• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 28 Maret 2024

Sejarah

Masjid Jami Angke, Dibangun Tahun 1761 Jadi Simbol Kebinekaan di Jakarta

Masjid Jami Angke, Dibangun Tahun 1761 Jadi Simbol Kebinekaan di Jakarta
Ruang utama Masjid Jami Angke, Tambora, Jakarta Barat. Masjid Jami Angke merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. (Foto: NU Online Jakarta/Suwitno)
Ruang utama Masjid Jami Angke, Tambora, Jakarta Barat. Masjid Jami Angke merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta. (Foto: NU Online Jakarta/Suwitno)

Jakarta Barat, NU Online Jakarta

Masjid Jami Angke atau nama lainnya adalah Masjid Jami Al-Anwar merupakan salah satu bangunan tua di Jakarta yang menjadi simbol keanekaragaman atau kebinekaan. Sebab di Kampung Angke, Tambora, Jakarta Barat itu terdapat warga yang berasal dari beragam suku dan latar belakang. 


Hal itu diungkapkan oleh salah seorang pengurus Masjid Jami Angke, Jakarta, Muhammad Abyan Abdillah, saat ditemui NU Online Jakarta, pada Ahad (18/12/2022). 


Abyan menyebutkan beberapa suku yang mendiami Kampung Angke itu sejak zaman dulu hingga kini. Di antaranya Arab, India, Tionghoa, Jawa, Bali, dan Sunda. 

 
“Perpaduan itu kemudian mencermikan keadaan masyarakat kampung ini, kesatuan dan persatuan serta toleransi yang tinggi, bahkan bertahan dari dulu sampai sekarang,” ujar Abyan.


Semula, Kampung Angke merupakan pusat transit para pedagang dan pejuang-pejuang atau pendakwah dari mancanegara. Kemudian masjid ini dibangun pada tahun 1174 hijriah atau sekitar 1761 masehi pada masa kepemimpinan Pangeran Tubagus Angke atau lebih dikenal Pangeran Jayakarta II.


Abyan menceritakan alasan masjid ini lebih lebih dikenal Masjid Angke. Menurutnya, hal itu karena lokasi masjid yang berada di wilayah Kampung Angke. Ia lalu menceritakan latar belakang pembangunan masjid yang sejalan dengan perkembangan Islam abad pertengahan 15 masehi. 


"Ketika itu Sunda Kelapa ditaklukkan oleh kerajaan Demak. Kemudian namanya berubah dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta," ucap Abyan.


"Dari situlah perkembangan Islam di Jayakarta atau Jakarta ini berkembang pesat karena sudah dikuasai oleh kerajaan Islam Demak termasuk di Kampung Angke ini," imbuhnya. 


Filosofi pada Komponen Arsitektur Masjid Angke


Selain menjelaskan sejarah, pria yang masih memiliki darah keturunan Tubagus Angke itu menjelaskan bahwa di setiap komponen arsitektur masjid memiliki makna filosofis yang kuat. Ia menyebutkan, Masjid Jami Angke ini sangat kental dengan gaya perpaduan antara kebudayaan Jawa, Bali, Arab, Cina, dan Eropa.


Lebih lanjut, ia menjelaskan tiga bagian arsitektur masjid ini. Pertama, di pintu utama terdapat lima anak tangga. Kalau dikaitkan dengan syariat, maka itu menyiratkan simbol rukun Islam. 


Kedua, terdapat empat tiang utama yang dalam istilah Jawa adalah sakaguru (tiang empat). Filosofinya adalah khulafaurrasyidin atau empat sahabat yang menopang atau membantu perjuangan Nabi Muhammad.


Ketiga, jumlah jeruji-jeruji jendela berbeda-beda. Ada yang sembilan, 10, dan 20. Jeruji berjumlah sembilan dikaitkan dengan tokoh penyebaran Islam di tanah Jawa yang dikenal dengan Walisongo, 10 jeruji bermakna sebagai malaikat-malaikat Allah yang wajib diketahui, dan 20 jeruji bermakna sifat wajib bagi Allah. 


“Jadi semuanya memiliki makna atau filosofi yang bisa memotivasi generasi kita. Artinya orang-orang zaman dulu ketika membuat bangunan itu mengandung filosofi yang kuat. Yang harus digarisbawahi adalah keberagaman itu bukan berarti memunculkan perpecahan, justru untuk memperkuat persatuan,” tandas Abyan.


Bentuk bangunan Masjid Angke masih sama seperti dulu dengan mempertahankan filosofi-filosofi yang kental. Walaupun menurut keterangan Abyan, masjid ini pernah direstorasi pada 2017 karena ada bagian atap yang sudah bocor karena lapuk dimakan usia. Meski begitu, restorasi tidak mengubah bentuk bangunan yang penuh filosofi itu.


Di area Masjid Jami Angke itu juga terdapat beberapa makam tokoh-tokoh pedagang yang bermukim, pendiri masjid, dan pejuang yang gugur saat peperangan melawan penjajah. Di sebelah barat ada area makam keluarga Tubagus Angke, lalu sebelah timur ada makam Syarif Hamid Al-Qodri dari Pontianak.


Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) Nomor 1371 Tahun 2019, Masjid Jami Angke atau Masjid Jami Al-Anwar ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. 


Masjid ini kemudian menjadi destinasi wisata religi yang ramai dikunjungi peziarah dari penjuru daerah, terutama pada malam Jumat setiap pekan.


Kontributor: Suwitno
Editor: Aru Elgete
 


Editor:

Sejarah Terbaru