• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 2 Mei 2024

Literatur

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Jejak Dedikasi Guru Madjid Dalam Menyebarkan Dakwah Islam di Tanah Betawi

Jejak Dedikasi Guru Madjid Dalam Menyebarkan Dakwah Islam di Tanah Betawi
KH Abdul Madjid (Guru Madjid) Model pengajaran yang berkembang di Betawi saat itu adalah halaqah, baik di masjid/mushola maupun di rumah ulama yang bersangkutan. (Foto: Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)
KH Abdul Madjid (Guru Madjid) Model pengajaran yang berkembang di Betawi saat itu adalah halaqah, baik di masjid/mushola maupun di rumah ulama yang bersangkutan. (Foto: Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

Islam dan Betawi adalah dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” secara khusus merujuk pada penduduk asli Jakarta yang mayoritas beragama Islam. Sejarah Islam di kalangan masyarakat Betawi tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para ulama dalam menyebarkan ilmu dan nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat setempat. 


Ulama yang dimaksud di sini adalah mereka yang menuntut ilmu-ilmu keagamaan Islam langsung kepada seseorang, atau melalui lembaga pendidikan konvensional seperti halaqah, madrasah, majelis taklim, atau pondok pesantren, yang kemudian mengabdi kepada masyarakat dengan penguasaan ilmu agama Islam yang dimilikinya dan diakui sebagai ulama. Selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Betawi terdapat sebuah jaringan ulama yang pengaruhnya melingkupi seantero wilayah Betawi. 


KH Abdul Madjid merupakan salah satu ulama Betawi yang sangat populer pada masa itu. Beliau mempunyai jasa yang besar dalam penyebaran agama islam di tanah Betawi. Atas jasanya tersebut, KH Abdul Madjid bahkan menjadi salah satu tokoh Betawi yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta Barat, tepatnya di Kembangan menggantikan Jalan Kembangan Selatan.


KH Abdul Madjid lahir di Pekojan, Jakarta Kota, yang saat ini masuk wilayah Jakarta Barat, pada tahun 1887. Ayahnya bernama KH Abdurrahman bin Sulaiman bin Muhammad Nur bin Rahmatullah. Kakek buyutnya, Rahmatullah, konon masih keturunan Pangeran Diponegoro, yang datang ke daerah Kebayoran Lama karena mengikuti sayembara menaklukkan macan buas yang meresahkan masyarakat. Atas keberhasilannya mengalahkan macan tersebut, beliau kemudian diberi sebidang tanah di sana. 


KH Abdul Madjid pertama kali belajar tentang agama kepada ayahnya sendiri. Kemudian pada saat usianya 10 tahun, beliau disekolahkan di Makkah Al-Mukaromah. Di Tanah Suci, beliau berguru pada sejumlah ulama terkemuka, diantaranya adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Ali Al-Maliki dan Syaikh Sa’id al-Yamani. 


Ilmu yang beliau pelajari cukup umum sebagaimana lazimnya para ulama pada saat itu, mulai dari Fiqih, Ushul Fiq-h, Tafsir Hadist dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Namun demikian, KH Abdul Madjid terkenal sebagai ahli ilmu Tasawuf, ahli Tafsir dan terutama sekali ahli ilmu Falak.


Selepas menempuh pendidikan 20 tahun lamanya, KH Abdul Madjid kembali ke tanah air pada 1917. Namun, tidak seperti ulama lain yang langsung mengabdikan ilmunya dengan kegiatan belajar mengajar, KH Abdul Madjid setibanya di tanah air justru melakukan aktivitas berdagang terlebih dahulu. Melalui cara berdagang inilah KH Abdul Madjid mulai dikenal banyak orang, hingga banyak pula yang mengetahui bahwa KH Abdul Madjid baru saja kembali dari Makkah. 


Banyak orang yang kemudian meminta KH Abdul Madjid untuk mengajarinya mengaji dan ilmu agama. Awalnya KH Abdul Madjid menolak untuk mengajar mengaji, namun karena semakin banyak orang yang datang sembari berbelanja ingin diajari mengaji, barulah beliau bersedia mengajar mengaji dan mengajar ilmu agama. 


Model pengajaran yang berkembang di Betawi saat itu adalah halaqah, baik di masjid/mushola maupun di rumah ulama yang bersangkutan. Selain di rumahnya, KH Abdul Madjid setiap harinya juga mengajar di daerah Gang Abu dan Gang Sase Kemakmuran di daerah Pekojan, Jakarta Barat. Majelis taklimnya juga tersebar di Sawah Besar, Petojo, Batu Tulis, Tanjung Priok, Kramat Senen, bahkan sampai Rawa Bangke. 


Dengan aktivitas mengajar yang intensif di berbagai tempat, tidak heran jika KH Abdul Madjid mempunyai banyak murid yang tersebar di berbagai daerah, yang kelak menjadi ulama Betawi yang akan meneruskan syiar Islam. Di antara para murid KH Abdul Madjid yang akhirnya menjadi ulama Betawi adalah KH Abdul Ghani, KH Abdul Rozak Ma’mun, KH Abdul Rahman, dan KH Soleh. Di samping itu, ada KH Abdullah Syafi’i, KH Nahwari, KH Sa’idi, KH Najib, dan KH Bakir. Oleh para muridnya, KH​​​​​​​ Abdul Madjid lebih dikenal dengan sebutan Guru Madjid.


Nama Guru Madjid tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan perkembangan tempat rukyatul hilal di Menara Masjid Al-Musyari'in, Basmol, Jakarta Barat. Pada saat itu daerah Basmol yang masih bernama Pesalo merupakan areal persawahan dan perkampungan masyarakat Betawi. Karena daerah tersebut berupa dataran tinggi dan lapang, lokasi tersebut kemudian dijadikan sebagai tempat merukyatul hilal oleh Mufti Betawi yang menjabat pada masa itu yaitu Habib Usman bin Yahya. Tugas mufti sendiri adalah memperkenalkan dan menerapkan syariat Islam kepada masyarakat. 


Sepeninggal Habib Usman, kegiatan rukyatul hilal di Basmol masih tetap berjalan, yang dilakukan oleh Guru Madjid sebagai pengganti posisi Habib Usman. Sebagai seorang ulama yang ahli dalam ilmu falak, Guru Madjid menghasilkan karya tulisan berupa kitab Taqwim An-Nayyirain yang kini menjadi rujukan dalam kegiatan rukyatul hilal di Basmol selain kitab Sullam An-Nayyirain.


Semakin terkenalnya nama Guru Madjid sebagai ulama pengajar dan penyebar dakwah Islam, menarik perhatian para pejabat pemerintah saat itu untuk melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di Batavia atau Jakarta. Hingga pada akhirnya Guru Madjid aktif menjadi pengurus Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta menjadi anggota Chuo Sangi-in atau Dewan Pertimbangan Pusat pada masa pendudukan Jepang. Melalui lembaga politik inilah Guru Madjid turut serta menyebarkan ajaran Islam lebih luas lagi.  


Guru Madjid wafat pada 27 Juni 1947 di usia 60 tahun. Karena begitu dekatnya beliau dengan daerah Basmol, jenazah ulama asal Pekojan ini kemudian dimakamkan di depan Masjid Al-Musyari’in, Basmol. Sebelum wafat, beliau memang sempat meminta izin kepada salah satu muridnya, K.H. Abdul Ghani, untuk dimakamkan di lingkungan masjid tersebut. 


Selama hidupnya, Guru Madjid dikenal luas sebagai seorang pejuang ilmu. Ketulusannya berhasil menginspirasi para muridnya, sehingga mereka di kemudian hari bisa mengikuti jejaknya sebagai ulama yang gigih berdakwah. Alhasil, sepeninggalnya banyak muridnya yang menjadi ulama besar yang meneruskan penyebaran dakwah dan ilmu agama di Tanah Betawi. 


Guru Madjid telah berkontribusi besar untuk agama dan bangsa ini. Bahkan sampai sekarang, menara Masjid Al-Musyari’in, Basmol terkenal konsisten melakukan rukyatul hilal sebagai patokan menentukan awal Ramadhan, Syawwal, dan Idul Adha. Semua ini tidak terlepas dari peran dan pengaruh Guru Madjid di lingkungan masyarakat Betawi.


Guru Madjid, meskipun seorang alumnus Masjidil Haram, adalah seorang yang rendah hati. Tidak sedikitpun perasaan sombong tumbuh dalam diri ulama tersebut. Kegigihannya dalam mempelajari suatu ilmu hingga ke akar-akarnya, patut diamalkan oleh generasi muda sebagai calon ulama di masa depan. Sosok K.H. Abdul Madjid atau Guru Madjid dapat menjadi teladan yang menginspirasi dan membimbing banyak ulama muda dalam mempelajari agama Islam serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. 


Referensi:


Budi, B. (2022). Biografi Guru Madjid Pekojan. Laduni.ID. https://www.laduni.id/post/read/74283/biografi-guru-madjid-pekojan (diakses 13 Mei 2023).
Fadli, A. (2011). Ulama betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke 19 dan 20) (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press), hal. 2. 
Kiki, R. Z. (2011). Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke 19 Sampai Abad Ke 21) (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta), hal. 15-16.
Muhyiddin, M. (2022). KH Abdul Madjid, Guru para Ulama Betawi. Republika. https://www.republika.id/posts/25034/kh-abdul-madjid-guru-para-ulama-betawi (diakses 13 Mei 2023). 
Putra, B. A. (2022). Peran KH Abdul Majid Dalam Pengembangan Islam Di Kembangan Jakarta Barat (1920-1947) (Bachelor's thesis, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif HIdayatullah Jakarta).


Artikel di atas merupakan karya dari Imam Mutofik, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta.


Literatur Terbaru