Syekh Mohamed Salah: Dakwah di Lapangan Hijau Ubah Wajah Islam di Barat
Rabu, 30 April 2025 | 14:05 WIB
Muhammad Imaduddin
Kolomnis
Lagu kebangsaan Liverpool You'll Never Walk Alone menggema di stadion keramat, Anfield. Dinyanyikan oleh puluhan ribu Liverpudlian seusai Liverpool membantai Tottenham Hotspur 5-1 pada Ahad (27/4/2025) kemarin.
Malam itu, Liverpool sah menjadi juara Liga Primer musim 2024–2025 meski masih menyisakan empat pertandingan lagi karena poinnya sudah tidak mungkin dikejar oleh Arsenal. Ini adalah gelar juara yang ke-20 bagi klub asal Merseyside tersebut, menyamai gelar yang dimiliki MU.
Aktor paling krusial dalam kesuksesan Liverpool musim ini adalah sosok Mohamed Salah. Pemain yang berjuluk The Egyptian King ini menjadi sosok paling vital dalam permainan Liverpool, baik dengan gol-golnya maupun assist-assistnya.
Mohamed Salah adalah manusia yang paling dicintai oleh Liverpudlian (pendukung Liverpool) saat ini. Ia disejajarkan dengan legenda-legenda Liverpool sebelumnya seperti Ian Rush, Geoff Hurst, Kevin Keegan, dan Steven Gerrard. Ia menjadi pencetak gol terbanyak ketiga Liverpool sepanjang masa setelah Ian Rush dan Geoff Hurst. Sebuah prestasi yang luar biasa, apalagi ia berasal dari Timur Tengah dan beragama Islam.
Ada fenomena menarik di Inggris sejak Mohamed Salah menjadi ikon Liverpool satu dekade belakangan ini—tingkat Islamofobia di Inggris mengalami penurunan drastis. Sebelum kedatangan Salah dan prestasinya bersama Liverpool, Inggris merupakan salah satu negara dengan tingkat Islamofobia tertinggi di daratan Eropa.
Pandangan sebagian besar masyarakat Inggris terhadap Islam seketika berubah sejak Salah mengangkat prestasi Liverpool. Dalam setiap pertandingan, ia selalu mempertontonkan simbol-simbol keislaman, seperti berdoa mengangkat tangan sebelum pertandingan dan selebrasi gol dengan sujud syukur. Di luar lapangan, ia pun selalu bersikap baik, rendah hati kepada siapa saja, dan toleran terhadap pemeluk agama lain.
Banyak orang Inggris dan Eropa pada umumnya yang awalnya membenci Islam mulai mencari tahu apa yang dilakukan Salah. Banyak pula yang mulai mempelajari agama Islam dari sumber aslinya yakni Al-Qur’an dan hadis. Entah ada kaitan langsung dengan Salah atau tidak, faktanya jumlah umat Islam di Inggris dalam 10 tahun terakhir meningkat 44 persen dari 2,7 juta pada 2011 menjadi 3,9 juta pada 2021. Survei ini dibuat tahun 2021, tentu dalam empat tahun terakhir jumlahnya semakin meningkat.
Media-media Inggris juga melaporkan bahwa dalam satu dekade terakhir banyak gereja di sana yang dijual karena sudah tidak ada jamaahnya. Setiap akhir pekan, orang-orang Inggris lebih banyak mengikuti “misa” di stadion-stadion daripada di gereja. Akhirnya, gereja jadi sepi pengunjung dan pendeta di sana banyak yang menganggur. Seorang wartawan Eropa mengatakan, “Di Inggris, sepak bola adalah agama paling banyak pemeluknya dan stadion adalah 'tempat ibadah' paling banyak pengunjungnya.”
Fenomena di atas memberikan kesimpulan kepada kita bahwa orang-orang di luar Islam menilai Islam bukan dari ajarannya, tetapi dari perilaku pemeluknya. Orang-orang Eropa menilai Islam dari pemberitaan media-media Barat yang menginformasikan bahwa beberapa tindakan terorisme di beberapa kota di Eropa dan belahan dunia lain dilakukan oleh orang Islam. Pelaku tindakan teror tersebut selalu dikaitkan dengan Islam dan identik dengan wajah Arab. Akibat pemberitaan itu, lahirlah stereotipe bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan tindakan barbar dan tidak berperikemanusiaan terhadap pemeluk agama lain.
Hal ini serupa dengan pandangan orang-orang Eropa di abad pertengahan. Kala itu, seiring dengan Perang Salib dan ekspansi Turki Utsmani ke jantung-jantung Eropa, Islam dianggap sebagai agama barbar dan Nabi Muhammad digambarkan sebagai sosok yang kejam, sadis, dan pedofil. Stigma negatif ini terus menerus dinarasikan oleh para pendeta Kristen di sana selama berabad-abad. Namun, ketika Islam telah menguasai wilayah mereka dan menerapkan keadilan serta toleransi, pandangan itu perlahan berubah, bahkan mereka berbondong-bondong masuk Islam.
Alhasil, kisah “perjalanan dakwah” Mohamed Salah di Inggris menjadi lecutan bagi kita, yakni:
Pertama, bahwa dakwah tidak melulu soal transfer dalil-dalil kitab suci kepada khalayak melalui forum-forum pengajian, tabligh akbar, kajian, dan yang sejenisnya.
Kedua, dakwah juga tidak hanya dilakukan di masjid, musala, majelis taklim, langgar, dan sejenisnya, melainkan bisa di mana saja, kapan saja, dan melalui media apa saja.
Ketiga, umat Islam adalah etalase dari ajaran Islam. Orang menilai Islam bukan dari ajarannya, tetapi dari perilaku pemeluknya. Ajaran Islam itu indah, tapi bila disampaikan dengan cara yang buruk, maka akan dinilai buruk pula oleh mereka yang bukan Islam.
Mohamed Salah hanyalah seorang pemain sepak bola. Ia bukan ulama, bukan syekh, juga bukan pendakwah. Tapi hasil dari “dakwah”-nya di lapangan hijau sangat nyata bagi orang-orang Eropa yang tidak mengenal Islam dari sumbernya. Apa yang telah dilakukan Salah sebagai pemain sepak bola melebihi apa yang dilakukan oleh sebagian pendakwah yang sebenarnya.
M. Imaduddin, Wakil Rais Syuriah PCNU Jakarta Utara.
Terpopuler
1
Pemprov DKI dan Pemkot Bogor Resmikan Rute Transjakarta Bogor-Blok M, Tarif Mulai Rp2.000
2
Indo Defence 2024 Perkuat Posisi Indonesia dalam Peta Pertahanan Global
3
Ini Makna Makanan yang Halal dan Baik dalam Islam
4
Sarbumusi Harap Penyaluran BSU 2025 Tepat Sasaran
5
Le Minerale Berbagi Hewan Kurban kepada PWNU Jakarta, Masjid Istiqlal dan Pesantren
6
Stunting Jakarta Masih Tinggi, Fatayat NU Gelar Sosialisasi Pencegahan
Terkini
Lihat Semua