Sejarah

Mengapa NU Harus Didirikan?

Selasa, 20 Agustus 2024 | 11:00 WIB

Mengapa NU Harus Didirikan?

ilustrasi NU. (Foto: dok. NU Online)

Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, tak lepas dari kondisi dunia Islam dan politik global di awal abad 20. Gambarannya adalah sebagai berikut:

 

Pertama, hampir semua negeri Islam di seluruh dunia berada dalam cengkeraman imperialisme Barat, tak terkecuali wilayah yang secara resmi bernama Indonesia sejak 17 Agustus 1945 ini. 

 

Kedua, Gerakan Wahabi yang dipimpin Abdul Aziz bin Saud (cucu Muhammad bin Saud), yang mengusung puritanisme Islam makin menguat dan perlahan-lahan menguasai seluruh wilyah Hijaz. Perkawinan antara puritanisme Islam yang diusung wahabi dengan gagasan pan-Islamisme dari Jamaludin Al-Afghani yang juga menguat di Mesir pada saat itu, kemudian melahirkan apa yang disebut kelompok Islam modernis.  

 

Ketiga, paham komunisme yang awalnya hanya filsafat sosiologis Karl Marx berhasil diwujudkan menjadi sebuah sistem pemerintahan dan ekonomi oleh Vladimir Lenin dalam Revolusi Bolshevik. Lenin berhasil menumbangkan Tsar Nicholas, kaisar terakhir Dinasti Romanov Rusia pada tahun 1917, dan mengganti sistem pemerintahan Rusia dengan komunisme. Rusia adalah negara pertama yang menerapkan Komunisme sebagai antitesis dari Kapitalisme, ideologi negara-negara barat.

 

Kondisi yang terjadi di dunia internasional masa itu juga berpengaruh pada keadaan Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20, seiring dengan kebijakan politik etis Belanda, di kalangan pelajar-pelajar Bumiputera yang sedang studi di sekolah2 Belanda, mulai tumbuh kesadaran akan nasionalisme. Hal ini ditandai dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo, tanggal 20 Mei 1908 yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa bumiputera STOVIA. 

 

Namun sayang, organisasi ini bersifat eksklusif dan elitis. Budi Utomo hanya menerima anggota dari etnis jawa, spesifik lagi hanya dari kalangan priyayi dan bangsawan. Selain itu, nasionalisme yang diusung Budi Utomo, adalah nasionalisme sekuler, yang memisahkan negara dengan agama. Tentu saja keberadaan Budi Utomo ditolak mentah-mentah oleh kalangan santri, pesantren dan umat Islam pada umumnya.


Begitu pula dengan dinamika politik dan pemikiran umat Islam di Timur Tengah saat itu, juga memberi efek kepada kaum muslimin di Hindia Belanda. Gerakan modernisasi dan purifikasi Islam disambut hangat oleh sebagian kaum muslimin di Hindia Belanda. Hal itu ditandai dengan berdirinnya organisasi-organisasi Islam yang berhaluan modernis saat itu, antara lain: Sarekat Islam (lahir 1904), Muhammadiyah (lahir 1912), Al Irsyad Islamiyah (lahir 1914), Persatuan Islam (lahir 1923). 


Kelompok ini berhadapan secara face to face dengan golongan Islam Tradisionalis, yakni dari kalangan santri dan pesantren, serta mayoritas umat Islam yang mengamalkan ajaran Aswaja warisan Wali Songo dan penyebar-penyebar Islam awal lainnya. Sejak lahirnya ormas-ormas Islam modernis tersebut, maka sejak itu pula tuduhan miring dan stigma negatif mengalir kepada: mulai dari ahli bid'ah, pelaku syirik, kaum penyembah kuburan;  sampai kolot, anti kemajuan, tak paham politik dan tuduhan-tuduhan menyakitkan lainnya.


Adalah Henk Snevliet, seorang Belanda anggota Komintern, organisasi komunis internasional yang didirikan Lenin, mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) di Hindia Belanda pada tahun 1913. Sejak itu ia mulai aktif dalam menyebarkan ideologi Marxisme. Pada tahun 1917 anggota ISDV sudah mencapai 3000 orang. Salah satu kadernya yang berasal dari pribumi adalah Semaun dan Darsono. Keduanya adalah pimpinan SI (Sarekat Islam) Semarang yang berubah haluan pemikitan sejak menjadi anggota ISDV. 


Tahun 1918 Snevliet diusir oleh pemerintah Hindia Belanda, karena menggerakkan para buruh kapal laut dan tentara di Surabaya untuk memberontak kepada pemerintah HB. Sepeninggal Snevliet Semaun mengambil alih kepemimpinan ISDV dan mengganti namanya menjadi PKH (Partai Komunis Hindia). Pada tahun 1921 berubah lagi menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada 1920-an PKI menjadi partai terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Tiongkok. PKI turut mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini, dengan tiga kali melakukan pemberontakan meski semuanya gagal, yakni pada tahun 1921, 1948, dan 1965. 

 

Semaun dan Darsono aktif menyebarkan paham Marxisme di dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Ia sukses mengkader anak-anak damu muda SI, seperti Tan Malaka, Alimin, dan Muso. Sehingga SI terpecah dua: SI Merah pimpinan Semaun, Tan Malaka, dan Alimin dan SI putih pimpinan H Agus Salim. 

 

Dalam setting sosial seperti itulah NU berdiri. Hindia Belanda dikepung oleh tiga ideologi besar: ideologi penjajah barat (kapitalisme), Islam modernis-puritan, dan komunis. NU berdiri diantara semua ideologi tersebut dengan ajaran ahlussunah Wal jama'ah-nya. 


Alhasil, dari pembacaan kita terhadap kondisi sosio-historis sebelum dan saat NU didirikan, maka dapat disimpulkan, bahwa ada dua misi pokok didirikannya NU, yaitu:


Pertama, membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda. NU tidak ragu menyatakan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman, karena itu perang membela tanah air adalah termasuk jihad fi sabilillah. Jargon hubbul wathan minal iman sudah digelorakan oleh NU sejak awal berdirinya, hal ini sekaligus untuk menjawab kelompok Islam modernis-puritan yang menyatakan bahwa membela tanah air bukanlah jihad.


Setelah negara ini berdiri, NU menolak Indonesia dijadikan negara Islam, karena mempertimbangkan keragaman agama di Indonesia, tapi juga menolak sekulerisme yang menyingkirkan sama sekali agama dalam pemerintahan karena akan kering dari nilai-nilai. Ini merupakan implementasi konsep tawasuth (jalan tengah) dalam ajaran Aswaja dalam konteks bernegara.


Kedua, menjaga dan mempertahankan ajaran Islam ahlussunah wal jama'ah yang dibawa oleh Wali Songo dan penyebar Islam awal lainnya. NU adalah pewaris ajaran Wali Songo dan para penyebar Islam awal lainnya di Nusantara, yakni ajaran yang berkarakter moderat (tawasuth), serta didakwahkan dengan santun, toleran, dan tadrij (bertahap, tanpa paksaan).


Ustadz Muhammad Imaduddin, Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Jakarta Utara.