Syariah

Pandangan Islam soal Larangan Perselingkuhan

Rabu, 21 Agustus 2024 | 12:00 WIB

Pandangan Islam soal Larangan Perselingkuhan

Ilustrasi cincin pernikahan. (Foto: NU Online)

Isu perselingkuhan sepanjang tahun ini menjadi pemberitaan yang selalu menyita perhatian publik. Isu perselingkuhan kerap kali ramai ketika terjadi di kalangan selebriti atau public figure. Isu perselingkuhan ini kembali beredar luas yang menerpa salah satu pesepak bola timnas Indonesia. Istri dari pesepak bola itu, diduga berselingkuh dengan kekasih salah satu selebgram tanah air.

 

Isu perselingkuhan istri pesepak bola itu mulanya ramai di media sosial X. Pasalnya, pesepak bola ini dinilai akrab menunjukkan momen romantis dengan istrinya bahkan ketika menjalani pertandingan di lapangan. Dengan kejadian ini, publik menaruh simpati dan menyemangatinya untuk menghadapi isu ini.


Perselingkuhan merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Perselingkuhan merupakan perbuatan yang merusak ikatan pernikahan yang bernilai suci keberadaannya di dalam Islam. Pernikahan dalam Islam itu sebuah Mitsaqan Ghalidza atau perjanjian yang kuat nan agung tidak hanya antar laki-laki, perempuan, maupun dengan keluarganya, tetapi juga dengan Allah.

 

Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengatur sedemikian rupa perihal hubungan suami istri dalam berumah tangga. Keharmonisan pasangan suami istri merupakan hal yang penting dalam Islam untuk membangun iklim rumah tangga yang kondusif bagi tercapainya tujuan rumah tangga itu sendiri, kebahagiaan dan menggapai Ridha Allah.

 

Dilansir dari NU Online, Ustadz Alhafiz Kurniawan menyatakan Rasulullah melarang keras seseorang yang mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain, seperti dalam sabdanya berikut:


عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه 


Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda: "Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya" (HR Abu Dawud). 


Hadits ini menjelaskan bahwa betapa buruknya aktivitas tipu daya yang dilakukan seorang lelaki untuk menjauhkan seorang perempuan dari suaminya. Agama mengecam keras upaya apapun dari  orang yang memperdaya seorang perempuan dalam rangka merusak hubungan rumah tangganya dengan sang suami.

 

Ustadz Alhafiz menuturkan kecaman agama ini tidak hanya menyasar lelaki sebagai pihak ketiga dalam rumah tangga. Agama juga mengecam keras perempuan yang melakukan upaya-upaya serupa dalam rangka merebut hati suami orang lain sebagai penjelasan atas hadits berikut ini:


 لَيْسَ مِنَّا) أي من أتباعنا (مَنْ خَبَّبَ) بتشديد الباء الأولى بعد الخاء المعجمة أي خدع وأفسد (امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها) بأن يذكر مساوىء الزوج عند امرأته أو محاسن أجنبي عندها (أَوْ عَبْدًا) أي أفسده (عَلَى سَيِّدِه) بأي نوع من الإفساد وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها قال المنذري وأخرجه النسائي 


Artinya, “(Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya) misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya. Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya. Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai,” (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).

 

Keterangan (syarah) hadits di atas cukup jelas bahwa pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam. Dengan bahasa lain, upaya merusak keharmonisan rumah tangga orang lain bukanlah jalan hidup yang disyariatkan oleh agama Islam karena upaya destruktif ini berlawanan arah dengan tujuan perkawinan itu sendiri. 

 

Sementara pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW dengan lugas melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang menjadi hak istrinya selama ini. Berikut ini kami kutip hadits riwayat Imam At-Tirmidzi:

 عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا 


Artinya, “Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya,’” (HR Tirmidzi).

 

Ulama berbeda pendapat perihal siapa perempuan yang dimaksud. Sebagian ulama memahami bahwa perempuan itu adalah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Sementara ulama lain memaknai perempuan dalam hadits ini sebagai salah seorang istri dari pria yang melakukan poligami. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibnu Abdil Bar. Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami’ At-Tirmidzi berikut ini:


 قال النووي معنى هذا الحديث نهي المرأة الأجنبية أن تسأل رجلا طلاق زوجته ليطلقها ويتزوج بها انتهى وحمل بن عبد البر الأخت هنا على الضرة فقال فيه من الفقه إنه لا ينبغي أن تسأل المرأة زوجها أن يطلق ضرتها لتنفرد به انتهى قال الحافظ وهذا يمكن في الرواية التي وقعت بلفظ لا تسأل المرأة طلاق أختها وأما الرواية التي فيها لفظ الشرط (يعني بلفظ لَا يَصْلُحُ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَشْتَرِطَ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِىءَ إِنَاءَهَا) فظاهر أنها في الأجنبية ويؤيده قوله فيها ولتنكح أي ولتتزوج الزوج المذكور من غير أن تشترط أن يطلق التي قبلها انتهى 

 

Artinya, “Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadits ini adalah larangan bagi seorang perempuan (pihak ketiga) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini. Ibnu Abdil Bar memaknai kata ‘saudaranya’ sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya. Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.’ Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan ‘Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,’ jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga. Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, ‘agar ia (pihak ketiga) dapat menikah’, yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya,” (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369). 

 

Dari pelbagai keterangan ini, Ustadz Alhafiz menggambarkan bahwa agama mengharamkan upaya perempuan (pihak ketiga) merebut suami orang lain baik dengan maksud menguasai harta atau dengan maksud menikah dengan suami orang lain meski tanpa syarat menceraikan istri sebelumnya. 

 

Secara umum, ia juga menggambarkan bahwa yang dimaksud dengan merebut suami orang lain adalah dilihat dari peran aktif perempuan sebagai pihak ketiga tersebut dengan pelbagai cara menarik hati suami orang lain. 


Larangan ini beralasan. Pasalnya, batasan-batasan terkait perkawinan semacam ini bertujuan untuk menata kehidupan sosial melalui penataan rumah tangga pasangan yang harmonis tanpa kehadiran pihak ketiga yang biasanya lebih banyak mengandung mudarat dan masalah. Tentu saja larangan ini tetap berlaku bagi perempuan pihak ketiga terlepas dari respon suami yang pada dasarnya memang hidung belang yang membuka kesempatan bagi pihak ketiga. Tetapi pada prinsipnya, upaya pihak ketiga baik lelaki (pria idaman lain) maupun perempuan (wanita idaman lain) dalam sebuah rumah tangga dilarang dalam agama.