Syariah

Bolehkah Dokter Laki-laki Melakukan Perawatan terhadap Pasien Perempuan?

Ahad, 20 April 2025 | 12:00 WIB

Bolehkah Dokter Laki-laki Melakukan Perawatan terhadap Pasien Perempuan?

Ilustrasi dokter memeriksa pasien. (Foto: Pinterest)

Pada tahun 2022 Ipsos Global Trustworthiness mengeluarkan survei yang menempatkan posisi dokter berada di peringkat pertama sebagai institusi yang dipercaya oleh masyarakat. Dokter mendapatkan kepercayaan sebanyak 59%, disusul dengan ilmuan 57% dan guru 52%. Survei ini dilakukan pada 28 negara. 


‎Profesi dokter termasuk sesuatu yang terpandang di tengah masyarakat. Namun, Baru-baru ini dunia medis menjadi sorotan publik. kabarnya terdapat oknum dokter yang telah menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan pelecehan terhadap pasien perempuan. 

‎Peristiwa ini berdampak pada kekhawatiran masyarakat terhadap integritas institusi kedokteran. Tanpa bermaksud menggeneralisir, namun dengan adanya kasus tersebut maka kekhawatiran masyarakat terhadap integritas kedokteran menjadi sesuatu yang tak terelakkan. 


‎Kasus ini bermula oleh seorang Dokter Anestesi Undip yang melakukan pemerkosaan terhadap pasien perempuan. Kemudian disusul dengan tersebarnya vidio seorang dokter di Garut yang melakukan obgyn di luar ketentuan SOP dan mengarah pada pelecehan. Bahkan untuk kasus yang kedua ini pernah dilakukan oleh pelaku pada 2024, yang kemudian berakhir damai. 

‎Dengan fenomena di atas, bagaimana sebenarnya relasi dokter dan pasien lawan jenis menurut pandangan agama? 

‎Mayoritas ulama berpendapat bahwa laki-laki hanya boleh melihat wajah dan telapak tangan seorang perempuan. Imam Hanafi menambahkan boleh melihat kedua kakinya sepanjang tidak menimbulkan syahwat dan memunculkan fitnah. Meski demikian ada pula yang mengharamkan untuk melihat keduanya. Sebab perintah al-Qur'an ialah menundukkan pandangannya terhadap lawan jenis. 



‎Kebolehan melihat lawan jenis bukan berarti membolehkan seseorang menyentuh perempuan atau laki-laki yang bukan mahram. Menurut Imam Nawawi, semua yang boleh dilihat dari lawan jenis karena hajat tertentu, tidak lantas diperbolehkannya seseorang untuk menyentuhnya. 


‎كُلُّ مِنْ حُرِّمَ النَّظَرُ إلَيْهِ حُرِّمَ مَسُّهُ وَقَدْ يَحِلُّ النَّظَرُ مَعَ تَحْرِيمِ الْمَسِّ فَإِنَّهُ يَحِلُّ النَّظَرُ إلَى الْأَجْنَبِيَّةِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَالْأَخْذِ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك


‎Artinya: setiap bagian yang haram dilihat, maka haram disentuh. Ada pula bagian yang boleh dilihat tapi tidak boleh disentuh. Maka boleh melihat wanita yang bukan mahram ketika transaksi jual beli, menerima, memberi dan lainnya. Dan tidak boleh menyentuhnya tatkala hubungan sosial di atas terjadi. (Imam Nawawi, Syarh Muhadzhab, {Dar el-Fikr, Beirut: 1934-1937}, Juz IV, halaman 635). 
‎ 

‎Namun, terdapat kondisi di mana seseorang boleh melihat sekaligus menyentuh lawan jenis, yaitu dalam dunia kedokteran. Dokter termasuk dari salah satu yang diperbolehkan untuk melihat dan menyentuh pasien lawan jenis dengan alasan pengobatan. Ia diperbolehkan melihat kepada bagian tertentu yang memang menjadi kebutuhan pengobatan.

‎واعلم أن ما تقدم من حرمة النظر والمس، هو حيث لا حاجة إليهما، وأما عند الحاجة، فالنظر والمس مباحان لفصد، وحجامة، وعلاج، ولو في فرج للحاجة الملجئة إلى ذلك، لأن في التحريم حرجاً، فللرجل مداواة المرأة وعكسه، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَةِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ، وَهُوَ الرَّاجِحُ... ويشترط عدم امرأة يمكنها تعاطي ذلك من امرأة، وعكسه...

Artinya: ‎Ketahuilah, pembahasan tentang keharaman melihat dan menyentuh lawan jenis berlaku tatkala tidak ada keperluan untuk melakukan keduanya. Adapun jika terdapat kebutuhan, maka melihat dan menyentuh lawan jenis adalah hal yang diperbolehkan tatkala cedera, bekam, dan pengobatan, sekalipun di area kemaluan perempuan untuk menjaga kesehatannya. Sebab jika hal tersebut diharamkan, tentunya akan menyulitkan. 

‎Maka diperbolehkan dokter laki-laki mengobati pasien perempuan begitupun sebaliknya. Dengan catatan, didampingi suami, atau perempuan yang dipercaya, akan lebih baik jika seseorang dokter laki-laki ditemani oleh dua perawat perempuan, ini adalah pendapat paling benar. Ini berlaku jika memang tidak adanya dokter perempuan yang dapat melakukan pengobatan terhadap pasien perempuan atau sebaliknya. (Imam Khatib As-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, {Dar el-Kotob Ilmiyah: 1994 Juz IV, halaman 265).



‎Islam memberikan penjelasan yang ideal terkait relasi dokter dan pasien. Seandainya terpaksa melakukan pengobatan di titik sensitif perempuan, maka pasien perlu ditemani oleh suami atau orang terdekatnya. Jika SOP kedokteran tak membolehkan keluarga memasuki ruangan, maka sang dokter harus ditemani oleh perawat perempuan. Hal ini dilakukan demi menghindari perilaku negatif yang mungkin dapat terjadi. 


‎Bahkan Imam Azra'i menambahkan, seandainya hanya ada dokter perempuan non muslim dan dokter laki-laki muslim, maka dokter perempuan lebih diutamakan sekalipun non muslim. Sebab, dokter perempuan yang memeriksa pasien perempuan lebih dapat fokus dengan profesinya sebagai dokter, berbeda dengan laki-laki yang memungkinkan munculnya fitnah dan syahwat. Imam Nawawi juga menegaskan haramnya dokter melihat pasien perempuan dengan penglihatan syahwat. 


‎ فيجوز النظر كما فِي حَالَةِ.. التَّطَبُّب ... وَلَكِنْ يَحْرُمُ النَّظَرُ فِي هَذِهِ الْحَالِ بِشَهْوَةٍ فَإِنَ الْحَاجَةَ تُبِيحُ النَّظَرَ لِلْحَاجَةِ إِلَيْهِ وَأَمَّا الشَّهْوَةُ فَلَا حَاجَةَ إِلَيْهَا

Artinya: ‎Diperbolehkan melihat lawan jenis untuk keperluan pengobatan. Namun haram seorang dokter melihat pasien perempuannya dengan syahwat. Sebab kebolehan melihat lawan jenis itu dikarenakan adanya keperluan, bukan syahwat. {Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, {Dar Ihya At-Turast Al-Arabi, Beirut: 1392 H}, Juz IV, halaman 31). 

‎Kedua kasus yang menimpa dunia kedokteran tersebut, dilakukan di ruanganl kosong tanpa adanya suami dan perawat perempuan yang menemaninya. Berkumpulnya antara dokter laki-laki dan pasien perempuan dalam satu ruangan kosong, lebih banyak memunculkan fitnah dan syahwat. Menurut Imam Nawawi hukumnya haram. 


‎وَأَمَّا كَشْفُ الرَّجُلِ عَوْرَتَهُ فِي حَالِ الْخَلْوَةِ بِحَيْثُ لَا يَرَاهُ آدَمِيٌّ فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ جَازَ وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَفِيهِ خِلَافُ الْعُلَمَاءِ فِي كَرَاهَتِهِ وَتَحْرِيمِهِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَنَا أَنَّهُ حَرَامٌ


‎Artinya: "Adapun dokter laki-laki yang membuka aurat perempuan di ruangan kosong, tanpa adanya seseorang yang melihat, jika memang ada kebutuhan diperbolehkan, namun jika tidak ada kebutuhan maka ulama berbeda pendapat tentang kemakruhan dan keharamannya. Sementara pendapat yang Shahih menurut kami bahwa berkumpulnya dokter laki-laki dengan perempuan di ruangan sepi tanpa ada yang menemani adalah haram." (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, {Dar Ihya At-Turast Al-Arabi, Beirut: 1392 H}, Juz IV, halaman 32). 


‎Demikian penjelasan terkait relasi dokter dan pasien lawan jenis. Jika pasien perempuan yang membutuhkan pengobatan khusus, seperti diberikan opium atau cek obgyn, sebaiknya dikontrol oleh dokter perempuan, begitupun sebaliknya. Jika memang tidak adanya kehadiran dokter perempuan, maka diperbolehkan dilakukan oleh dokter laki-laki, dengan catatan didampingi oleh suami, teman atau perawat perempuan. 

Selain itu, penting kiranya memastikan rumah sakit Islam, yang dalam pelayanannya menggunakan nilai-nilai keislaman, untuk tetap menjalankan prosedurnya sesuai dengan koridor syar'i. Seperti penanganan pasien sesuai dengan jenis kelaminnya.


‎Semoga dunia kedokteran semakin profesional dalam menerapkan ilmunya demi kepentingan ummat. Serta memberikan kemaslahatan dan keamanan bagi para pasien.