• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Minggu, 28 April 2024

Jakarta Raya

Tahap Perdana, Sepuluh Madrasah Berasrama se-DKI Jakarta Terapkan Metode Amtsilati

Tahap Perdana, Sepuluh Madrasah Berasrama se-DKI Jakarta Terapkan Metode Amtsilati
KH Ahmad Mustofa Warka bersama jajaran Pegawai Kemenag di Ruang Rapat Bidang Pendidikan Madrasah Aula Kantor Wilayah DKI Jakarta, Selasa (12/09/2023). (Foto: Istimewa).
KH Ahmad Mustofa Warka bersama jajaran Pegawai Kemenag di Ruang Rapat Bidang Pendidikan Madrasah Aula Kantor Wilayah DKI Jakarta, Selasa (12/09/2023). (Foto: Istimewa).

Jakarta Pusat, NU Online Jakarta


Metode amtsilati dalam tahap perdana akan diterapkan di sepuluh madrasah berasrama se-DKI Jakarta yang akan dimulai pada Oktober 2023 mendatang. Koordinator Wilayah Amtsilati Jabodetabek KH Ahmad Mustofa Warka menyebutkan bahwa sepuluh madrasah berasrama itu meliputi madrasah aliyah negeri (MAN) dan madrasah tsanawiyah negeri (MTsN).


“(Sepuluh madrasah berasrama itu) MAN 4, MAN 6, MAN 19, MAN 22, MTsN 4, MTsN 6, MTsN 13, MTsN 24, MTsN 26, dan MTsN 41. Kegiatan belajar ini akan dibimbing oleh musyrif atau musyrifah yang sudah mahir metode amtsilati,” katanya di Ruang Rapat Bidang Pendidikan Madrasah Aula Kantor Wilayah DKI Jakarta, Selasa (12/09/2023).  


Pengasuh Pesantren Kolong Langit Al-Mahrusiyah Falahul Munjiyah Ciputat itu mengajak kepada para alumni amtsilati untuk menjadi pejuang metode amtsilati. Ia kemudian mengutip petuah dari KH Taufiqul Hakim.


“Hal ini sesuai dengan nasihat Abuya KH Taufiqul Hakim ‘ukirlah namamu dilembaran akhirat nanti dengan menjadi pejuang amtsilati’ insyaallah lelah kita menjadi pejuang amtsilati akan membawa berkah,” jelasnya.  


Kiai Warka berharap, sepuluh madrasah berasrama negeri yang sudah menerapkan metode amtsilati membawa pengaruh besar untuk madrasah negeri, madrasah swasta, dan pondok pesantren se-DKI Jakarta. 


“Target utama disebarkan metode ini ialah agar para siswa menjadi sosok penerus agama dan bangsa yang tafaqquh fi ad-din dan berakhlak yang baik. Fenomena kenakalan remaja hari ini, menjadi contoh yang harus dihindarkan oleh semua siswa dan pemuda. Semoga melalui doa Abuya KH Taufiqul Hakim serta karya-karyanya bisa mengikis itu semua,”jelasnya. 


Selanjutnya Ketua Tim Kerja Tenaga Kependidikan Bidang Madrasah Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) DKI Jakarta Viola Cempaka mengatakan setelah peluncuran, metode amtsilati mendapat respons yang tinggi dari para kepala sekolah. 


“Respons yang tinggi dari para kepala sekolah ini harus disambut baik dan difasilitasi. Insyaallah sepuluh madrasah berasrama se-DKI Jakarta menjadi program perdana yang harus segera dijalankan,” katanya. 


Berdirinya Pesantren Darul Falah


Pesantren Darul Falah Bangsri, Jepara, Jawa Tengah secara tidak resmi telah berdiri semenjak kepulangan KH Taufiqul Hakim dari Pesantren Maslakul Huda, Kajen-Margoyoso, Pati pada 1996 asuhan KH MA Sahal Mahfudh. Bersamaan kepulangannya dari Kajen itu, ada empat temannya yang ikut ke Bangsri dengan tujuan kerja di sebuah toko mebel. Ternyata beberapa temannya yang ikut ke Bangsri termasuk orang yang hafal Alfiyah, tetapi tidak tahu untuk apa Alfiyah. Kemudian mulailah proses pembelajaran oleh Kiai Taufiq sendiri dengan menerapkan contoh apa pun yang ditunjukkan dasarnya hingga terkumpul 150 bait intisari Alfiyah. 


Merasa kurang dengan keilmuan yang dimiliki, Kiai Taufiq berguru thariqah ke Pesantren Al-Manshur, Popongan, Klaten, Jawa Tengah di bawah asuhan KH Salman Dahlawi. Satu minggu kemudian ayahanda beliau wafat, tetapi beliau tidak bisa mengantarkan ke pemakamannya karena harus menyelesaikan ngaji thariqah. Di samping itu, jika pulang sudah tidak ada angkutan dan biaya. Sejak saat itu beliau bertekad tidak akan pulang. Selain mempelajari thariqah, Kiai Taufiq juga membantu pembangunan Pesantren Al-Manshur sebagai laden (pembantu tukang batu) tanpa menerima upah. Selama 100 hari. Dalam waktu cepat Kiai Taufiq mengkhatamkan thariqah yang mestinya harus ditempuh sekitar 5 tahun.


Kepulangan ke Bangsri


Setelah khatam thariqah, Kiai Taufiq pun pulang ke Bangsri. Suatu hal yang menyedihkan adalah majelis taklim yang dirintis bersama empat orang teman beliau telah bubar, anak-anak yang mondok telah boyong, hanya Shodiqin-lah yang kembali. Lalu pada suatu hari, ada salah satu tetangganya yang pingsan dan tak sadarkan diri. Usai dibacakan ayat kursi, dengan izin Allah orang tersebut bisa sembuh. Berawal dari situ, namanya mulai dikenal masyarakat setempat. Anak-anak pun mulai berdatangan untuk belajar agama kepadanya.


Sampai tahun 2000, proses belajar mengajar menggunakan metode menulis bait-bait Alfiyah di papan tulis. Selanjutnya dibaca dan dipelajari bersama murid. Pada tahun yang sama, ada anak-anak putri yang bersekolah di MTs ikut mondok di tempatnya. Santri selalu stabil sembilan orang, ketika ada yang masuk maka ada yang keluar. Ternyata dari anak-anak kecil tadi ada yang bisa menerima, ada yang tidak bisa menerima, karena memang sama sekali tidak mengenal ilmu nahwu.


Suatu hari Kiai Taufiq mendengar ada sistem belajar cepat membaca Al-Qur’an, dan dirinya menemukan kitabnya yaitu Qiro’ati. Terdorong dari metode Qiro’ati yang mengupas cara membaca yang ada harakatnya, beliau ingin menulis yang tidak ada harokatnya.


“Orang mendengar ilmu nahwu jadi ngelu dan alergi. Orang mendengar ilmu shorof menegangkan syaraf,” ucapnya.


Terbentuklah nama AMTSILATI yang memiliki arti beberapa contoh dari saya, juga sesuai dengan akhiran 'ti dari Qiro’ati. Kiai Taufiq mulai merenung dan muncul pemikiran untuk mujahadah, di mana dalam thariqah ada do’a khusus yang jika seseorang secara ikhlas melaksanakannya, Insyaallah akan diberi jalan keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap harinya melakukan mujahadah hingga sampailah di tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan Nuzulul Qur’an. 


Terkadang, saat mujahadah dirinya mengunjungi makam Mbah Ahmad Mutamakkin, di sana kadangkala Kiai Taufiq seakan-akan bejumpa dengan Syekh Muhammad Baha’uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutamakkin, dan Imam Ibnu Malik dalam keadaan setengah sadar. Hari itu, seakan-akan ada dorongan kuat untuk menulis. Akhirnya, Amtsilati mulai ditulis sejak tanggal 17 Ramadhan hingga tanggal 27 Ramadhan. Selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan, amtsilati tertulis hanya sepuluh hari.


Kemudian diketik dengan komputer oleh Nur Subkhi, Kang Toni, dan Kang Marno. Proses pengetikan mulai dari Khulashah sampai Qa’idah Amtsilati memakan waktu hampir satu tahun. Kemudian dicetak sebanyak sebanyak 300 set. 


Sebagai langkah awal terciptanya Amtsilati, Kiai Taufiq menggelar bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama Kabupaten Jepara pada tanggal 16 juli 2002 dan diprakarsai oleh Nur Kholis. Sehingga timbullah tanggapan dari peserta yang pro dan kontra. Beruntungnya, salah satu peserta bedah buku di Jepara mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi pengasuh pesantren. 


KH Hafidz merupakan Pengasuh Pesantren Mambaul Qur’an, beliau berinisiatif untuk menyelenggrakan pengenalan sistem cepat membaca kitab kuning menggunakan metode Amtsilati pada tanggal 30 Juni 2002. 


Ternyata acara di Mojokerto mendapat sambutan yang luar biasa. Terlihat dari banyaknya buku yang terjual, menimbang acara sebelumnya di Jepara banyak buku yang tidak laku. Dari Mojokerto mengalirlah berbagai dukungan hingga ke beberapa daerah di Jawa Timur. 


Melalui forum yang digelar oleh Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, lalu Jember, hingga Pamekasan, Madura. Hingga saat ini, Amtsilati telah tersebar sampai ke luar Jawa, seperti Kalimantan, Batam, bahkan Amtsilati terkenal hingga ke luar negeri di antaranya Malaysia dan Singapura. 


Pewarta: Farhan Maksudi
Editor: Aru Elgete


Editor:

Jakarta Raya Terbaru