• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 3 Mei 2024

Literatur

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam dan Intelektual NU

Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam dan Intelektual NU
Ilustrasi: Muhammad Abed Al-Jabiri. (Foto: Dendy Wahyu Anugrah/NU Online Jakarta).
Ilustrasi: Muhammad Abed Al-Jabiri. (Foto: Dendy Wahyu Anugrah/NU Online Jakarta).

Dalam perkembangan khazanah intelektual Islam, para cendekiawan Muslim berusaha menciptakan kerangka epistemik guna memberikan sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap korpus keagamaan (Islam) yang cenderung bersifat multitafsir. Dialektika sosio-historis adalah salah satu penyebab lahirnya pemikiran-pemikiran yang bersifat dinamis sehingga cakrawala pemahaman Islam seseorang tidak mengalami “keajegan” atau statis. Terutama dalam menyikapi sebuah tradisi.


Zaini Rahman dalam Post-Tradisionalisme: Antara Epistemologi dan Praksis Sosial, menjelaskan bahwa tradisi (turats) mempunyai spektrum yang cukup luas. Di dalamnya meliputi tradisi yang bersifat maknawi (al-turats al-maknawi), tradisi yang berbentuk material (al-turats al-madiy), tradisi kebangsaan (al-turats al-qaumy), dan tradisi kemanusiaan pada umumnya (al-turats al-insany). 


Fenomena yang menarik pasca khittah 1926 adalah terjadinya revolusi paradigma keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), yang sedari awal terkesan sudah mengalami kemapanan. Reinterpretasi tersebut merupakan sebuah langkah kalangan muda NU untuk mengembangkan paradigma keagamaan (Islam) yang progresif, transformatif, dan untuk mengevaluasi pemahaman keagaamaan, khususnya perihal teologi, wacana fiqih, kajian kritis kitab-kitab kuning yang mu’tabar dan relasi antara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya (Jamaluddin & Rapik, 2018). 


Muhammad Abed Al-Jabiri dan Secercah Pemikirannya Tentang Turats


Muhammad Abed Al-Jabiri atau dikenal Al-Jabiri adalah cendekiawan Muslim yang lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada 1936. Ia salah satu pemikir Arab kontemporer yang sampai saat ini pemikirannya masih diperhitungkan di dunia Islam maupun Barat (Mugiyono, 2015). Pemikiran Al-Jabiri yang menjadi fokus tulisan ini adalah mengenai—apa yang disebut Al-Jabiri dengan—istilah turats (tradisi). 


Dalam epistemologinya terhadap konsep turats, ia menjelaskan bahwa tradisi mempunyai sifat positif dan negatif. Di satu sisi, tradisi dapat mendorong manusia kepada semangat kebangkitan (nahdlah). Namun, di sisi lain, tradisi juga dapat mendorong atau menyebabkan manusia mengalami dekadensi (kemerosotan) (Bindaniji & Fuadi, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa harus ada pemahaman yang bersifat metodologis supaya umat Islam, khususnya, tidak mengalami dekadensi. 


Selaras dengan Al-Jabiri, cendekiawan Muslim Hassan Hanafi (1935-2021) juga memandang tradisi terdapat aspek positif dan negatif. Sisi positifnya, tradisi dapat dijadikan basis kajian, proses ijtihad, dan kemaslahatan yang bisa menciptakan transformasi sosial. Sementara negatifnya, tradisi hanya sesuatu yang diterima begitu saja, identik dengan kepasrahan pada qada’ dan qadhar. 


Cara berinteraksi dengan tradisi, menurut Al-Jabiri, mayoritas umat Muslim dapat terbagi menjadi dua pola, yakni al-fahm al-turatsi li al-turats dan al-fahm al-khariji li al-turats. Pola yang pertama dikenal dengan istilah taqlidiyyah, yakni bentuk pembacaan atas tradisi yang hanya menerima tradisi dengan apa adanya tanpa kritik maupun analisis historis yang ketat. Sementara pola kedua adalah bentuk pembacaan atas tradisi dengan menggunakan konstruksi pemikiran modern dan lebih terbuka. 


Al-Jabiri menegaskan bahwa dalam melihat atau berhadapan dengan tradisi, harus bersandarkan kepada objektivitas dan rasionalitas. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi, untuk mengobjektivasi sebuah tradisi, subjek harus mengambil jarak terhadap objek (tradisi) dan menyesuaikan konteks zaman. 


Adapun langkah-langkah konkret dalam merealisasikan pemikiran tersebut, antara lain: Pertama, menempatkan tradisi sebagai apa adanya dan melepaskannya dari berbagai pengetahuan yang meliputinya. Kedua, menganalisis sosio-historis untuk mengetahui genealogi pengetahuan yang melahirkan sebuah tradisi. Ketiga, kritik ideologi untuk mengetahui sejauh mana peran ideologi dan sosial-politik mempengaruhi tradisi (Bindaniji & Fuadi, 2022).


Post-Tradisionalisme Islam dan Intelektual Nahdlatul Ulama (NU)


Selama ini, di Indonesia terjadi dikotomi antara Islam modernis dan Islam tradisionalis dengan stereotype-nya masing-masing. Islam modernis dipandang sebagai kelompok pembaharu, menolak tradisi yang dianggap bid’ah dan bersifat puritanistik. Sementara Islam tradisionalis dianggap sebagai kelompok yang tidak pernah lepas dari kitab-kitab kuning dan hanya menerima tradisi sebagaimana adanya. 


Pandangan semacam ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan dengan adanya pengelompokan organisasi NU sebagai Islam tradisionalis dan Muhammadiyyah sebagai Islam modernis. Hal itu merupakan asumsi yang sama sekali tak berdasar. 


Istilah Post-Tradisionalisme Islam merupakan produk pemikiran yang bertumpu pada tradisi, namun ditransformasikan secara meloncat. Sebuah konstruksi pemikiran tentang tradisi baru yang masih berakar kepada tradisi lama, sebagai upaya dalam memberikan paradigma baru terhadap pemahaman agama, sosial, politik dan budaya. Sejak 1970-an, kemunculan corak intelektualitas baru seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mahbub Djunaidi membuat intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) terus mengembangkan konstruksi pemikirannya. 


Dalam mengambil referensi pemikiran, kaum intelektual muda NU justru mengambil corak pemikiran tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Muhammed Arkoun, Muhammad Abed Al-Jabiri, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka tidak mengambil pemikiran dari tokoh-tokoh modernis (Rahman, 2001).


Peneliti asal Australia, Greg Barton, dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme, Nurcholish Madjid, Djoko Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, mengategorikan Gus Dur sebagai neo-modernisme. Dari pendapat Greg Barton itu, kalangan muda NU membantah bahwa Gus Dur dikategorisasikan sebagai neo-modernisme. 


Dalam membantah 'pelabelan' terhadap corak pemikiran intelektual NU yang diasumsikan oleh Barton, setidaknya ada dua argumen yang menjadi antitesis pendapat tersebut. 


Pertama, dari segi genealogi pemikiran dan keagamaan, kalangan NU lebih menekankan keberlanjutan tradisinya. Mereka cenderung memiliki resistensi yang kuat terhadap modernisme. Corak pemikiran mereka bertendensi pada tradisi dan berupaya mentransformasikan tradisi tersebut dengan menggunakan pemikiran yang lebih progresif, sehingga dapat memberikan pemahaman yang luas, terutama dalam keagamaan. 


Kedua, dari segi wacana yang dipilih oleh kalangan intelektual NU. Mereka menolak paradigma maupun gerakan formalisme Islam yang dianggap sebagai gerakan yang tidak produktif. Sebab kalangan modernis cenderung memiliki pandangan yang formalistik terhadap agama, terutama dalam konteks kenegaraan. Hematnya, sangat berbanding terbalik dengan diskursus kalangan NU mengenai kenegaraan yang cenderung membahas tema-tema pluralisme, civil society, dan toleransi antar agama lain.

 
Melihat beberapa uraian singkat di atas, memberikan pengertian bahwa konstruksi pemikiran intelektual NU bukan tergolong neo-modernisme Islam. Sebab corak pemikiran 'liberal' mereka berorientasi melanjutkan dari transformasi tradisi yang melampaui batas pencapaian kaum modernis. Hal itu terjadi karena wacana dan doktrin yang diusung oleh kaum modernis dianggap tidak produktif dalam komunitasnya sehingga corak pemikiran kaum intelektual NU tersebut dinamakan 'Post-Tradisionalisme Islam' (Rahman, 2001).


Sumber:


Bindaniji, M., & Fuadi, M. A. (2022). Post-Tradisionalisme: Membincang Basis Epistemologi dan Transformasi Gerakan Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 24(1), 58. https://doi.org/10.22373/substantia.v24i1.12909
Jamaluddin, J., & Rapik, M. (2018). Kebangkitan Islam di Indonesia Perspektif Post-Tradisionalisme Islam. Kontekstualita, 34(02), 126–148. https://doi.org/10.30631/kontekstualita.v34i02.41
Mugiyono. (2015). Konstruksi Islam Reformatif : Analisis Kritis terhadap Pemikiran M . Abid al-Jabiri. Tajdid, XIV(2), 206.
Rahman, Zaini. (2001). Post-Tradisionalisme Islam: Antara Epistemologi dan Praksis Sosial. Academia. Diakses pada Minggu (09/04/2023).


Artikel di atas merupakan karya dari Dendy Wahyu Anugrah, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta.


Literatur Terbaru