Syariah

Bolehkah Mengqadha Shalat Ketika Dilanda Banjir? 

Selasa, 11 Maret 2025 | 12:00 WIB

Bolehkah Mengqadha Shalat Ketika Dilanda Banjir? 

Banjir menenggelamkan rumah di Kota Bekasi, Rabu (5/3/2025). (Foto: dok. istimewa/Jannah)

Meningkatnya curah hujan di awal bulan Maret menyebabkan banjir di beberapa kota, seperti Bekasi, Bogor termasuk Jakarta.

 

Penyebab terjadinya banjir di antaranya disebabkan meluapnya air di beberapa sungai atau kali, seperti Ciliwung, Kali Angke, dan Kali Pesanggrahan. Hal ini berdampak pada ratusan rumah warga terendam banjir. 


Masyarakat turut prihatin atas musibah banjir yang terjadi di beberapa daerah tersebut. Terlebih kejadian itu terjadi di bulan puasa Ramadhan. 


Tentunya warga-warga yang terdampak banjir tidak dapat memaksimalkan diri dalam melaksanakan ibadah. Seperti sulitnya melaksanakan ibadah shalat ketika banjir melanda rumahnya. 

 

Lalu bagaimana Fikih melihat fenomena tersebut. Apakah seseorang diperbolehkan melakukan qadha shalat disebabkan karena banjir?

 
Mendirikan shalat adalah sesuatu yang wajib bagi umat muslim. seseorang tidak diperkenankan meninggalkan ibadah shalat, sekalipun dalam keadaan sakit dan kondisi perang. 


Dalam Kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan bahwa tidak ada khilaf tentang kewajiban shalat. 

 

  وَالْأَصْل فِي وُجُوبهَا قَوْله تَعَالَى {وَأقِيمُوا الصَّلَاة} أَي حَافظُوا عَلَيْهَا وَالْأَحَادِيث فِي ذَلِك كَثِيرَة جدا وَالْإِجْمَاع مُنْعَقد على ذَلِك

 

Artinya: Dalil tentang wajibnya shalat adalah firman Allah 'Dirikanlah shalat' yakni menjaga shalat. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang kewajiban shalat, dan adanya ijmak tentang kewajiban tersebut. (Taqiyuddin As-Syafii, Kifayatul Ahkyar fi Haali Ghayat al-Ikhtishar, {Dar El Khair, Damaskus, 1994}, halaman 83).


Kewajiban shalat berdasar pada Al-Quran, Hadits dan Ijma’. Maka seseorang tidak boleh meninggalkan shalat, kecuali dengan mengqadhanya. Itu pun dalam kondisi tertentu, seperti musafir atau dalam hajat tertentu.  

 

Pada dasarnya, melakukan jamak shalat yang disebabkan oleh banjir tidaklah ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Alasan jamak dalam kitab klasik ialah hujan, ketakutan, jarak, salju, dan tidak disebutkan banjir secara spesifik. Para ulama pun berbeda pendapat tentang jamak dengan kriteria di atas. 

 

Ulama Syafi'iyah cenderung melarang seseorang melakukan jamak disebabkan angin kencang, sakit, takut ataupun lumpur. Namun Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian ulama Syafi'i membolehkan menjamak shalat dalam keadaan tersebut dan masyaqqah (keadaan sulit), dengan catatan tidak meringkas (qashar) shalat tersebut. 


Sebagian mazhab syafiiyah membolehkan melakukan jamak dalam keadaan darurat, seperti sakit atau adanya lumpur.


المعروف في المذهب أنه لا يجوز الجمع بالمرض ولا الخوف ولا الوحل. وقال جماعة من أصحابنا: يجوز بالمرض والوحل. ممن قاله من أصحابنا: أبو سليمان الخطابي والقاضي حسين، واستحسنه الروياني.


Pendapat yang masyhur di kalangan mazhab kita (mazhab Syafi'i) tidak diperbolehkan jamak shalat dengan alasan sakit, takut, dan adanya lumpur. Berpendapat sebagian dari ulama Syafi'i, boleh melakukan jamak shalat karena sakit atau adanya lumpur. Adapun ulama yang berpendapat demikian ialah Abu Sulaiman Al-Khattabi dan Al-Qadhi al-Husain, Imam Ar-Ruyaniy menyetujui. (Abu Zakariya Muhyiddin As-Syafii, Raudhatut Thalibin, {Maktabah Al-Islami, Beirut:1991}, Juz I, halaman 401). 


Selain itu Imam Rafi'i juga membolehkan seseorang melakukan jamak shalat dengan alasan serupa. 


وَقَالَ الرَّافِعِيُّ قال مالك واحمد يجوز الْجَمْعُ بِعُذْرِ الْمَرَضِ وَالْوَحَلِ ... قُلْتُ وَهَذَا الْوَجْهُ قَوِيٌّ جِدًّا وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ " جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ "


Artinya: Imam Rafi'i berkata, berkata Imam Malik dan Imam Ahmad boleh melakukan jamak shalat dengan udzur sakit dan adanya lumpur. Aku berpendapat, pendapat ini sangat kuat dan berdalil pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, berkata 'Rasullillah menjamak shalat di Madinah tidak dalam keadaan takut ataupun hujan'. (Abu Zakariya Muhyiddin As-Syafii, Majmu Syarh Muhadzhab, {Percetakan Al-Muniriya, Cairo: 1347}, juz IV, halaman 383).  

Pendapat di atas menjelaskan bahwa jamak boleh saja dilakukan karena kondisi tertentu. Adanya lumpur, ketakutan, sakit atau angin kencang merupakan kondisi darurat (masyaqqah). 

 

Selain itu, pendapat Imam Ibn Sirrin, Ibn Mundzir dan Al-Qaffal juga membolehkan melakukan jamak shalat meskipun tidak berpergian, karena ada kebutuhan tertentu, tanpa menjadikannya kebiasaan. Maka pendapat ini dapat dipertimbangkan untuk diambil bagi orang yang tertimpa bencana banjir. 

 

Jika mengikuti pendapat di atas, maka seseorang boleh melakukan jamak shalat karena keadaaan tertentu seperti banjir. Sebab banjir -pada tahap serius- merupakan kondisi darurat yang menyebabkan rumah atau tempat ibadah terendam air, bahkan menenggelamkannya, sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk melaksanakan shalat. Selain itu, hampir semua barang dan pakaiannya terkena dampak banjir. 

 

Hal ini juga dapat dimaknai sebagai evakuasi lumpur pasca banjir. Mengevakuasi barang-barang penting selepas banjir, diperbolehkan jamak sebab darurat. Adapun ketika menunggu air surut dan telah berada di tenda posko penampungan, serta tersedia tempat dan air bersih, Maka tidak lagi diperbolehkan jamak shalat. 

 

Menjamak shalat merupakan keringanan yang dicontohkan oleh Rasulullah agar umatnya tidak kesulitan. Sesungguhnya syariat agama dibangun di atas kemaslahatan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.