Opini

RUU Sisdiknas Tanpa Madrasah: Saatnya Nahdliyin Mengawal Masa Depan Pendidikan Nasional

Jumat, 30 Mei 2025 | 11:00 WIB

RUU Sisdiknas Tanpa Madrasah: Saatnya Nahdliyin Mengawal Masa Depan Pendidikan Nasional

Ilustrasi siswi madrasah. (Foto: dok. NU Online)

Madrasah telah menjadi tulang punggung pendidikan Islam di Indonesia sejak era kolonial, khususnya di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai alumni MTs NU dan MA NU Demak, saya menyaksikan langsung bagaimana madrasah tidak hanya mencetak generasi yang alim, tetapi juga menginternalisasi nilai kebangsaan dan multikulturalisme. Dalam konteks inilah, absennya penyebutan madrasah dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas patut menjadi perhatian serius.

 

Tulisan ini sebagai respons ancaman krisis legal-institusional madrasah. Berdasarkan data Kementerian Agama RI (2024), terdapat lebih dari 90.000 madrasah (RA, MI, MTs, MA) dengan jumlah 10 juta siswa. Dari jumlah tersebut lebih 85% di antaranya berafiliasi dengan NU.
 

Menurut riset yang dilakukan oleh Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) (2013), disebutkan bahwa; Madrasah berkontribusi kurang lebih 11% dalam partisipasi sekolah dasar (MI) dan 22% dalam partisipasi sekolah menengah pertama (MTs). Artinya, setiap kebijakan yang mengabaikan madrasah, sangat berpotensi merugikan jutaan siswa dan melemahkan fondasi pendidikan berbasis keagamaan.
 

Problem: RUU Sisdiknas dan Ancaman Delegalisasi Madrasah


Madrasah telah mendapatkan posisi legal yang kuat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal-pasalnya, madrasah disebutkan secara eksplisit sebagai satuan pendidikan formal di jenjang pendidikan dasar dan menengah, dengan hak yang setara dalam pengelolaan kurikulum, penerapan standar nasional pendidikan, pembiayaan, hingga partisipasi masyarakat.


Namun, dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas Bab V, penyebutan istilah madrasah hilang tanpa penjelasan. Tidak ada satu pun pasal maupun klausul yang secara eksplisit mengakui keberadaan madrasah sebagai bagian dari satuan pendidikan formal. Padahal, implikasi hukumnya serius, di antaranya:

 

1. Risiko Kehilangan Akses Afirmatif.

Madrasah berpotensi kehilangan jaminan pendanaan khusus seperti Dana BOS Madrasah, yang pada 2024 mencapai Rp12 triliun. Hal ini bertentangan dengan semangat Putusan MK No. 24/PUU-V/2007 yang menegaskan bahwa anggaran pendidikan harus inklusif dan non-diskriminatif, termasuk untuk madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas No. 20/2003).


2. Ancaman terhadap Status Legal-Formal.
 

Penghilangan istilah madrasah dalam RUU Sisdiknas berisiko menurunkan posisi hukum madrasah, mengacu pada prinsip kesetaraan dalam UUD 1945 Pasal 31 dan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang secara tegas mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Status formal madrasah terancam diturunkan jadi lembaga non-formal, dan kurikulum keagamaan bisa diambil alih Kemendikbud, bukan lagi Kementerian Agama.


Menghilangkan istilah madrasah dalam RUU Sisdiknas bukan sekadar persoalan istilah hukum, tetapi menyentuh aspek politik pendidikan nasional. Madrasah berpotensi mengalami pelemahan status legal-formal, berkurangnya ruang akses anggaran pendidikan nasional, hingga ketidakjelasan dalam pelaksanaan standar nasional pendidikan dan kurikulum berbasis keagamaan yang selama ini di bawah supervisi Kementerian Agama.

 

Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa koreksi, maka dampaknya akan sangat serius. madrasah bisa dipinggirkan dari sistem pendidikan nasional yang resmi, hanya diperlakukan sebagai lembaga keagamaan non-formal, tanpa kedudukan setara dengan sekolah umum. Aspirasi warga NU yang selama ini menjadi pendukung utama madrasah di Indonesia pun bisa dikecewakan. Bahkan fenomena ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan politik pendidikan nasional. Seperti diingatkan Azyumardi Azra (2019), madrasah adalah guardian of moderate Islam yang berperan menjaga keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan, serta beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia.
 


Solusi: Reposisi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional


Untuk menghindari eksklusi sistemik terhadap madrasah dalam kerangka RUU Sisdiknas, diperlukan langkah-langkah solutif yang bukan sekadar reaktif, tetapi bersifat proaktif, strategis, dan berorientasi jangka panjang. Setidaknya terdapat empat domain yang harus menjadi perhatian serius:
 


1. Afirmasi Legal-Formal di Tingkat Legislasi

 

RUU Sisdiknas harus secara eksplisit menyebutkan madrasah sebagai satuan pendidikan formal di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah, setara dengan sekolah umum. Penyebutan ini bukan sekadar nomenklatur administratif, tetapi pengakuan legal yang menentukan akses pendanaan, hak pengelolaan kurikulum, supervisi mutu, hingga ruang partisipasi publik. Jika madrasah tidak disebutkan, maka secara hukum ia rentan mengalami deklasifikasi status — dari lembaga pendidikan formal menjadi lembaga non-formal berbasis agama. Inilah bentuk delegalisasi terselubung yang dapat merugikan masa depan pendidikan Islam di Indonesia.

 

2. Skema Pembiayaan yang Adil dan Berkelanjutan

 

Pemerintah wajib menyusun skema pembiayaan madrasah secara proporsional dalam APBN dan APBD, sejalan dengan prinsip non-diskriminasi yang diamanatkan oleh Putusan MK No. 24/PUU-V/2007. Tidak boleh ada pembedaan perlakuan antara sekolah umum dan madrasah dalam aspek anggaran. Bahkan, madrasah swasta yang selama ini dikelola masyarakat justru harus mendapat skema afirmasi khusus sebagai bentuk kompensasi atas kontribusinya dalam pemerataan akses pendidikan, terutama di wilayah pinggiran, pedesaan, dan daerah tertinggal.

 

3. Reformulasi Kurikulum Integratif dan Kontekstual


Kurikulum madrasah harus didorong menjadi model pendidikan integratif yang memadukan ilmu keagamaan, ilmu sosial, dan ilmu eksakta secara proporsional. Formulasi ini bukan saja penting untuk menjaga karakter Islam moderat, tetapi juga memastikan lulusan madrasah mampu beradaptasi dengan tantangan global tanpa kehilangan identitas keislamannya. Kementerian Agama harus tetap menjadi institusi yang berwenang mengembangkan kurikulum madrasah, bukan dialihkan ke Kementerian Pendidikan, untuk menjaga akomodasi nilai keagamaan dalam sistem nasional.

 

4. Standarisasi Mutu dan Akreditasi Kontekstual

 

Penting disusun standar nasional pendidikan madrasah yang tidak sekadar menyalin standar sekolah umum, tetapi memperhitungkan karakteristik kelembagaan berbasis keagamaan. Model akreditasi madrasah harus mempertimbangkan input, proses, dan output pendidikan yang khas, seperti capaian kompetensi keagamaan, keterlibatan masyarakat pesantren, dan keberhasilan moderasi beragama di tingkat akar rumput. Jangan sampai madrasah dipaksa tunduk pada standar sekuler yang justru bisa menggerus nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang telah mengakar kuat di lingkungan NU dan masyarakat Muslim Indonesia.
 


5. Advokasi Kebijakan Multilevel


Pergunu bersama komunitas madrasah, dan civitas akademika pendidikan Islam harus melakukan advokasi sistemik ke berbagai lini:


a. DPR RI, khususnya Komisi X dan Badan Legislasi.


b. Kementerian Agama Republik Indonesia, untuk mempertahankan kewenangan supervisi madrasah.


c. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, agar tidak abai terhadap eksistensi madrasah dalam regulasi nasional.


d. Pemerintah daerah, agar mendukung program pendidikan madrasah dalam APBD.

 

6. Penguatan Jaringan Alumni dan Duta Madrasah


Komunitas alumni madrasah NU yang telah berhasil di berbagai bidang — politik, akademik, birokrasi, bisnis, dan media — harus dimobilisasi sebagai kekuatan sosial-politik. Mereka bisa menjadi duta pendidikan Islam moderat yang memperjuangkan eksistensi madrasah di tingkat nasional maupun global. Selain itu, madrasah perlu didorong menjadi laboratorium pendidikan multikulturalisme Indonesia yang bisa dijadikan model pendidikan agama moderat di berbagai forum internasional.

RUU Sisdiknas bukan sekadar regulasi administratif, tetapi dokumen politik pendidikan nasional yang akan menentukan wajah Indonesia ke depan. Jika madrasah didelegitimasi atau tidak disebutkan secara eksplisit, maka itu bukan hanya kehilangan satuan pendidikan berbasis keagamaan, melainkan mengkhianati sejarah, nilai kebangsaan, dan semangat moderasi beragama yang telah diwariskan oleh para ulama pendiri bangsa.

 

Kini saatnya Nahdliyin di semua level bersatu. Bukan semata demi eksistensi kelembagaan madrasah, tetapi demi masa depan peradaban bangsa Indonesia yang berakar kuat pada nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.


Wallāhu a'lam bish-shawāb.

 

Dr. A. Umar, MA, Dewan Pakar Pimpinan Pusat Pergunu, Dosen MPI FITK UIN Walisongo Semarang