Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari

Jakarta Raya

Ketua MWCNU Kelapa Gading: NU Ini Tempat Untuk Berperan Bukan Baperan

Momen Ketua MWCNU Kelapa Gading ustadz Qosim Nursehah di Masjid Al-Barokah Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Sabtu (07/01/2023). (Foto: istimewa).

Jakarta Utara, NU Online Jakarta

Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Kelapa Gading Jakarta Utara, Ustadz Qosim Nurseha menyebut bahwa orang NU harus banyak berperan bukan baperan (Orang yang bawa perasaan).


“Maka ketika kita menjadi benteng, haruslah kita banyak untuk berperan bukan baperan,” kata Ustadz Qosim dalam tausiyahnya di Masjid Al-Barokah Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Sabtu (07/01/2023).


Ustadz Qosim juga menyebut bahwa NU mengandung keramat (suci). Hal ini didasari dengan perjuangan NU dalam mendirikan bangsa Indonesia yang digelorakan oleh kaum santri dan para kiai sejak zaman penjajahan.


Lebih lanjut, menurut ustadz Qosim, Pembahasan NU tidak jauh dari konteks pemahaman nilai-nilai kebangsaan. NU memiliki peran yang amat besar terhadap keberlangsungan bangsa Indonesia. Maka tak heran banyak pihak yang melabeli NU adalah bentengnya bangsa Indonesia.


Ustadz Qasim menerangkan salah satu contoh peran dan ciri khas warga NU adalah dengan mengadakan suatu perkumpulan yang memberikan manfaat sambil mencari berkah untuk menuntut ilmu.


“Silaturahminya dapat, dzikirnya dapat, shalawatnya dapat dan semuanya dapat,” terangnya.


Selain itu, Ustadz Qosim mengungkapkan ada tiga tanggung jawab besar yang dimiliki oleh warga NU. Di antaranya, pertama adalah Mas’uliyah Ad-Diniyah, yaitu tanggung jawab terhadap agama. Sebab agama adalah pondasi kehidupan.


“Dimana tanggung jawab kita minimal terhadap diri kita sendiri seperti menjaga nilai-nilai agama dalam diri kita dengan menuntut ilmu dan juga akhlak,” ungkapnya.


Kedua, Mas’uliyah Al-Wathoniyah, yaitu tanggung jawab terhadap negara. Hal ini diaplikasikan dengan cinta terhadap tanah air dan mentaati seluruh peraturan perundang-undangan berlaku sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Kita hidup di Indonesia, jadilah orang Islam Indonesia. Kalau jadi orang Islam tidak harus jadi orang Arab, kalau jadi orang Tionghoa tidak harus jadi orang China, kalau jadi orang Kristen tidak harus jadi bangsa Eropa, jadilah bangsamu sendiri tetapi yang mempunyai agama,” tegas ustadz Qasim.


Ketiga, Mas’uliyah Al-Insaniyah, yaitu tanggung jawab terhadap sesama manusia, dalam hal ini adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Ustadz Qasim berpendapat masih banyak orang yang mengklaim bahwa adil itu setara atau sama rata. 


Padahal, lanjut Ustadz Qasim, bahwa adil itu adalah bagaimana cara seseorang untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Persoalan perbedaan pendapat dan cara berpikir, menurut Ustadz Qasim sering mengganggu hubungan antar sesama manusia.


“Masih banyak di antara kita yang belum bisa menerima perbedaan, juga keegoisan sehingga sulit untuk menerima perbedaan menjadi satu-kesatuan,” tuturnya.


Ustadz Qasim menyampaikan perbedaan sejatinya adalah kehendak dari Allah. Dalam kesempatan itu ia menyeru kepada masyarakat untuk menerima perbedaan tersebut sebagai anugerah dalam kehidupan berbangsa dan dan bernegara.


“Ketika kita menjalani kehidupan dari berbagai suku, agama dan budaya yang menjadi satu di dalam negara Indonesia, inilah Indonesia yang terlihat terlihat indah. Mari kita terima perbedaan tersebut,” pungkasnya.


Pewarta: Khoirul Rizqy At-Tamami
Editor: Haekal Attar

Khoirul Rizqy At-Tamami
Editor: Haekal Attar

Artikel Terkait