Opini

Kita Semua adalah Pemimpin

Ahad, 3 November 2024 | 15:00 WIB

Kita Semua adalah Pemimpin

Ilustrasi pemimpin. (Foto: Freepik)

Indonesia menjadi salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, yaitu dengan menjadikan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Berawal dari pemilihan umum yang dilakukan oleh rakyat, lalu terpilihlah calon dengan perolehan suara terbanyak.


Namun, sering kali kita mengomentari sistem pemerintahan di Indonesia yang dinilai buruk. Banyak pejabat yang zalim terhadap tugasnya, hingga korupsi pada yang bukan haknya.


Sebelum mengomentari para pemimpin yang kurang bertanggung jawab akan tugasnya, ada baiknya kita muhasabah diri. Jauh dari kepemimpinan yang terdapat di negara Indonesia, sudikah kiranya kita mawas diri akan kepemimpinan yang berada di sekitar kita.


Bukan hanya yang bekerja di dunia politik saja yang dikatakan sebagai pemimpin. Dalam ruang lingkup keluarga pun, seorang ayah menjadi pemimpin bagi keluarganya. Kepala sekolah menjadi pemimpin bagi sekolah yang dibinanya. Seorang murid menjadi ketua bagi teman kelasnya.


Nabi Muhammad SAW bersabda:


أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


Artinya:

 "Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak-suaminya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas tuannya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah, masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Ibnu Umar)


Pada hadis tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa setiap manusia adalah pemimpin bagi manusia yang lain.


Seorang ibu menjadi pemimpin yang harus bertanggung jawab atas anak-anaknya. Bagaimana sang ibu harus mendidik anaknya dengan baik, senantiasa selalu memberikan rasa kasih sayang dan keamanan.


Seorang suami menjadi pemimpin yang harus bertanggungjawab atas istrinya. Bagaimana seorang suami harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri, serta membahagiakan istri dan menunaikan hak dan kewajibannya.


Seorang guru menjadi pemimpin yang harus bertanggungjawab pada murid-muridnya. Bagaimana tugas guru yang mengajarkan muridnya untuk menjadi sosok yang memiliki budi pekerti luhur.


Seorang dokter menjadi pemimpin yang harus bertanggungjawab dengan pasiennya. Bagaimana dokter menjadi salah satu wasilah atas kesembuhan dalam menangani keluhan yang dialami pasien.


Bahkan supir kendaraan pun menjadi pemimpin yang harus bertanggung jawab atas penumpangnya. Bagaimana jika ia tidak peduli pada penumpangnya, sudah pasti supir itu mengendarai kendaraan dengan ugal-ugalan, tidak peduli nasib penumpangnya akan selamat sampai tujuan atau tidak.


Sejak terlahir di dunia, Allah sudah menjadikan kita memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Sudah sepatutnya kita merasa bertanggung jawab atas apa yang sudah Allah berikan.


Tidak ada manusia yang terlahir tidak menjadi pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Selaras dengan firman Allah pada surah al-Baqarah ayat 30, ialah:


وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ 


Artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.”


Dalam Al-Qur’an, kata khalīfah memiliki makna ‘pengganti’, ‘pemimpin’, ‘penguasa’, atau ‘pengelola alam semesta’. Dari sini menunjukkan bagaimana peran manusia yang memang diciptakan sebagai pemimpin di dunia.


Sama halnya dengan pemimpin negara yang mengatur urusan negara dan rakyatnya. Sudah semestinya bertanggungjawab akan kemakmuran rakyat, serta berlaku adil pada semua kalangan.

 

Ketika kita meneladani akhlak Sang Baginda Nabi, tentu itulah perbuatan yang mulia. Berikut dikisahkan pada sosok sahabat yang mencerminkan akhlak terpujinya.

 

Diceritakan suatu hari, ada seorang anak yang ingin berbicara pada ayahnya. Lantas anaknya itu mengetuk pintu.


“Untuk urusan apa putraku datang ke sini; urusan negarakah atau keluargakah?” Tanya Umar.


“Urusan keluarga, ayahanda.” Jawab si anak.


Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi gelap.


“Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” Tanya putranya merasa heran.


“Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. 
 

Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga.” Jelas Umar.


Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.


“Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah.”


Begitulah perangai pemimpin sejati. Ternyata, puncak kejayaan di berbagai bidang tak lantas membuat Umar bin Abdul Aziz terperdaya. Meski prestasinya banyak dipuji, pemimpin berjuluk ‘khalifah kelima’ tetap bersahaja, amanah, dan sangat hati-hati mengelola aset negara.


Namun dewasa ini, banyak orang berbondong memperebutkan jabatan, tapi tidak amanah dalam mengemban kewajiban. Lain halnya saat Nabi Muhammad SAW wafat. Semua sahabat saling menunjuk siapa yang pantas menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah. Abu Bakar bahkan menolak, merasa tak pantas jika dirinya menjadi pemimpin.


Maka dari itu, perlu kiranya kita mengamalkan akhlak kepemimpinan sang Nabi. Sekurangnya, menjadikan diri sebagai pemimpin yang shidiq, amanah, tabligh dan fatanah. Baik untuk diri sendiri, teman, keluarga hingga negara dan agama.


Mari kita sama-sama berdoa, semoga setiap para pemimpin di dunia senantiasa bertakwa pada Allah; menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan kehidupan.


Ghifarah Turmudzi, Mahasiswi STKQ Al-Hikam, Depok