Hubungan KH Hasyim Asy’ari dengan Habib Ali Kwitang dalam Keilmuan dan Politik Kebangsaan via NU
Sabtu, 2 November 2024 | 14:00 WIB
Rakhmad Zailani Kiki
Kolomnis
Kelahiran dan Studi ke Luar Negeri
Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 atau 23 Dzulqo`dah 1287H di Jombang, Jawa Timur.Sedangkan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi atau yang dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang lahir di Jakarta, 20 April 1870 atau 20 Jumadil ula 1286H. Jadi, selisih umur keduanya hanya satu tahun, Habib Ali Kwitang lebih tua satu tahun dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari.
Ayah dari Hadaratussyekh KH Hasyim Asy`ari adalah KH Asy`ari, pengasuh Pondok Pesantren Keras, Jombang Jawa Timur dan ibunya, Nyai Halimah, putri Kyai Usman yang merupakan pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Gedang, Jombang, Jawa Timur.
Sedangkan Habib Abdurrahman al-Habsyi adalah seorang ulama dan da'i keturunan Sayyid Hadrami yang dikenal hidup zuhud. Ayahnya meninggal dunia saat Ali dalam usia kecil. Sedangkan ibunya adalah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu.
Untuk studi ke luar negeri, Habib Ali Kwitang lebih dahulu melakukannya dari pada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Habib Ali Kwitang berangkat studi ke luar negeri di usia yang sangat belia, sekitar usia 11 tahun atau pada tahun 1881 karena menjalankan wasiat ayahnya sebelum meninggal.
Tujuan pertama kali dari studinya untuk berangkat memperdalam Islam adalah Hadramaut, Yaman. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana ia menekuni belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Maulid Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-’Aydrus, Habib Zain bin ‘Alwi Ba’Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-’Aththas dan Syaikh Hasan bin ‘Awadh.
Selain ke Hadramaut, Habib Ali Kwitang juga berkesempatan ke Tanah Suci, ke al-Haramain, untuk mendapatkan ilmu daripada ulama di sana, antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah), Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, (pengarang kitab I’aanathuth Thoolibiin) Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh ‘Umar Hamdan.
Sedangkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari melakukan kunjungan pertama kali ke luar negeri, ke Tanah Suci, pada 1891 atau di usia 21 tahun untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya atas biaya mertuanya. Dia tinggal bersama istrinya di Makkah selama tujuh bulan. Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari harus kembali ke Tanah Air karena istrinya meninggal dunia setelah melahirkan seorang anak yang bernama Abdullah.
Perjalanan hidup selama di Tanah Suci ini begitu mengharukan karena anaknya juga meninggal menyusul ibunya di usia dua tahun. Namun, pada tahun 1893, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Makkah ditemani saudaranya, Anis, yang kemudian meninggal di sana.
Pada kesempatan ini, dia tinggal di Mekkah selama tujuh tahun, menjalankan ibadah haji, belajar berbagai ilmu agama Islam, dan bahkan bertapa di Gua Hira. Dilaporkan bahwa dia juga sempat mengajar di Mekkah, sebuah awal karir pengajaran yang kemudian diteruskan ketika kembali ke tanah air pada 1900.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kemudian pergi lagi ke Hijaz untuk melanjutkan pelajarannya. Selama tiga tahun dia ditemani oleh saudara iparnya, Kiai Alwi, yang kemudian menjadi pembantu terdekatnya dan teman yang paling setia dalam mendirikan Pesantren Tebuireng.
Di Mekkah, mula-mula dia belajar di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Mekkah. Dia juga belajar fiqh mazhab Syafi’i dibawah bimbingan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang juga ahli dalam bidang astronomi (‘ilm falak), matematika (‘ilm hisab), dan Aljabar (al-jabr).
Di antara guru-gurunya yang lain adalah Syaikh Nawawi dari Banten dan guru-guru “non-jawi” (bukan dari Nusantara) seperti Syaikh Shata (Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati) dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama-ulama terkenal pada masa itu.
Dari guru-guru mereka berdua, walau keduanya tidak bertemu di Makkah saat studi, mereka memiliki satu guru yang menyambungkan sanad atau genealogi intelektual keduanya, yaitu Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati (1848-1892 M) yang merupakan ulama besar dari Makkah. Dia dikenal sebagai pengarang kitab Hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn (Syarh Fath al-Mu’in), dan guru para ulama Nusantara yang belajar di kota Makkah pada akhir abad ke-19 M.
Mendirikan Lembaga Pendidikan Islam Untuk Kaderisasi Ulama
Sekembalinya ke Tanah Air, setelah selesai belajar di luar negeri, keduanya mendirikan lembaga pendidikan Islam untuk kaderisasi ulama. Bedanya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, sedangkan Habib Ali Kwitang mendirikan majelis taklim setelah mendapatkan izin dari gurunya, Habib Utsman bin Yahya, Mufti Batavia.
Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, bahwa Majelis Taklim Habib Ali Kwitang yang pertama kali beraktivitas pada tanggal 20 April 1870 merupakan majelis taklim yang tertua di Betawi. Setelah Habib Ali Kwitang wafat, majelisnya diteruskan oleh anaknya, Habib Muhammad al-Habsyi dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Habib Abdurrahman al-Habsyi.
Dari Majelis Taklim Habib Ali Kwitang inilah muncul ulama-ulama besar Betawi seperti KH Abdullah Syafi`ie (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi`iyyah) dan KH Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah) dan KH Fathullah Harun serta lainnya.
Ikhtiar Politik Kebangsaan via NU
Selain mendirikan pondok pesantren, Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari bersama alim ulama dan para pedagang juga mendirikan perkumpulan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926. Pendirian NU ini selain sebagai upaya untuk membela praktik Islam tradisionalis, juga sebagai bentuk ikhtiar politik kebangsaan dari alim ulama.
Dan pendirian Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta tidak terlepas dari peran Habib Ali Kwitang dan peran Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan pendiri dan ketua pertama NU Jakarta dengan jabatan Konsul NU Batavia.
Kisah pendirian NU di Batavia juga unik. Seperti yang disampaikan oleh KH Saifuddin Amsir bahwa Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara yang diminta oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari untuk mendirikan NU di Batavia, di tanah Betawi tidak serta-merta menerima permintaan tersebut. Guru Marzuqi memberikan syarat, jika para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang dipimpin Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah Betawi.
Dia kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebuireng untuk melihatnya secara langsung. Dari hasil pengamatan orang kepercayaannya ini, beliau mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai syariat. Atas informasi ini, Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara menerima pendirian NU di tanah Betawi dan ia menjadi pendiri dari NU Jakarta.
Permintaan pendirian NU kepada Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara di tanah Betawi langsung dari Hadhratussyekh KH Hasyim Asy`ari. Permintaan kepadanya tentu tidak sembarangan, mempertimbangkan juga pengaruh dan ketokohannya sebagai salah seorang ulama terkemuka di Betawi pada masa itu.
Guru Marzuqi bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan alumnus Makkah dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi." Ia memiliki pondok pesantren yang terkenal di tanah Betawi pada masa itu. Pendidikan yang berkualitas menjadikan para orang tua di Betawi menjadikan pondok pesantrennya sebagai pilihan utama agar anak-anaknya kelak dapat menjadi ulama terkemuka.
Namun, menurut Anto Jibril, Habib Ali Kwitanglah,sebagai guru dari Guru Marzuqi Muara, yang memberikan izin Guru Marzuqi Muara untuk mendirikan NU di Batavia setelah Guru Marzuqi Muara mengutus muridnya untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng tersebut.
Setahun kemudian, setelah peristiwa kunjungan ke Pondok Pesantren Tebuireng tersebut, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim datang ke Batavia. Mereka ingin agar NU didirikan di sana. Ketika sampai di Batavia, orang yang pertama kali ditemui Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari adalah Habib Ali Kwitang.
Dan pada tahun 1933, disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah, beberapa bulan sebelum Muktamar NU ke-8 di Petamburan, Batavia, Habib Ali Kwitang mendeklarisikan diri sebagai warga NU.
Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum Batavia Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU. Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van dendag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 Maret 1933.
Keterlibatan Habib Ali Kwitang di NU sudah terjadi setahun sebelum melakukan deklarasi tersebut. Pada tahun 1932, Habib Ali Kwitang hadir dan berpidato di Muktamar Ke-7 NU di Bandung, Jawa Barat. Muktamar NU Bandung berlangsung pada tanggal 12 sampai 16 Rabiul Tsani 1351 H bertepatan dengan 15 sampai dengan 19 Agustus 1932 M. Muktamar itu diakhiri dengan openbaar (rapat umum) yang berlangsung di masjid Jami Kota Bandung.
Pada rapat umum itu, Masjid Jami Kota Bandung dihadiri sepuluh ribu kaum Muslimin yang hadir dari kota-kota terdekat sekitar Jawa Barat, para peserta muktamar dari berbagai daerah di Indonesia, para pengurus Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO, sekarang PBNU).
Menurut laporan muktamar tahun itu, hadir 197 ulama dan 210 pengiringnya dan tamu lain-lain dari 83 daerah di Indonesia. Para ulama itu itu menyelesaikan beberapa persoalan yang diajukan jauh-jauh hari dari berbagai cabang. Mereka berhasil menyelesaikan persoalan nomor satu hingga 12 secara berurutan. Kemudian mereka membahas langsung nomor 23 oleh karena sangat urgen segera diselesaikan.
Alasan Habib Ali Kwitang melakukan deklarasi sebagai warga NU karena NU Batavia tidak berkembang meskipun Habib Ali mengizinkan NU berdiri di Batavia, tapi sayangnya tak berkembang dengan baik. Pasalnya, Habib Ali Kwitang tak mau terlibat lebih dalam di NU dengan mencantumkan namanya di kepengurusan. Ia hanya mengizinkan dan mengikuti acara besar NU seperti muktamar.
Menurut Anto Jibril, Habib Ali Kwitang tak mau mencatatkan diri sebagai pengurus NU karena ia memegang fatwa gurunya, Habib Utsman yang memintanya untuk tidak mencantumkan diri di organisasi apa pun. Ini menjadi keresahan Guru Marzuqi Cipinang Muara.
Tak banyak ulama dan kiai yang berminat juga masyarakat umum. Maka, suatu ketika, Guru Marzuqi Muara berkata kepada Habib Ali Kwitang. “Ya Habib, engkau yang menyuruh aku mendirikan NU di Batavia tapi engkau tak mau ikut di dalamnya,” begitu kira-kira pernyataan yang bernada permintaan dari Guru Marzuqi Muara.
Dari situlah, maka terjadi peristiwa Habib Ali Kwitang memproklamasikan atau mendeklarasikan dirinya sebagai warga NU secara terbuka di hadapan 800 ulama dan 1000 warga Jakarta. Mereka ikut keputusan Habib Ali Kwitang. Salah seorang di antaranya adalah Habib Salim Jindan. Menurut Anto Jibril, peristiwa itu tersebut menjadi perhatian media massa pada zamannya, termasuk koran Belanda tersebut.
Dua bulan setelah peristiwa itu, NU Batavia menjadi tuan rumah muktamar NU kedelapan, yang berlangsung bulan Mei 1933 yang berlangsung di daerah Kramat. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya muktamar tersebut, sementara Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari berhalangan hadir. Setahun setelah muktamar itu, Guru Marzuki wafat.
Profil Singkat Habib Ali Kwitang
Habib Ali Kwitang hidup dalam rentang waktu 1870 M hingga 1968 M yang dikenal dengan pengajiannya di Majelis Taklim Kwitang. Ia dikenal dekat dengan dengan para kiai Betawi dan Kiai NU, di antaranya adalah Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Konon beragam keputusan di Kementerian Agama, sering didiskusikan terlebih dahulu dengan Habib Ali Kwitang.
Sebagian dari kiai Betawi adalah muridnya Habib Ali yang dianggapnya sebagai anak angkat. Ia mempersaudarakan para kiai Jakarta satu sama lain sehingga ukhuwah di kalangan mereka menjadi semakin rekat, selain jalur perkawinan.
Kesimpulan
Hubungan erat Hadratussyekh KH Hasyim Asy`ari dengan Habib Ali Kwitang ada di sanad keilmuan dari guru mereka berdua, yaitu Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati (1848-1892 M).
Sedangkan untuk politik kebangsaan, hubungan keduanya terjalin via NU. Deklarasi Habib Ali Kwitang sebagai warga NU mendapat sorotan dari berbagai media massa saat itu, seperti koran Belanda Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, karena seorang Arab atau keturunan Arab, yaitu Habib Ali Kwitang, yang merupakan masyarakat golongan dua (Timur Asing) mau bergabung ke perkumpulan masyarakat golongan tiga atau inlander.
Ketika itu, masyarakat di Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan, yaitu Golongan Eropa dan yang disamakan, Golongan Timur Asing, Golongan Pribumi. Penggolongan ini diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS).
IS adalah undang-undang dasar yang mengatur tata negara dan pemerintahan Hindia Belanda yang mulai berlaku pada 1 Januari 1926 sebagai pengganti dari Regeringsreglement 1854 (Stbld 1855-1 jo 2.
Dengan bergabungnya Habib Ali Kwitang ke NU, berarti dia sudah merendahkan dirinya menjadi masyarakat golongan ketiga, yaitu pribumi atau inlanders yang ketika itu diolok-olok sama dengan honden (anjing).
Dan Habib Ali Kwitang tidak memperdulikan itu, baginya bersama NU adalah menyatukan kekuatan untuk memperjuangkan ajaran Islam tradisionalis dan memperjuangkan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Sumber
Alawi, Abdullah (Ed.), Sosok Kyai Asy`ari. Ayahanda Hadhratussyekh Hasyim Asy`ari, NU Online.
Khuluq, Lathiful Khuluq dkk., Ikhtisar Biografi Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy`ari 1871-1947,Jakarta: LTNU-PBNU, Tahun 2023, Cet-1
Kiki, Rakhmad Zailani (Ed.), 27 Habaib Berpengaruh di Betawi: Kajian Karya Intelektual & Karya Sosial Habaib Betawi dari Abad ke-7 hingga Abad ke-21, Jakarta: Jakarta Islamic Centre, 2020, Cet.-1, h. 35.
Kiki, Rakhmad Zailani, Majelis Taklim Kitab Kuning di Jakarta. Jakarta: Jakarta Islamic Centre, Tahun 2019, Cet-1.
_____________________, NU di Betawi, Koran Republika, Dialog Jumat, 07 Agustus 2015.
Kiki, Rakhmad Zailani, Romdhoni, Faishol, NU di Jakarta: Sejarah dan Dinamika, Jakarta: PWNU DKI Jakarta, Tahun 2017, Cet-1.
Rakhmad Zailani Kiki, Penulis Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi dan Ketua RMI-NU DKI Jakarta
Terpopuler
1
Begini Alasan Arab Saudi Tunda Skema Tanazul Haji
2
Soal Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
3
PWNU Jakarta Tekankan Budaya Betawi untuk Pemberdayaan Masyarakat
4
Jelang Idul Adha, Pedagang Keluhkan Penurunan Penjualan Hewan Kurban
5
IPNU Jakut Teguhkan Kaderisasi Berbasis Lokal dan Kebangsaan
6
PWNU Jakarta Apresiasi Larangan Ondel-ondel untuk Mengamen
Terkini
Lihat Semua