• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 16 Mei 2024

Nasional

PESANTREN ASSIDDIQIYAH

Penjaga Cahaya Religiusitas di Ibukota Jakarta

Penjaga Cahaya Religiusitas di Ibukota Jakarta

Jakarta sebagai ibukota Indonesia identik dengan kehidupan metropolitan yang gemerlap dan hedonis. Tetapi cahaya pendidikan keagamaan masih bersinar di beberapa tempat, salah satunya di Pesantren Assidiqiyah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Pesantren ini juga masih mempertahankan beberapa tradisi pengajian salaf, disamping pengajaran dari kurikulum resmi pemerintah. <>

Pada awalnya, Kiai Nur Iskandar sendiri agak ragu ketika pertama kali ingin mendirikan pesantren di lokasi tersebut. Awalnya, sebagai santri Pesantren Lirboyo, ia diminta oleh KH Mahrus Ali, pengasuh Lirboyo untuk mendirikan pesantren di Jakarta, tetapi ia belum berani memutuskan. Bahkan ketika ada seseorang yang berniat memberi tanah wakaf, ia pun masih ragu. Isyarat datang ketika berangkat haji ke Makkah, ia diminta oleh seorang asing untuk mengaji. Awalnya Kiai Nur menolak karena merasa masih muda padahal disitu ada beberapa kiai senior seperti KH As’ad Syamsul Arifin, KH Subakir, dan Kiai Muhtar Syafaat. Oleh beberapa kiai tersebut, permintaan orang asing tersebut dimaknai sebagai perintah untuk mendirikan pesantren. 

Setibanyak di Jakarta, langsung saja, tanah wakaf tersebut di terima dan dibangun masjid. Tahun 1985 resmi dibuka pesantren. Dari satu-dua santri, akhirnya pesantrennya terus berkembang sehingga tanah di sekitar masjid tersebut dibeli untuk perluasan pesantren. Bukan hanya di Kebun Jeruk saja, bahkan kini Assidiqiyah sudah memiliki cabang di delapan lokasi di seluruh Indonesia seperti di Batu Ceper, Puncak Cianjur, Palembang, Lampung, dan lainnya.

Muhammad Riza Azizi, pengasuh pesantren Assidiqiyah di kawasan Puncak Cianjur yang ditemui di Assidiqiyah Kebun Jeruk menjelaskan, beberapa tradisi pesantren salaf masih dipertahankan seperti ngaji sorogan. Beberapa kitab kuning juga masih diajarkan seperti Jurumiyah, Imriti, Tafsir Jalalain, Taklimul Mutaallin, dan beberapa lainnya.   

Para santri memiliki jadual yang sangat padat. Dari papan pengumuman yang dipasang di salah satu area pesantren, pada jam 03.30 santri sudah harus bangun untuk shalat tahajjud dan istighotsah. Setelah shalat Subuh, jadual pelajaran bahasa Arab atau Inggris sudah menunggu dalam bentuk small group atau pelajaran di kelas. Sekolah formal berlangsung sampai 12.30 dan pada pukul 16.00-17.30 santri harus mengikuti Madrasah Diniyah. Malam hari, mereka masih harus belajar Al-Qur’an, Tafsir Jalalain, dan belajar mandiri. Baru pukul 22.00 mereka bisa istirahat.

Di Assidiqiyah Kebon Jeruk, jumlah santri sekitar 800 yang belajar di tingkat SMP, Aliyah dan Ma’had Ali. Selain adanya kajian agama yang lengkap, menurut Riza Azizi, biaya yang murah juga menjadi faktor wali santri mengirimkan anaknya ke pesantren ini. Dalam satu bulan, orang tua hanya perlu membayar 900 ribu yang sudah meliputi biaya makan tiga kali, sekolah dan fasilitas asrama dengan ranjang tidur. Untuk ukuran Jakarta, biaya tersebut cukup murah, apalagi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta yang bayarannya saja bisa diatas satu juta. 

Jika digabungkan dengan cabang-cabangnya, jumlah total santri lebih dari 3.000. Kebijakan kurikulum masing-masing pesantren ada yang terstandarisasi dari pusat seperti pembelajaran Qur’an dengan metode Yambu’a sedangkan hal lainnya, masing-masing cabang diizinkan melakukan inovasi karena masing-masing kondisinya berbeda, baik kemampuan masyarakat maupun tenaga pengajarnya. 

Sementara itu, para santri berasal dari jaringan alumni dan ketokohan pengaruh pesantren, khususnya Kiai Nur Iskandar yang sudah berkiprah di dunia dakwah lebih dari 30 tahun. Beberapa alumni juga menjadi dai populer seperti Ustadz Solmet, Ustadz Fikri Haikal, Ustadz Anwar Pandeglang dan lainnya. Mereka turut mempromosikan pesantren Assidiqiyah ke masyarakat. Keberadaan para alumni yang menjadi dai tersebut menunjukkan apa yang diajarkan di pesantren ini bisa diteruskan ke masyarakat melalui para alumni. Juga mengharumkan nama pesantren atas keberhasilannya dalam mendidik mereka. 

Mengingat biaya operasional yang mahal, pesantren memiliki sejumlah unit usaha seperti SQ Mart dengan motto “Dari santri, oleh santri, untuk santri.” Keuntungan dari unit usaha ini kembali ke kas pesantren untuk kebutuhan sehari-hari. 

Program Ma’had Ali merupakan program tiga tahun yang setara dengan D3. Pesantren mendorong mereka untuk melanjutkan ke S1 karena juga sudah ada STAI di Karawang. Para mahasantri bisa mengkonversi kuliahnya dan tinggal menambah satu tahun untuk menambah kekurangan mata kuliah dan menulis skripsi.

Untuk pelajar SMP-Aliyah, mereka juga memiliki beberapa kegiatan seperti drumband, tata bonga, hadrah dan marawis. 

Ditengah persaingan ketat berbagai lembaga pendidikan, pesantren Assidiqiyah terus mampu menjaga eksistensinya, menjaga cahaya religiusitas di ibukota Jakarta. (Mukafi Niam)


Editor:

Nasional Terbaru