• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Senin, 29 April 2024

Opini

Belajar Islam di Hartford (3): Perlukah Belajar Islam di Barat?

Belajar Islam di Hartford (3): Perlukah Belajar Islam di Barat?
Peserta short course PKUMI bergambar bersama Imam Yahya Hendi (berpeci) selepas shalat Jum’at di Yarrow Mamout Mosque. (Foto: Istimewa).
Peserta short course PKUMI bergambar bersama Imam Yahya Hendi (berpeci) selepas shalat Jum’at di Yarrow Mamout Mosque. (Foto: Istimewa).

Di antara tempat terpenting yang kami kunjungi adalah Georgetown University yang ada di negara bagian Washington DC. Penting sebab salah satu kampus tuan rumah (host universities) yang menjadi awal tujuan short course PKUMI (Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal) bagi sebagian dari kami sesungguhnya adalah universitas ini. 

 

Namun, karena satu dan lain hal, pada akhirnya yang menjadi tempat pelabuhan kami adalah Hartford International University for Religion and Peace (HIU) di Connecticut.

 

Goergetown menjadi penting juga karena di dalamnya tercatat ada John Esposito sebagai salah satu staf akademiknya. Esposito sendiri merupakan salah satu sarjana terkemuka dalam rumpun Islamic studies terutama perannya dalam mengklarifikasi berbagai kekeliruan masyarakat Barat dalam memahami Islam.  Sebagai contoh, pasca peristiwa 9/11 pada 2001, citra Islam di mata masyarakat Barat begitu buruk. Namun, sebagaimana dilaporkan Washingtonian, Esposito bersikukuh bahwa Islam sama sekali bukan musuh yang harus diperangi. Osama bin Laden berikut pengikutnya yang dianggap sebagai biang terorisme sehingga harus diperangi sebenarnya hanyalah sekelompok ekstrimis kecil di dalam tubuh umat Islam yang begitu besar.

 

Betapa pun mengagumi Esposito, lantaran takdir belum menentukan, kami pada akhirnya belum bisa juga menemuinya. Namun, tokoh yang kemudian berhasil kita temui di Georgetown sesungguhnya tidak kalah cemerlang. Sosok tersebut bergelar dan bernama Imam Yahya Hendi.

 

Pelajaran dari Imam Yahya Hendi

 

Dalam kunjungan pada Jum’at, 17 November 2023 tersebut, kami menjumpai Imam Yahya di masjid kampus yang bernama Yarrow Mamout Masjid. Bersama kami dua orang pendamping yang merupakan ekspatriat Indonesia yang sudah tinggal puluhan tahun di Amerika; Sahro Locke asal Medan dan Dwitra Zaky asal Bandung.

 

Untuk ukuran kampus, masjid tersebut cukup besar. Kaligrafi berpola tsuluts merayap menghiasi dinding masjid. Tidak kalah juga ornamen poligon yang menambah suasana masjid tampak bukan di Amerika, namun di Timur Tengah.

 

Saya sendiri pada awalnya terkejut bagaimana mungkin di sebuah universitas Amerika seperti Georgetown berdiri sebuah masjid yang cukup luas dan desain interior ala Islam yang memikat. 

 

Tepat setelah shalat Jum’at, beliau mengundang kami ke kantornya. Dalam ruang kerja yang luas dan artistik, ia memberikan sambutan dan kuliah singkat tentang asal-usul dan perkembangan Islam di Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa, menurut satu sumber, Islam bahkan datang lebih dahulu dari Columbus. 

 

“Bahkan orang yang membantu Columbus dalam menaklukkan Amerika adalah sesungguhnya seorang Muslim,” cetusnya.

 

Lebih jauh, ia juga menyatakan bahwa perkembangan Islam di Amerika Serikat sesungguhnya cukup signifikan. Yang pada mulanya masjid hanya berjumlah sekitar ratusan, dalam beberapa tahun terakhir berkembang menjadi lebih dari enam ribu.

 

“Harus diakui bahwa konstitusi Amerika Serikat sedari awal memang sudah memisahkan antara negara dan agama. Artinya, kedua belah pihak tidak akan saling mencampuri satu sama lain.”

 

Karena itu, lanjutnya, tidak mengherankan jika Pemerintah pun tidak memberikan bantuan resmi kepada satu pun agama. Artinya, setiap agama atau aliran kepercayaan berkembang berkat swadaya masing-masing pemeluknya.

 

Dalam konteks Georgetown University sendiri, meski tergolong Universitas Katolik, pihak kampus dianggapnya cukup representatif dalam memberikan kebebasan praktik keagamaan bagi para mahasiswa. Termasuk di antaranya adalah perizinan berdirinya masjid Yarrow Mamout sebagaimana disebutkan di atas. 

 

Ia juga menyebutkan bahwa dari sekian ribu mahasiswa yang ada, sekitar 600 lebih beragama Muslim. Sementara dari 600-an tersebut, 30 lebih di antaranya berasal dari Indonesia. 

 

Berumur 57 tahun, Imam Yahya merupakan warga negara Amerika kelahiran Palestina. Sedari awal ia memang mendedikasikan diri dalam bidang studi keislaman. Jenjang awal pendidikan tingginya ia selesaikan di Yordania sehingga bahkan ia menjadi seorang imam selama beberapa waktu di Amman.

 

Pada 1990, ia memutuskan hijrah ke Amerika Serikat untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi lebih lanjut. Di antara perguruan tinggi yang ia belajar di dalamnya adalah Hartford Seminary – nama awal dari kampus yang sekarang ditempati Penulis dan enam orang teman lainnya. Di Hartford, ia menekuni bidang studi perbandingan agama-agama (comparative religions).

 

Di Georgetown University, kini Imam Yahya menjabat sebagai Director of Muslim Life; satu posisi yang sudah dipegangnya selama kurang lebih 24 tahun. Muslim Life merupakan lembaga yang bertugas untuk memfasilitasi kebutuhan keagamaan para mahasiswa. Georgetown sendiri terhitung sebagai universitas pertama Amerika yang merekrut secara full-time seorang Muslim sebagai pemimpin kegiatan keislaman (Muslim chaplaincy) di kampus. 

 

Karena agama yang dipeluk mahasiswa pun beragam, selain Muslim chaplaincy, tersedia juga Protestan Christian Chaplaincy (untuk agama Kristen Protestan), Catholic Chaplaincy (Kristen Katolik), dan Jewish Chaplaincy (Yahudi). Bahkan mereka yang beroritentasi LGBT sekali pun diberi tempat khusus.

 

“Di sini (Amerika Serikat), kita harus menyadari bahwa paham pluralisme mempunyai sisi positif di satu sisi dan sisi negatif di sisi lainnya,” terangnya untuk memberikan respek terhadap keragaman dan kesetaraan yang ada di Amerika. 

 

Imam Yahya merupakan satu di antara sebagian kecil sarjana Muslim Amerika yang mendedikasikan diri dalam dialog antarumat beragama. Keyakinan yang dalam atas kebenaran agama yang dipeluknya tidak lantas mengisolasi dirinya dari pergaulan dengan umat agama lain. 

 

Pendapat dan sarannya muncul di ruang publik, baik surat kabar maupun televisi, untuk mempromosikan prinsip perdamaian dan dialog yang konstruktif terutama antara tiga agama besar; Kristen, Islam, dan Yahudi. 

 

Atas peran tersebut, pada 2012, ia mendapatkan penghargaan internasional, yaitu dinobatkan sebagai satu di antara 500 tokoh Muslim yang paling berpengaruh di dunia (The World’s 500 Most Influential Muslims).

 

Hanya saja, betapa pun ia merasa nyaman dan bangga dengan Amerika, dalam sambutan (welcoming speech) yang diberikannya kepada kami tersebut, saya terkejut dengan satu pernyataannya. 

 

Ketika Bangun, salah satu peserta short course, bertanya: “What do you recommend to focus if we decide to pursue our higher study here [in Georgetown]?” (bidang apa yang Anda rekomendasikan untuk kami jika kami memutuskan belajar di Georgetown), ia menjawab sebagai berikut:

 

“If you want to focus on Islamic studies, I want to be really, really, really, really, really, really, really, really, really honest” (Jika kamu mau fokus pada studi keislaman, maka saya ingin benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, benar-benar, jujur).

 

Saya sendiri hampir bingung dan ini kemudian dikonfirmasi oleh teman-teman lainnya – mengapa beliau menyebutkan ‘really’ sedemikian banyaknya. Bahkan saya sempat menganggapnya sedang bercanda. Namun kemudian ditegaskan sekali lagi bahwa ia sedang serius.

 

Imam Yahya ternyata menyarankan bahwa jika memang ingin belajar tentang Islam, maka Amerika Serikat bukanlah tempat yang ideal. Beliau lebih menyarankan untuk belajar di Timur Tengah atau bahkan di Indonesia sendiri.

 

Saya sempat heran mengapa beliau yang merupakan seorang imam dan dosen studi Islam di sebuah universitas Amerika justru menyarankan belajar di luar negara yang ditempatinya. 
 

Pada umumnya, betapa pun institusi tempat ia bekerja kurang bagus, misalkan, seseorang akan tetap merekomendasikan bahwa institusi tersebut layak untuk dijadikan tempat tujuan. Namun dengan penggalan ‘really’ yang sekian banyak tersebut, saya meyakini bahwa ia sedang memberikan pernyataan atas nama ketulusan dan pengalaman.

 

Meski saya sendiri tidak sepenuhnya setuju, namun pernyataan tersebut akhirnya mengafirmasi satu asumsi yang sudah lama saya pegang, yaitu bahwa Islam sesungguhnya dapat dipelajari dari dua pendekatan; deduktif dan induktif.

 

Dua Pendekatan Mempelajari Islam

 

Deduktif berasal dari deduksi yang bermakna penyimpulan dari yang umum ke yang khusus. Dalam konteks usaha mempelajari Islam, pendekatan deduktif adalah mempelajari Islam sebagai sebuah doktrin umum yang harus diterima begitu saja (taken for granted) oleh setiap individu Muslim.

 

Dalam ilustrasi manajemen perusahaan, pendekatan deduktif ibarat instruksi dari seorang direktur utama kepada manajer dan para bawahannya. Sedemikian yakin sang direktur terhadap validitas keputusannya sehingga instruksi tersebut bersifat mengikat dan dalam batas tertentu tidak memberikan ruang terhadap kesalahan dan pertanyaan.

 

Dalam literatur Islam, pendekatan deduktif tidak lain adalah dalil naqli, yaitu apa yang tertera jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah dan segala hal yang sudah disepakati secara umum oleh para sarjana dan khalayak Muslim (ijma’). Ia bisa disebut istintaji.

 

Mayoritas umat Islam pada dasarnya mempelajari agamanya melalui metode pertama ini, yaitu dari apa yang diajarkan dan diwariskan kedua orang tua yang juga Muslim berikut para guru, sejawat, dan masyarakat sekitar. Di sini, Islam dipeluk, dipelajari, dan diamalkan sebagai sebuah keyakinan. Konsep inilah yang, menurut Penulis, disarankan oleh Imam Yahya.

 

Adapun terkait induktif, ia berasal dari induksi yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan khusus agar bisa diperlakukan secara umum. Mempelajari Islam secara induktif adalah mempelajari Islam sebagai sebuah pengalaman manusia. Pengalaman yang berdasarkan penalaran akal. Ia biasa juga disebut istiqra’.

 

Merujuk pada ilustrasi manajemen di atas, ketika kemudian para karyawan mengetahui dan membuktikan bahwa apa yang diinstruksikan oleh direktur utama ternyata terbukti bermanfaat untuk perusahaan, mereka kemudian meyakini bahwa instruksi tersebut benar belaka. 

 

Dalam Islam, pendekatan induktif adalah apa yang disebut dalil aqli, yaitu hasil penalaran manusia terhadap segala fenomena alam. Menariknya, Islam sedari awal mengakui dan bahkan merekomendasikan penggunaan akal. Segala hasil penalaran akal, bagi Islam, selama digunakan dengan benar dan baik, maka justru akan mengafirmasi kebenaran dalil naqli.

 

Hanya saja, untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu benar secara rasional, termasuk juga bagaimana standar penentuan bahwa akal sudah digunakan dengan baik dan benar, tidak semudah membalikkan tangan. Karena pengalaman kemanusiaan dan tingkat kecerdasan yang beragam, pendapat akal seseorang bisa berbeda dan bahkan bertentangan dengan pendapat lainnya.

 

Dalam pembahasan lebih lanjut, hal inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan antara agama dan sains. Agama seringkali dipersepsikan hanya berkaitan dengan doktrin. Sementara sains yang hari ini terkristalisasi di dunia Barat juga hanya dilihat, dipahami, dan dikaitkan dengan paradigma positivisme (tidak percaya kepada yang ghaib). Padahal, jika dicermati secara seksama, keduanya sesungguhnya saling menguatkan.

 

Karena itu, saya berpendapat bahwa Islam dapat dipelajari melalui dua pintu sebagaimana disebutkan di atas. Memang, idealnya adalah pintu deduktif baru kemudian induktif. Namun, karena situasi yang menimpa manusia yang satu dan yang lain berbeda-beda, tidak tertutup jika seseorang mempelajari Islam dari pintu induktif baru kemudian deduktif. 

 

Mengacu pada pertanyaan yang menjadi sub-judul artikel ini, maka saya ingin mengatakan bahwa belajar Islam di Barat tetap diperlukan. Ia justru akan menjadi pelengkap bagi tahapan keilmuan seseorang Muslim.

 

Namun, proses tersebut sebaiknya dilakukan setelah proses akuisisi internal dilakukan di negara atau tempat yang memang cukup ideal dan berlimpah sumber daya keilmuan keislamannya. Negara atau tempat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Imam Yahya, bisa di Timur Tengah, Afrika Utara, atau bahkan Indonesia sekali pun dan negara-negara Muslim lainnya. Proses inilah yang saya maksud sebagai pendekatan deduktif.

 

Setelah akuisisi internal dilakukan, maka proses selanjutnya adalah akuisisi eksternal, yaitu mencoba melihat Islam dari sudut pandang luar. Proses yang kedua ini tidak kalah penting dari yang pertama. Ia bisa mencakup diseminasi ajaran Islam termasuk juga intensifikasi dan ekstensifikasi metodenya.

 

Bahkan dengan melihat Islam dari perspektif eksternal semacam ini, ajaran Islam itu akan semakin tampak indah. Dalam konteks ini, tempat yang cocok adalah di negara-negara Barat termasuk di antaranya Amerika Serikat.

 

“Nah, kalau mau belajar metodologi, leadership, manajemen, di sini [Amerika] tempatnya,” pungkas Imam Yahya mengklarifikasi.

 

Sosok dan kisah perjalanan hidup Imam Yahya memberikan pelajaran yang demikian berharga. Seorang pemuda hijrah Palestina yang terluntah-luntah di negaranya ternyata mampu merenggut sukses dan bahkan memberikan pencerahan dan perubahan di Amerika Serikat – negeri yang dipersepsikan sebagai antitesis tanah airnya sendiri.

 

Termasuk satu pelajaran lain adalah afirmasi terhadap al-Baqarah 115: “wa lillahi al-masyriq wa al-magrib” (adalah milik Allah [belahan bumi] Timur dan Barat). Kita tidak semestinya melihat secara fanatik bahwa Timur identik dengan baik sementara Barat cenderung buruk atau juga sebaliknya. Keduanya berpotensi untuk menjadi baik atau pun buruk. Yang kemudian paling menentukan adalah substansi yang dikandungnya.

 

Setiap belahan bumi memiliki ciri dan tantangan masing-masing. Diri kita sendirilah yang harus mampu beradaptasi sekaligus mengedepankan spirit moderasi. Merenungi ini, saya teringat satu syair yang saya pelajari dulu di Pondok Modern Gontor:

 

بِلَادُ اللهِ وَاسِعَةٌ فَضَاءً         وَرِزْقُ اللهِ فِي الدُّنْيَا فَسِيْحُ
فَقُلْ لِلْقَاعِدِيْنَ عَلَى هَوَانٍ        إِذَا ضَاقَتْ بِكُمْ أَرْضٌ فَسِيْحُوْا


 

Negeri kekuasaan Allah terbentang luas     #  Demikian juga dengan rezeki yang Dia karuniakan di dunia ini

Katakanlah kepada mereka yang tertindas #  Jika memang kamu merasa susah di suatu tempat, maka berhijrahlah.


Muhammad Abdul Aziz, peserta Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta. 
 


Opini Terbaru