Jakarta Raya

PWNU Ungkap 4 Faktor Penyebab Jakarta Gagal Raih 10 Besar Kota Toleran

Sabtu, 31 Mei 2025 | 09:30 WIB

PWNU Ungkap 4 Faktor Penyebab Jakarta Gagal Raih 10 Besar Kota Toleran

Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta H Sulaiman. (Foto: dok. NU Online Jakarta)

Jakarta, NU Online Jakarta

Berdasarkan data Indeks Kota Toleran (IKT) yang dirilis oleh Setara Institute di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Selasa (27/5/2025) menunjukan bahwa DKI Jakarta gagal menempati daftar 10 besar sebagai kota paling toleran. 


Terkait hal itu, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta H Sulaiman menyoroti empat faktor penyebab kegagalan Jakarta meraih 10 basar menjadi kota paling toleran. 


Pertama, Regulasi pemerintah yang lambat dalam mengatasi permasalahan. Sulaiman melihat bahwa tindakan pemerintah terbilang lambat dalam mengatasi politik identitas yang terjadi pada pikada DKI Jakarta 2017 lalu.

 

Hingga saat ini, Ia menilai bahwa sebagian masyarakat masih terdapat luka yang belum sembuh akibat pilakada 2017 itu. Sehingga, hal itu menghambat perkembangan toleransi di DKI Jakarta. 
 

"Menurut saya, pertama, waktu itu pemilu antara pendukung Ahok dan Anies berlangsung cukup tegang, dan ternyata tindakan pemerintah lambat dalam mengentasi masalah tersebut," kata Sulaiman kepada NU Online Jakarta, pada Jumat (30/5/2025). 


Kedua, Pernyataan sikap para tokoh agama yang cenderung berpihak. Sulaiman menyampaikan bahwa keberpihakan para tokoh agama dalam memaparkan sesuatu seringkali memicu sekat antar agama, alih-alih menyampaikan toleransi, mereka para tokoh agama lebih suka menghujat kelompok lain. 


Ketiga, Kehidupan sosial dibangun tanpa prinsip keragaman. Gus Dur, kata Sulaiman, sebagai Bapak Puralisme mengajarkan kehidupan sosial dengan melibatkan tokoh lintas agama. 


"Ketika zaman saya ikut Gus Dur kan, sesungguhnya sering ada pertemuan antara tokoh agama begitu ya, karena memecahkan persoalan itu tentu harus melibatkan seluruh unsur," katanya. 


Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Pemda DKI harus berperan aktif mengajak seluruh tokoh agama untuk duduk berdiskusi terkait kegiatan-kegiatan yang bersifat membangun keakraban di antara tokoh agama maupun etnis. 


"Pada Akhirnya masyarakat di bawah bisa mengikuti jejak para tokoh agama dan bisa berdampingan bertoleransi, itu akan terjadi secara otomatis, " ujarnya. 

 

Keempat, Hilangnya sosok pengayom para tokoh agama. Sulaiman menilai bahwa akhir-akhir ini belum ada figur yang dapat menyatukan para tokoh lintas agama untuk membahas kerukunan di wilayah Jakarta. 

Menurutnya, untuk memperoleh peringkat 10 besar kota paling toleran, Jakarta membutuhkan sosok seperti Gus Dur. 

 

"Gus Dur itu kan sering mengadakan kegiatan bersama tokoh agama seperti doa bersama, terus diskusi, dialog, sehingga terbangun sikap toleransi terhadap sesama perbedaan," pungkasnya.

 

Diketahui, Kota Salatiga, Jawa Tengah, keluar sebagai posisi tertinggi dengan skor 6,544. Posisi kedua dan ketiga masing-masing ditempati oleh Singkawang dan Semarang.


1. Salatiga, Jawa Tengah (6,544)
2. Singkawang, Kalimantan Barat (6,420),
3. Semarang, Jawa Tengah 6,356), 
4. Magelang, Jawa Tengah (6,248), 
5. Pematang Siantar, Sumatera Utara (6,115), 
6. Sukabumi, Jawa Barat (5,968), 
7. Bekasi, Jabar (5,939), 
8. Kediri, Jawa Timur (5,925), 
9. Manado, Sulawesi Utara (5,912)
10. Kupang, NTT (5,853).


Adapun 10 Kota Paling Intoleran di Indonesia Menurut Setara Institute:


1. Pagar Alam, Lampung (4,381)
2. Sabang, NAD (4, 377)
3. Ternate, Maluku (4,370)
4. Makassar, Sulawesi Selatan (4,363)
5. Bandar Lampung (4,357)
6. Pekanbaru, Riau (4,320)
7. Banda Aceh, NAD (4,202)
8. Lhokseumawe, NAD (4,140)
9. Cilegon, Banten (3,994)
10. Parepare, Sulawesi Selatan (3,945)