• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Rabu, 24 April 2024

Opini

Haul Ke-13 Gus Dur

Renungan Sufistik dan Sikap Beragama ala Gus Dur

Renungan Sufistik dan Sikap Beragama ala Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid. (Foto: dok NU Online)
KH Abdurrahman Wahid. (Foto: dok NU Online)

Sang Waskita, begitulah sebagaian besar orang mengenal KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Wajar saja, banyak orang yang menyebutnya Sang Waskita (istilah Jawa yang berarti bijaksana). Sebab Gus Dur memiliki ketajaman hati, bijaksana, cerdas dan piawai bertindak dan mengambil keputusan sesuai dengan kejadian waktunya. 


Gus Dur si pemilik ketajaman hati itu menggunakan cara renungan ala sufinya sendiri. Dengan gaya sufi yang nyentrik, ia mampu menyihir para hati yang kebingungan mencari idola untuk diteladani di zaman yang kekeringan akan siraman rohani ini.


Tapi namanya juga Gus Dur, si paling serius yang terbungkus sikap humoris dan humanis, ia selalu saja mampu menjawab pertanyaan tentang siapa guru spiritualnya. Ia menjawab, “Guru spiritual saya ialah realitas dan guru realitas saya spiritualitas”.


Gus Dur mengatakan bahwa dengan sufisme, orang kembali kepada kebesaran Tuhan, dan dengan tidak mengingkari kehadiran dunia yang ada sekarang. (lihat M Sulton Fatoni dalam The Wisdom of Gus Dur, 2014: 204)


Menurut penulis, spiritual dan realitas yang dipakai Gus Dur ini merupakan contoh dari Nabi Muhammad. Sebab kehidupan Nabi diisi bukan hanya sekadar ibadah amaliyah seperti shalat, puasa dan sedekah, tetapi juga melaksanakan aktivitias sehari-hari seperti bekerja, belajar, berdiskusi bahkan ke pasar pun dilakukan Nabi Muhammad. 


Apalagi Nabi dan Gus Dur sama-sama pernah menjadi pemimpin bagi sebuah wilayah yang besar. Gus Dur sebagai Presiden Indonesia, sedangkan Nabi Muhammad menjadi pemimpin umat di Madinah. Tentu guru spiritualitas berdasarkan pengalaman yang dijalankan oleh realitas kehidupan sehari-hari.


Mengenai sikap beragama, seringkali Gus Dur dicap kurang kiai karena dianggap tidak menampilkan pakaian ala kiai sebagaimana biasanya. Gus Dur lebih memilih memakai baju batik, peci hitam, dan celana panjang daripada baju gamis. Walau tidak terlalu mempermasalahkan pakaian, tetapi setidaknya ada nilai pelestarian budaya yang dilakukan Gus Dur yakni dengan memakai baju batik.


Lebih jauh, Gus Dur seringkali tersandung kasus yang dikaitkan dengan penistaan agama, karena sikap-sikapnya yang dianggap kontroversial. Misalnya dalam pembelaan Gus Dur terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).


Hemat penulis, orang-orang yang menyangka Gus Dur telah membela berdasarkan paham teologisnya, sebenarnya telah keliru besar karena pada kenyataannya yang dibela Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan, serta konstitusi berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. 


Gus Dur kerap mengatakan, “Kita butuh Islam ramah bukan Islam marah.” Selain itu, ada pula pernyataan Gus Dur yang sangat populer yakni, “Agama itu kekuatan Inspiratif, kekuatan moral. Jadi, agama harus membentuk etika di masyarakat.”


Gus Dur juga kerap menyoroti orang-orang yang berpengetahuan Islam tetapi tidak mendalam. Orang-orang seperti itu selalu menaruh kecurigaan yang berlebih-lebihan terhadap orang lain, menonjolkan perbedaan-perbedaan dan bukan justru mencari titik temu antara Islam dengan agama-agama lain itu. 


Gus Dur menyebutkan bahwa akan timbul reaksi yang mengacu kepada penggunaan ‘bahasa kekerasan’ dari Islam terhadap agama-agama lain yang hadir di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah disahkan oleh konstitusi. Inilah sisa-sisa warisan lama yang harus kita ubah melalui pendidikan dan komunikasi antar golongan.


Sang Waskita telah meninggalkan kita pada 30-Desember-2009 silam. Tentu sangat banyak teladan yang bisa diambil dari cucu pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari itu. Mulai dari sikap toleransi, mengedapankan maaf daripada amarah, hingga sikap kemanusiaan yang memanusiakan manusia. 


Semoga teladan Gus Dur itu menjadi darah perjuangan kita sebagai anak bangsa untuk merawat keutuhan intergritas wilayah, menciptakan kedamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Haekal Attar, Jurnalis NU Online Jakarta dan Kader IPNU Jakarta Timur


Editor:

Opini Terbaru