Nasrudin dan Kiai Makmun: Sebuah Dialog Kecil di Pesantren Kecil
Rabu, 25 September 2024 | 10:00 WIB
Muhammad Imaduddin
Kolomnis
“INDONESIA MENEMPATI RANGKING PERTAMA KORUPSI DI ASIA”
"Astagfirullah...! " Nasrudin terbelalak matanya begitu membaca berita koran pagi ini. "Bukankah mayoritas penduduk Indonesia muslim. Apa mereka tidak tahu kalau mencuri itu haram dan harus dipotong tangannya? Korupsi itu kan nama keren dari mencuri." Nasrudin bicara sendirian. Mulutnya memaki-maki. Berita surat kabar hari ini yang mengusik idealismenya sebagai santri.
"Ada apa, Din?" terdengar suara lembut berwibawa beberapa centi dari telinganya. Seketika Nasrudin menoleh ke belakang.
"Eh, Kiyai. Tidak ada apa-apa. Ini, Kiyai" Nasrudin menunjukkan koran yang sedang dipegangnya. Rupanya, ketika Nasrudin sedang memaki-maki tadi, Kiai Makmun telah berada di belakangnya.
Kiai Makmun meraih koran yang diberikan Nasrudin. Dipandanginya koran itu. Nasrudin hanya diam memandangi ekspresi wajah serius sang guru, kala menelusuri berita koran yang dibawanya.
"Kiyai.... Waktu saya sekolah dulu, guru saya menerangkan, julukan negara kita adalah jamrud khatulistiwa, karena kekayaan hutan dan alamnya yang melimpah tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan laut kita juga tak terhitung banyaknya. Tapi mengapa negara kita tetap miskin, Kiai?," tanya Nasrudin.
Kiai Makmun mengajak Nasrudin ke sebuah bangku di sudut surau. Nasrudin menurut. Kiai Makmun duduk di bangku, diikuti Nasrudin di sebelahnya.
"Begini Din" tutur Kiai Makmun pelan. "Benar apa katamu. Kekayaan alam kita memang melimpah" jelas Kiyai Makmun. "Tapi Din, kekayaan alam yang melimpah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang," jawabnya.
"Kok, bisa begitu, Kiai? Yang dimaksud segelintir orang itu siapa, Kiai?," tanya Nasrudin lagi.
Nasrudin termangu bagaikan anak kecil, mendengar penjelasan Kiai Makmun.
"Maksudnya" desah Kiai Makmun. "Hasil kekayaan alam itu tidak semuanya sampai kepada kita. Tapi diambil oleh oknum-oknum yang melaksanakan pemerintahan ini," jelas Kiai Makmun.
"Jadi, yang dimaksud, orang orang yang sering berdasi itu, Kiai?" tanya Nasrudin.
"Kurang lebih begitu, Din," jawab Kiai Makmun.
Nasrudin manggut-manggut, mendengar uraian Kiai Makmun. Selama ini yang ia tahu korupsi itu mencuri. Ya, mencuri. Sebagaimana sering dilakukan teman-temannya. Mencuri kelapa Kiyai Makmun yang kerap jatuh malam hari kena tiupan angin. Kelapa-kelapa itu dijual ke pasar. "Lumayan hasilnya buat beli rokok" kata mereka. Kiai Makmun sebenarnya mengetahui ulah santri-santrinya, namun Ia hanya membiarkan saja. Apalah artinya beberapa biji kelapa untuk seorang zuhud seperti Kiai Makmun.
"Mereka, kan, orang-orang pandai, Kiyai. Berpendidikan tinggi. Tentunya mereka mengerti perbuatan itu merugikan negara. Bahkan bukan cuma negara, secara tidak langsung kita sebagai rakyat juga dirugikan atas ulah mereka," terang Nasrudin.
Nasrudin seperti tidak rela dengan perbuatan oknum-oknum pejabat negara itu. Mereka yang melakukan, tapi rakyat yang harus menelan penderitaan. Pantas saja Negara kita miskin terus.
"Pendidikan tinggi, gelar yang sama panjang dengan nama, tidak menjamin orang bermental baik, Din. Justru orang yang kelihatannya bodoh dan lugu malah banyak yang jujur." kata Kiai Makmun.
"Kalau begitu, buat apa kita sekolah tinggi Kiyai, kalau akhirnya tidak membuat kita menjadi baik? Saya jadi gelisah, Kiai, melihat orang-orang yang berpendidikan tinggi justru mentalnya mental tikus. Suka makan apa saja," tegas Nasrudin.
"Disinillah letak masalahnya, Din. Bukan cuma kamu yang gelisah melihat fenomena seperti itu. Jauh beberapa abad yang silam Syeikh az-Zamuji, penulis kitab Ta'lim al-Muta'llim juga merasakan kegelisahan yang sama seperti kamu,” ungkap Kiai Makmun.
"Kamu masih ingat, kan Din, mukadimah Kitab Ta'lim al Muta'alim?,” tanya Kiai Makmun.
"Masih ingat, Kiai.." sambut Nasrudin mantap.
"Disitu az-Zarnuji menulis, 'saat ini banyak sekali saya temukan beberapa siswa yang sungguh-sungguh menuntut ilmu. Namun, mereka tidak mendapatkan kemanfaatan dari ilmu yang mereka pelajari. Hal itu terjadi karena mereka telah menyimpang jauh dari jalur-jalur menuntut ilmu. Bisa dipastikan, jika salah dalam melangkah, maka mereka akan tersesat selamanya, Kira-kira begitu Kiai," timpalnya.
Ingatan Nasrudin benar-benar tajam. Ia mampu menyebutkan secara lancar apa yang tertulis dalam mukadimah Ta'lim al Muta'alim di hadapan Kiai Makmun.
"Tepat, Din. Berawal dari kegelisahan itu akhirnya az-Zarnuji menulis kitab Ta'lim al Muta'alim. Kamu tahu jalur-jalur yang dimaksud az-Zarnuji itu Din?" Tanya Kiai makmun, berusaha menguji kembali ingatan Nasrudin.
"Wah... untuk yang ini, saya belum muthala'ah Kiyai" Nasrudin cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak apa-apa Din. Tapi besok kamu harus rajin muthala'ah, ya," kata Kiai Makmun.
"Iya.. Kiai," jawab Nasrudin.
"Penjelasannya begini, Din" lanjut Kiyai Makmun. "Kata Syekh az-Zarnuji, sebelum menuntut ilmu, seorang siswa harus memiliki niat. Niat mutlak diperlukan bagi siswa yang akan menuntut ilmu. Karena niat merupakan elemen dasar setiap pekerjaan. Niat itu, pertama, adalah mencari ridla Allah. Kedua menghilangkan kebodohan. Ketiga, menghidupkan agama Allah, karena kelangsungan Islam terletak pada kualitas intelektual pemeluknya. Keempat, niat mensyukuri nikmat diberikan akal dan kekuatan fisik. Inilah yang yang pertama kali harus dilakukan bagi penuntut ilmu," jelasnya.
Nasrudin mendengarkan seksama penjelasan Kiyai Makmun. Dalam hati ia memuji kesahajaan Kiai Makmun. Buktinya ia tidak sungkan bercengkrama dan berdiskusi dengan santrinya. Padahal dalam hati terselip rasa segan dan sungkan kepada Kiai Makmun. Maklum, ia adalah seorang santri yang harus harus selalu menjaga adab di hadapan gurunya. Tapi, tak apalah. Kalau tidak dengan cara begini komunikasiku dengan guru menjadi renggang, Otomatis aku tidak akan bisa mendengar petuah-petuah langsung dari beliau. Bisik hati Nasrudin.
"Dalam menuntut ilmu," lanjut Kiyai Makmun. "Jangan sekali-kali punya tujuan agar nanti dipuja orang. Juga jangan punya keinginan untuk mengumpulkan harta dunia. Apalagi mencari kedudukan di hadapan raja," ujar Kiai Makmun.
"Jadi kita tidak boleh menjadi pejabat, Kiyai?" Potong Nasrudin.
"Bukan begitu, Din. Syeikh az-Zarnuji memesankan, jabatan bukan suatu hal yang buruk bagi kita. Asal jabatan itu digunakan untuk amar ma'ruf nahi munkar. Bukan untuk kesenangan duniawi. Apalagi digunakan menumpuk harta kekayaan dengan jalan tidak sehat. Jadi tegasrnya, silakan kita jadi pejabat, asal jabatan itu kita gunakan sebaik-baiknya untuk membantu orang-orang susah, memberantas kemaksiatan, menanggulangi kebodohan, dan memajukan negara," terang Kiai Makmun.
"Ternyata, apa yang dikhawatirkan Syekh az-Zarnuji sekarang terbukti, Kiyai. Seperti tadi. Banyak orang yang menggunakan ilmu dan kepandaiannya untuk berbuat kejahatan. Semestinya dengan ilmunya ia membantu orang lain bersama-sama membangun bangsa dan negara ini," jelas Nasrudin.
"Wah... sekarang kamu makin cerdas, Din." puji Kiai Makmun.
"Ah, tidak Kiai. Itu hanya pikiran sekilas saja. Pikiran saya bisa sampai ke situ terinspirasi penjelasan Kiai yang panjang lebar tadi," elak Nasrudin tersipu.
Seulas senyum terukir di bibir Kiai Makmun. Kiyai Makmun menggumam, Nasrudin sebenarnya anak yang cerdas tapi anak ini terlalu polos. Keduanya sejenak bercengkrama dengan keheningan.
Sementara, kicau burung bersahut-sahutan dari dahan-dahan pohon sekitar surau. Desau angin tipis menerpa dedaunan hijau melukiskan kesejukan suasana siang. Warna kehijauan menutupi dinding surau yang hanya berupa plesteran berukuran 12 x 8 Meter persegi itu. Surau itulah yang menjadi pusat kegiatan pengajian Kiyai Makmun. Beberapa meter dari surau, sebuah rumah sederhana dikelilingi pohon kelapa berdiri tegak menyongsong arah matahari. Ya. Di sanalah Kiai Makmun tinggal bersama istri dan seorang putranya berusia 12 tahun. Berdempetan dengan surau, terdapat asrama yang dihuni 20 orang santri, termasuk diantara mereka adalah Nasrudin.
"Satu lagi, Din" Kiyai Makmun memecah keheningan. "Jangan pernah merendahkan diri kita dengan meminta kepada yang bukan tempatnya. Mintalah kepada tempat meminta, yakni Allah SWT. Kalau ini dilakukan, berarti engkau telah menurunkan derajat dirimu dan ilmumu kepada titik terendah. Itulah diantara pesan Syeikh az-Zarnuji kepada kita," ungkap Kiai Makmun.
Nasrudin hanyut dalam kata-kata Kiai Makmun. Sedikitpun ia tidak menggeser tempat duduknya. Pesan-pesan Syeikh az-Zarnuji yang mengalir dari bibir Kiai Makmun menyelimuti relung jiwa dan benaknya.
Ia teringat sabda Nabi saw. "al-ilmu nurun' ilmu adalah cahaya. Cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Cahaya ilmu tidak akan membekas kepada orang yang hatinya gelap. Cahaya itu akan redup dari pemiliknya bila ia tidak mengamalkannya. Begitulah kira-kira makna yang dapat ditangkap Nasrudin dari hadis nabi itu.
Sayup-sayup dari corong speaker masjid kampung terdengar lengkingan azan Dzhuhur.
"Din, sudah lohor. Mari kita salat jamaah dulu. Nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita," Nasrudin menurut ajakan Kiai Makmun.
Keduanya kemudian melangkah menuju sumur di sebelah surau. Berwudhu.
Ustadz Muhammad Imaduddin, Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Jakarta Utara.
Terpopuler
1
LFNU Jakarta: Hilal Dzulhijjah 1446 H Serupa Kondisi Ramadhan Lalu
2
LFNU Jakarta Ungkap Pandangan Al-Biruni dan Al-Fadani soal Istiwa Ka'bah
3
LFNU Jakarta Kalibrasi Kiblat Masjid Al-Ardh Nusantara Ciputat
4
Resmi Dilantik, 3.419 CPNS Jakarta Siap Mengabdi sebagai ASN
5
Kepala BGN Targetkan 7.000 SPPG Pesantren Beroperasi di Agustus 2025
6
LDNU Jakarta Dorong Pendakwah NU Jadi Penggerak Dakwah Wasathiyah di Masyarakat
Terkini
Lihat Semua