Opini

Mengarusutamakan Paradigma Maqasid sebagai Basis Moderasi Beragama

Senin, 9 Desember 2024 | 11:00 WIB

Mengarusutamakan Paradigma Maqasid sebagai Basis Moderasi Beragama

Ilustrasi moderasi beragama di Indonesia. (Foto: NU Online)

Tahun ini merupakan kali ketiga diselenggarakannya International Conference on Religious Moderation (ICROM) oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Konferensi yang diadakan pada awal bulan ini (5-7 November 2024) mengambil tema Religious Moderation and Its Responses to Humanitarian Crisis. Sebuah tema yang amat relevan dengan satu fakta hari ini, yaitu terjadinya berbagai krisis kemanusiaan dalam berbagai bidang, mulai dari politik, agama, keamanan, pangan, hingga pendidikan.


Dalam bukunya The Crisis in the Muslim Mind, Abdul Hamid Abu Sulayman (1993), salah satu pendiri International Institute of Islamic Thought (IIIT) – sebuah lembaga think tank yang berbasis di Virginia, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa berbagai krisis kemanusiaan yang terjadi khususnya pada masyarakat Muslim dewasa ini sesungguhnya diakibatkan oleh kesalahan mereka sendiri dalam membangun cara berpikir. Karena itu, lanjutnya, berbagai usaha untuk mengurai benang kusut krisis tersebut harus juga dimulai dari mereformasi cara berpikir. 


Dalam konteks moderasi beragama yang telah menjadi politik kebijakan keagamaan Pemerintah Indonesia sejak 2019, perubahan cara berpikir tersebut dapat dilakukan dalam bentuk proliferasi diskursus maqasid untuk kemudian menginkorporasikannya dalam peta jalan moderasi beragama yang baru – yang sebelumnya sudah dirancang untuk periode 2020-2024.


Pengarusutamaan Maqasid demi Moderasi


Maqasid, yang bermakna tujuan (Al-Mu‘jam al-Wasit, 2004), adalah salah satu topik sentral dalam literatur studi keislaman. Dalam literatur tradisional, sentralitas tersebut dapat dirujuk pada setidaknya dua konsep yang menginkorporasikan nomenklatur maqasid, yaitu maqasid al-Qur’an (tujuan al-Qur’an) dan maqasid al-shariah (tujuan syariah). 

 

Tesis utama maqasid adalah bahwa setiap teks agama yang ada sesungguhnya mempunyai maksud tertentu. Maksud ini tidak akan dipahami dengan baik kecuali dengan menyeimbangkan antara pemahaman tekstual dan kontekstual. 


Dalam kaitannya dengan moderasi, sebuah pemahaman keagamaan dianggap moderat jika rancang bangun metodologinya (theoretical framework) mampu ditempatkan dalam bingkai maqasid. Bingkai ini lebih merupakan area yang dibatasi oleh dua batas, yaitu batas minimum dan batas maksimum. Adapun pemahaman yang berada di luar dua batas tersebut dapat dianggap sebagai ekstremisme, baik yang berupa pelalaian (tafrith) maupun melebih-lebihkan (ifrath). 


Pada titik ini, Muhammad Quraish Shihab, salah satu penafsir al-Quran terbesar Indonesia di era modern, dalam beberapa ceramahnya mengisyaratkan bahwa sebuah tafsir keagamaan sejak awal dimungkinkan untuk berbeda, baik antara satu orang dengan orang lain maupun antara satu masa ke masa yang lain. 


Namun, selama tidak melampai batas-batas yang dimaksud (hududullah) dan berhulu pada tujuan yang sama (2019; 2022), penafsiran tersebut kiranya masih dapat dianggap sebagai pemahaman yang moderat. Di sini, moderasi dapat dianggap sebagai konsekuensi logis dari diterapkannya paradigma maqasid.


Kebutuhan terhadap paradigma berbasis maqasid demi mencapai moderasi ini menjadi semakin urgen ketika Indonesia, terutama dalam posisi Islam sebagai salah satu sumber nilai yang menopang kebijakan negara, semakin memainkan posisi penting dalam percaturan politik global. Usulan Andar Nubowo – salah satu panelis dalam ICROM kali ini – untuk mengaplikasikan moderasi beragama dalam bentuk civil religion, dalam hal ini, patut untuk dipertimbangkan.


Civil Religion, Maqasid, dan Moderasi Beragama 


Civil religion (agama rakyat) di sini hendaknya tidak dimaknai sebagai pembentukan agama tradisional baru sebagaimana dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Ia lebih tepat untuk ditapis dan dirujuk sebagai satu gagasan yang berusaha menemukan nilai-nilai moral yang menjadi kesepakatan bersama (common values) di tengah masyarakat yang plural. Di antara penggagas utama gerakan civil religion ini adalah Robert N Bellah, seorang ahli antropologi agama asal Amerika. 


Dalam konteks Indonesia, ketika globalisasi akhirnya meniscayakan setiap rakyat negeri ini untuk saling berinteraksi dengan masyarakat global, sementara perbedaan agama di antara mereka kerap memicu kerenggangan bahkan pertikaian, yang kemudian perlu diarusutamakan adalah persamaan di antara mereka. 

 

Di sini diharapkan terjadi multikulturalisme, di mana sekian komunitas yang berbeda, terutama dalam hal agama, bersatu dan menyepakati serangkaian nilai moral sebagai titik tolak bermasyarakat tanpa harus menanggalkan identitas keagamaan masing-masing.


Nilai moral inilah, dalam perspektif Islam, yang menjadi tugas maqasid untuk mendefinisikan, mengklasifikasikan, dan mengarusutamakannya dalam masyarakat Indonesia yang plural. Sejauh ini, komponen maqasid yang kebenarannya bersifat universal (maqasid ‘ammah) oleh para kalangan dipandang cukup berhasil untuk menunaikan tugas tersebut. 


Buktinya adalah sekian nilai universal yang tersemat dalam batang tubuh Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, peradaban, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Menjadi tugas para cendekiawan Muslim untuk selanjutnya mengembangkan secara lebih spesifik bagaimana nilai-nilai tersebut mampu diterjemahkan dan dikawal dalam kebijakan praktis.


Apa yang juga ingin disampaikan Penulis adalah bahwa moderasi beragama tidak selamanya harus dimaknai dalam aspek teologis. Justru, dengan argumen pertalian antara civil religion dan maqasid di atas, moderasi beragama lebih menemukan relevansinya dalam isu-isu sosial kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan begitu, dalam perspektif Islam, keberagamaan seorang Muslim akan menancap secara elastis, yaitu di kaki teologis dan pada saat yang sama juga di kaki relasi sosial. 

 

Elastisitas paradigma seperti ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab, dalam Alquran sendiri pun sudah dikenal perspektif shajarah thayyibah (QS 14:24), yaitu seorang Muslim yang akar teologisnya kokoh menghujam dan pada saat yang sama batang, dahan, dan ranting pergaulan sosialnya melintas batas, tidak hanya kepada sesama umat Islam, namun juga umat lain agama, keyakinan, dan kebudayaan, bahkan kepada orang yang tidak beragama sekali pun.


Dengan proliferasi pola berpikir semacam ini, proyek moderasi beragama diharapkan mampu menjawab tantangan krisis kemanusiaan yang semakin merajalela. Semoga!


Muhammad Abdul Aziz, Peneliti Moderasi Beragama pada Program Doktoral Universitas PTIQ-PKUMI Jakarta
Â