• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Senin, 29 April 2024

Opini

Belajar Islam di Hartford (1): Berdialog dengan Seorang Pastor

Belajar Islam di Hartford (1): Berdialog dengan Seorang Pastor
Peserta shortcourse PKUMI berfoto bersama Prof. Dr. David Grafton dan Prof. Darwis Hude di depan Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations (Kiri ke Kanan: Mimi, Bangun, Aziz, Prof. David Grafton, Prof. Darwis Hude, Syauqi, Faqih, Sania, dan Mela). (Foto: Istimewa).
Peserta shortcourse PKUMI berfoto bersama Prof. Dr. David Grafton dan Prof. Darwis Hude di depan Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations (Kiri ke Kanan: Mimi, Bangun, Aziz, Prof. David Grafton, Prof. Darwis Hude, Syauqi, Faqih, Sania, dan Mela). (Foto: Istimewa).

Tepat pada 4 September 2023, setelah melewati penerbangan selama total 17 jam dari Jakarta, saya dengan enam rekan lainnya mendarat di Los Angeles, Amerika Serikat. Mereka adalah Syauqi, Faqih, Bangun, Mela, Sania, dan Mimi. 


Kami adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta sekaligus peserta Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta. 


Kami ditemani Prof Darwis Hude, Ketua Program Pascasarjana Universitas PTIQ. Rombongan ini adalah gelombang pertama dari program short course (kursus singkat) selama beberapa bulan di sejumlah kampus di Amerika Serikat.


Setelah melalui serangkaian pemeriksaan imigrasi yang mendebarkan, perjalanan lima jam selanjutnya adalah menuju John F Kennedy International Airport di New York. Dua jam setelahnya, sekitar pukul 02.30 dini hari, kami sampai di sebuah kampus yang begitu asri. Rumah-rumah berhamparan satu sama lain dengan halaman masing-masing yang begitu lebar. Pepohonan besar berjajar rapi di pinggir kiri kanan jalan raya. 


Pagi setelah fajar menyingsing, rasa lelah seakan sirna demi ingin melihat gerangan rupa kampus ditimpa terang sinar matahari. Pemandangan yang hampir tidak pernah kami dapatkan dalam area kampus di Indonesia. Sepanjang mata memandang adalah dominasi warna hijau rerumputan dan dedaunan. 


Gedung utama kampus berwarna putih bersih melambangkan perdamaian. Ia tidak bertempat di sebuah lokasi khusus, tertutup dengan pagar, tetapi menyatu dengan rumah dosen, asrama mahasiswa, dan permukiman penduduk. Kampus itu bernama Hartford International University for Religion and Peace (Universitas Internasional Hartford untuk Agama dan Perdamaian). 


Tentang Hartford International University


Saya mengenal penggalan kata ‘Harford’ sebagai nama kampus sesungguhnya sudah lama. Kampus yang saya maksud tersebut adalah ‘Hartford Seminary’. 


'Hartford’ sebenarnya juga digunakan untuk nama kampus lain seperti ‘University of Hartford’ yang ukurannya bahkan jauh lebih besar dari 'Hartford Seminary'. 


Perkenalan saya dengan Hartford Seminary bermula pada sekitar 2003-2004, yaitu ketika menjadi asisten Perpustakaan Darussalam di Pondok Modern Darussalam Gontor.


Di sela-sela membersihkan ruang perpustakaan dan menata buku-buku yang ada, saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Prof Alwi Shihab. Saya masih ingat sampul  belakang buku tersebut yang memotret Pak Alwi (demikian beliau akrab dipanggil) sedang mengeruk salju di depan rumahnya. 


Buku itu berjudul ‘Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahpahaman’. Dalam buku itu diceritakan bahwa di antara pengalaman intelektual Pak Alwi adalah menjadi staf pengajar di Hartford Seminary, sebuah universitas di negara bagian Connecticut, Amerika Serikat. Di kampus itulah saya sedang tinggal dan belajar tentang Islam dan agama-agama lainnya. 


Untuk ukuran universitas di Amerika, Hartford terbilang kampus yang tidak cukup besar. Namun, dalam bidang hubungan antarumat beragama, ia terbilang satu di antara yang terdepan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari fakta bahwa ia memiliki jurnal The Muslim World, salah satu rujukan utama para peminat studi interfaith relations (hubungan antariman). Universitas ini didirikan pada 1833. Pada 2021, nama ‘Hartford Seminary’ kemudian resmi berubah menjadi ‘Hartford International University for Religion and Peace’. Orang-orang di sini lebih suka menyebutnya ‘Hartford International’.


Dalam kelas doktoral, saya bersama Syauqi tergabung dengan empat mahasiswa yang lain. Semua empat orang itu adalah mahasiswa regular dan hampir sepenuhnya merupakan para praktisi hubungan antarumat beragama. 


Adnan yang dari Albania sepertinya merupakan seorang pelajar cemerlang di mana disertasinya sekarang fokus mengeksplorasi pemikiran filosofis Al-Ghazali dan implikasinya pada pemikiran Islam pada abad pertengahan. 


Semi adalah orang Turki yang sudah hampir delapan tahun tinggal di Amerika Serikat. Berdomisili di Pennsylvania, ia merupakan penganut Gulen Movement yang aktif dalam usaha dialog antarumat beragama. “I can understand better my religion through studying other religions (Saya bisa lebih memahami agama saya dengan mempelajari agama lain),” kata Semi dalam sebuah acara makan malam yang diadakan kampus.


Sementara dua lainnya, Austin dan Michael adalah para pastor bagi masing-masing gereja yang mereka ikuti. Yang pertama adalah Methodist Church yang ada di New York; sementara yang kedua adalah Celtic Church di Philadelphia. Keempat mahasiswa regular tersebut semuanya mendapatkan beasiswa baik yang berupa skema full scholarship (beasiswa penuh) maupun partial scholarship (beasiswa sebagian).


Berdialog dengan Seorang Pastor


Saya sepenuhnya menyadari bahwa tempat yang saya belajar di dalamnya sekarang ini bukanlah sebuah pondok pesantren, kampus Islam, atau pusat studi Islam yang memang mendedikasikan dirinya dalam pengajaran dan penyebaran ajaran Islam. Belajar di tempat seperti itu tentu sangat dianjurkan bagi segenap umat Islam. Namun, selain karena pertembungan antara usaha dan nasib yang ditentukan Tuhan, tidak ada salahnya juga mempelajari Islam dengan mengetahui titik perbedaan dan persamaannya dengan agama-agama lain. 


Sederhananya, belajar tentang Islam dapat dilakukan setidaknya melalui dua pintu; insider perspective (pertama) dan outsider perspective (kedua). Apa yang saya lihat sekarang ini adalah saya sedang mempelajari Islam sekaligus dari dua perspektif. Justru dengan usaha semacam itu, sebagaimana kata Semi di atas, pemahaman kita terhadap agama kita sendiri akan jauh lebih komprehensif dan kontemplatif. 


Di pagi yang hawa dinginnya menusuk tulang itu, dalam perjalanan kami menuju ruang kuliah, saya dengan sengaja dan begitu antusias menanyakan perihal berbagai doktrin dan tradisi dalam Kristen. 


Di antaranya adalah apa yang dicetuskan oleh Adnan di dalam kelas; "jika Yesus adalah Tuhan yang akan menyelamatkan manusia, mengapa ia sendiri tidak mampu menyelamatkan dirinya dari tiang penyaliban?" Austin yang sebelumnya memang menekuni filsafat memberikan ilustrasi yang cukup logis. 


“Bayangkan jika Anda mencuri, lalu tertangkap oleh polisi. Bagaimana mungkin Anda akan mengatakan diri Anda tidak mencuri, sementara Anda memang terbukti mencuri. Dalam situasi seperti itu, yang perlu Anda lakukan adalah membutuhkan seseorang yang kredibel yang akan menolong dan melobi polisi tersebut agar kemudian melepaskan diri Anda.”


“Sebagaimana manusia yang sedari awal mempunyai dosa asli (original sin) yang merupakan warisan dari Adam yang melanggar perintah Tuhan. Karena keadaan inilah maka setiap manusia yang lahir dengan sendirinya menanggung dosa warisan tersebut. Di sinilah diperlukan seseorang yang akan membebaskan mereka dari dosa tersebut dan menyelamatkannya di akhirat nanti. Sosok penyelamat itulah yang bernama Yesus.”


Meski terbata-bata, pikiran saya mencerna kalimat demi kalimat yang Austin luncurkan dari mulutnya, saya bisa menangkap garis besar penjelasannya. Cukup masuk akal memang. 


Selain itu, sedemikian lancar ia menjelaskan doktrin tersebut agaknya karena memang setiap minggu ia memberikan ceramah di hadapan para jamaahnya di New York itu. Posisi inilah yang kemudian menjadi titik berangkat bagi epistemologi Kristiani yang begitu menekankan arti penting dosa dan penderitaan. 


Tentang hal ini, Prof Mona Siddiqui, dosen kami yang merupakan salah satu presenter dalam Gifford Lectures yang prestisius itu, menyatakan dalam bukunya: “Christian theology and philosophy focuses more deeply on evil and suffering in relation to divine and human freedom and subsumes human struggle within suffering.” (Human Struggle, 2021; hal. 31)


Bahwa, dalam membicarakan relasi antara ketentuan ilahi dan kebebasan manusia, konsep teologi dan filsafat Kristen demikian terpaut erat dengan konsep dosa dan penderitaan. Segala yang dilakukan manusia sejatinya tidak akan bisa dilepaskan dari posisinya yang mempunyai dosa warisan.


Menyadari posisinya yang menanggung dosa, sementara pada saat yang sama mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya penebus dosa tersebut, maka dalam epistemologi Kristen, di sinilah terletak ketulusan cinta Yesus. 


Kerelaan Yesus untuk disalib, lanjut Austin, adalah bukti betapa cintanya beliau kepada manusia. Ia rela untuk menanggung dosa seluruh umat Kristiani agar mereka selamat di kehidupan akhirat nanti. 


Penyalibannya, sebagaimana ungkap Austin, tidak lantas bermakna penderitaan dan kekalahan. Sebab, bagi seorang Kristiani, kehidupan manusia tidak hanya berhenti di bumi. Kematian yang seringkali dipersepsikan sebagai akhir kehidupan dunia tidak lain adalah pintu menuju kehidupan selanjutnya. Dan dalam kehidupan selanjutnya tersebut itulah, manusia dapat mengetuk pintu taubat kepada Tuhan.


Sampai di sini, saya menangkap ada perbedaan yang cukup signifikan dengan Islam. Bagi Islam, pintu pertaubatan memang ada dan sangat dianjurkan. Namun ketika seseorang mati, pintu tersebut sudah tertutup selamanya. 


Dunia adalah tempat ujian bagi seseorang yang mesti melakukan usaha terbaiknya demi kemanfaatan bagi umat dan kemanusiaan. Dengan cara seperti itulah, maka kemakmuran dan kesejahteraan dunia akan lebih terasa. Sikap akhir tentu tergantung kepada kita masing-masing. Setiap orang mempunyai hak untuk meyakini, memeluk, dan mempertahankan ajaran agama tertentu. 


Perbedaan tradisi tidak untuk dihapuskan dan justru bisa tetap terpelihara. Namun dalam dunia yang semakin mengglobal dan demikian plural, pengarusutamaan persamaan tidak kalah penting untuk dilakukan. 


Dalam konteks dialog dengan Pendeta Austin ini, menurut saya, yang setidaknya menjadi titik temu antara Islam dan Kristen adalah pengarusutamaan cinta dan kasih sayang. Kasih sayang Allah dalam Islam meliputi segala yang diciptakan-Nya. Adapun dalam teologi Kristen, sebagaimana kata Austin, kerelaan Yesus untuk disalib sebagai tebusan dosa adalah bukti cintanya kepada umat manusia. Wallahua’lam.


Penulis: Muhammad Abdul Aziz, peserta Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta. 


Editor:

Opini Terbaru