagai orang yang belakangan ini terlibat dalam kegiatan lingkungan hidup dan penulis buku tematik Dakwah & Lingkungan terbitan Lembaga KODI (Koordinasi Dakwah Islam) DKI Jakarta, saya sangat tertarik dengan materi yang disampaikan oleh narasumber yang pernah menjabat sebagai Ketua PCI NU Skotlandia ini, apalagi saya sedang banyak mempelajari ekoteologi lintas agama yang akhir-akhir ini sedang digencarkan juga oleh Kementerian Agama RI.

 

Perhatian saya tertuju pada peta jalan Indonesia dalam transisi energi menuju net zero emission atau meninggalkan energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, di tahun 2060 dan menggantikannya dengan bauran atau mixed Energi Baru Terbarukan (EBT). Indonesia ini menurut saya keren dan sangat serius untuk EBT, hampir semuanya diambil: energi air, energi surya, energi bayu, biomassa, biogas, hidrogen, bahkan nuklir dan geothermal atau panas bumi. Di dua terakhir ini, saya coba berbagi di sesi tanya jawab. Semangatlah saya bertanya dalam perspektif ekoteologi. Tokoh yang saya angkat adalah Gus Dur untuk masalah energi nuklir dan keuskupan di NTT untuk energi geothermal.

 

Menurut saya, ekoteologi di Indonesia sudah dulu dimiliki oleh NU melalui pemikiran dan kiprah tokoh-tokohnya seperti Gus Dur dan Prof. K.H. Ali Yafie. Dalam masalah energi nuklir, Gus Dur bukan sekadar berkutat di pemikiran saja, tetapi sudah bersikap untuk menolak adanya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Ketika ada seorang menteri mempertanyakan penolakan Gus Dur terhadap PLTN, Gus Dur tidak langsung menjawab. Tetapi mengajak menteri tersebut ke kilang minyak milik Pertamina di daerah Cirebon untuk menteri melihat sendiri bagaimana kurang aman, ketat, dan bersihnya pengelolaan minyak tersebut. Masih ada ceceran minyak di mana-mana yang dapat merusak lingkungan hidup dan mengancam kesehatan serta kehidupan masyarakat sekitar. Ini baru minyak, bagaimana dengan nuklir? Apakah bangsa kita mampu mengelola energi nuklir dan limbahnya dengan keamanan dan kebersihan yang super ketat dan maksimal sehingga tidak ada radiasi yang bocor atau tercecer yang merusak manusia dan lingkungan hidup? Ini catatan pertama.

 

Catatan kedua tentang geothermal. Di Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) saat ini, izin untuk pembangunan PLT geothermal atau PLT Panas Bumi (PLTP) sudah keluar untuk beberapa tempat, namun sampai saat ini belum bisa dijalankan karena mendapat penolakan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama Katolik, terutama beberapa keuskupan di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Pulau Flores. Penolakan ini awalnya datang dari Keuskupan Agung Ende, namun kemudian didukung oleh keuskupan lain di Flores.

 

Alasan penolakan ini karena dari data lapangan yang mereka dapat, PLTP dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Mereka khawatir proyek ini akan menyebabkan penyusutan lahan pertanian dan pemukiman, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang mayoritas bergantung pada pertanian. Para uskup khawatir bahwa eksploitasi panas bumi yang tidak bijaksana dapat merusak ekosistem yang rapuh di Flores, yang merupakan daerah kepulauan dengan topografi gunung dan berbukit. Selain kekhawatiran lingkungan, penolakan juga didasari pada dampak sosial dan ekonomi yang mungkin timbul, seperti hilangnya lahan pertanian, terganggunya mata pencaharian masyarakat, dan potensi konflik sosial.

 

Dari dua kasus penolakan ini, terlihat bahwa ekoteologi memiliki keberpihakan dan kepentingan yang jelas, yaitu pada prioritas keselamatan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat dibandingkan mengejar target penyediaan dan swasembada energi.

 

Maka posisi nahdliyyin, terutama pascaGus Dur dan Prof. K.H. Ali Yafie, harus jelas dalam menyikapi dua kepentingan ini, quo vadis? Apalagi PLT Nuklir di peta jalan tersebut akan diadakan di Indonesia pada tahun 2033. Menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut. Ini sekadar catatan saja, jika tidak berkenan, mohon diabaikan.

 

Penulis adalah Kader NU, Penulis Buku Dakwah dan Tematik Lingkungan