Pandangan Agama terhadap Kontroversi Nikah Batin dalam Serial ‘Bidaah’
Jumat, 18 April 2025 | 10:00 WIB
Agus Zehid
Penulis
Dalam serial film 'Bidaah' Malaysia, tokoh Sang Walid digambarkan sebagai tokoh agama yang mendayagunakan agama untuk kepentingan pribadi.
Kenyataan itu dapat dilihat dari keinginan Walid untuk menikahi perempuan setelah memiliki 4 istri. Sementara dalam Islam, tatkala sudah mencapai jumlah maksimal memiliki istri, maka seseorang harus menceraikan salah satu istrinya jika ingin menikahi perempuan lain.
Sebelum lebih jauh, Artikel ini tidak membahas konteks poligami, baik larangan ataupun kebolehannya. Tulisan ini akan fokus pada siasat sang Walid untuk menikahi perempuan lain dengan alibi Nikah Batin.
Fenomena nikah batin dalam serial 'Bidaah'
Sejauh ini, nikah batin tidak tercatat dalam literatur klasik baik penjelasannya maupun hukum pelaksanaannya. Ini merupakan istilah baru yang muncul dan populer tatkala film Bidaah ditayangkan.
Pelaksanaan nikah batin dalam serial film Bidaah digambarkan sebagai ritual pernikahan yang tidak menghadirkan wali dan saksi. Dengan alasan bahwa Rasulullah Saw yang menjadi wali dan malaikat adalah saksinya.
Pernikahan tersebut dilakukan secara rahasia, di belakang pondok tanpa disaksikan oleh siapapun. Pernikahan tersebut hanya boleh diketahui oleh sang Walid dan istri batinnya. Sehingga terdapat larangan untuk menyebarkan informasi terkait pelaksanaan pernikahan tersebut.
Selain itu, terdapat scene di mana salah satu murid Walid hamil akibat dari pernikahan batin tersebut, yaitu Mia. Alih-alih bertanggung jawab, Walid malah memerintahkan Mia untuk menggugurkan anak dalam kandungannya. Alasannya bahwa ikatan batin tetaplah batin dan tak boleh merubahnya menjadi ikatan fisik, berupa anak.
Baca Juga
Hukum Mempergunakan Uang Deposito
Pernikahan yang dikatakan "batin" namun dijalankan secara "fisik" hingga berdampak pada kehamilan, adalah bentuk penyimpangan yang nyata.
Walid sebagai pemimpin sekte ini melakukan modifikasi dan anomali terhadap ketentuan agama. Alih-alih menjalankan perintah agama, sang Walid malah berupaya menunggangi agama demi memuluskan nafsu syahwatnya.
Pandangan agama dalam fenomena Nikah Batin
Dalam Islam, pernikahan yang sah ialah yang sesuai rukun pernikahan. Tidak sah sebuah pernikahan jika salah satu dari rukun tersebut tak terpenuhi.
أَرْكَانُهُ " خَمْسَةٌ " زَوْجٌ وَزَوْجَةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ
"Rukun nikah ada lima, mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi dan shighat (ijab qobul). (Zakaria Al-Anshory, Fathul Wahab BI Syarh Minhajut At-thalab, {Dar el-Fikr, 1994 M}, Juz II, halaman 41.
Rukun di atas harus terpenuhi untuk menjamin sahnya pernikahan. Sementara nikah batin yang dilakukan oleh Walid tidak menghadirkan wali ataupun saksi.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan yang tidak dihadiri oleh wali atau saksi maka tidak sah. Sebagaimana yang disampaikan oleh nabi.
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عدلٍ
"Nikah harus menghadirkan wali dan saksi yang adil". (H.R. Daaruquthni no 3534 dan Baihaqi, no 13719).
Al-Mawardi menjelaskan bahwa hadis tersebut Shahih, maka pernikahan harus menghadirkan persaksian dalam pernikahan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الشَّهَادَةُ فِي النِّكَاحِ واجبة ... ومن الفقهاء: أبو حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل ومالك وَأَبُو ثَوْرٍ غَيْرَ أَنَّ مَالِكًا جَعَلَ الْإِشْهَادَ به وترك التراخي بِكَتْمِهِ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ
Artinya: Berpendapat Al-Mawardi hadis ini Shahih, adapun saksi hukumnya wajib dalam pernikahan. Para Fuqaha (ulama fiqih) yang berpendapat demikian seperti Abu Hanifah, Imam At-Sauri, Ahmad bin Hambal, kecuali Imam Malik tidak menjadikan saksi sebagai sahnya nikah, dengan catatan, cukup memberitahukan kepada orang-orang. (Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad al Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, {Dar El Kotob Ilmiah, Beirut: 1999 M}, Juz IX, halaman 58.
Memang terdapat perbedaan pendapat tentang kehadiran saksi dalam pernikahan. Beberapa sahabat, tabiin, termasuk Imam Malik, Imam Zuhri dan Ahlu Madinah tidak menjadikan saksi sebagai ketentuan untuk sahnya pernikahan.
Namun pendapat ini tetap memerintahkan untuk mengumumkan pernikahan tersebut kepada orang-orang. Bahkan Imam Malik sendiri melarang seseorang untuk melakukan nikah Siri.
واستدل مالكٌ خُصُوصًا فِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ - قَالَ: " أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ "، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ - أَنَّهُ نَهَى عَنْ نِكَاحِ السِّرِّ
Artinya: Imam Malik berdalil dalam perkara wajibnya saksi dengan hadis bahwa nabi Saw berkata: "umumkan pernikahan ini, dan pukul lah rebana" sebagaimana yang diriwayatkan dari nabi Saw, dan melarang orang melakukan nikah sirih. {Dar El Kotob Ilmiah, Beirut: 1999 M}, Juz IX, halaman 58.
Adapun pendapat yang berlaku di Indonesia ialah sesuia dengan madzhab Syafi'i. Bahwa saksi merupakan rukun untuk menjamin sahnya suatu pernikahan.
Sementara pernikahan batin yang digambarkan dalam film Walid telah menyalahi ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama. Bahwa ketidakhadiran wali dan saksi dalam pernikahan berdampak pada pernikahan yang tidak sah. sekalipun Imam Malik berbeda pendapat, tapi ia tetap mengharuskan untuk mengumumkan pernikahan tersebut ke orang lain.
Sementara kasus sang Walid ialah melakukan nikah batin tanpa kehadiran wali, saksi dan merahasiakannya dari orang lain. Sehingga pernikahan tersebut tidak sah. Maka implikasi nikah batin yang ada dalam serial film Bidaah melahirkan perilaku perzinahan. Selain tidak ada landasan hukum yang menjelaskannya, ritual tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan pernikahan yang diajarkan oleh agama.
Kekhususan Nabi dalam pernikahan
Jika seseorang melakukan pernikahan tanpa wali dan saksi seraya menyandarkan perilaku tersebut kepada nabi, dengan berdalih bahwa Allah lah yang menjadi saksinya, maka hal tersebut merupakan penyimpangan atas ajaran agama.
Sejarah mencatat bahwa Rasulullah pernah menikahi Zainab Binti Jahsy tanpa saksi dan wali. Bahwa pernikahan tersebut merupakan perintah dari Allah SWT. Kisah ini terekam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِزَيْدٍ فَاذْكُرْهَا عَلَيَّ قَالَ فَانْطَلَقَ زَيْدٌ حَتَّى أَتَاهَا وَهِيَ تُخَمِّرُ عَجِينَهَا قَالَ فَلَمَّا رَأَيْتُهَا عَظُمَتْ فِي صَدْرِي حَتَّى مَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَنْظُرَ إِلَيْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَهَا فَوَلَّيْتُهَا ظَهْرِي وَنَكَصْتُ عَلَى عَقِبِي فَقُلْتُ يَا زَيْنَبُ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُكِ قَالَتْ مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا وَنَزَلَ الْقُرْآنُ وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِذْن.
Artinya: ketika iddah Zainab telah habis, Rasulullah Saw bersabda kepada Zaid, "Pergilah melamar Zainab untukku." Anas berkata, Lantas Zaid pergi menemuinya, didapatinya Zaenab sedang membuat adonan. Zaid berkata, "Ketika saya melihatnya, hatiku berdebar-debar, sehingga saya tak kuasa untuk melihatnya untuk menyampaikan pesan Rasulullah Saw kepadanya. Oleh karena itu, saya membelakanginya sambil mundur dan berkata kepadanya, "Wahai Zaenab, saya diutus Rasulullah Saw melamarmu untuk beliau, bagaimana tanggapanmu?" Dia menjawab, "Saya belum dapat membuat keputusan sebelum mendapat petunjuk dari Rabb-ku." Lalu dia pergi ke tempat salatnya. Sementara itu, Al-Qur'an (wahyu) turun kepada beliau, lalu Rasulullah Saw langsung masuk ke rumah Zainab tanpa meminta izin terlebih dahulu. (H.R. Muslim no 1437).
imam Nawawi menjelaskan bahwa peristiwa tersebut berangkat dari Wahyu firman Allah Ta'ala
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Artinya: Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), kami nikahkan engkau (Muhammad) dengan mantan istri Zaid tersebut (Zainab).” [al-Ahzab ayat 37].
Imam Nawawi menambahkan bahwa Allah Swt yang menikahkan Rasulullah dan Zainab tanpa adanya wali dan saksi.
أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى زَوَّجَهُ إِيَّاهَا بِالْوَحْيِ لَا بِوَلِيٍّ وَشُهُودٍ بِخِلَافِ غَيْرِهَا وَمَذْهَبُنَا الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ عِنْدَ أصحابنا صحة نِكَاحِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَا وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ لِعَدَمِ الْحَاجَةِ إِلَى ذَلِكَ فِي حقه صلى الله عليه وسلم وهذا لخلاف فِي غَيْرِ زَيْنَبَ وَأَمَّا زَيْنَبُ فَمَنْصُوصٌ عَلَيْهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta'ala menikahkan Rasulullah dan Zainab melalui Wahyu tanpa adanya wali dan saksi berbeda dengan yang lainnya. Menurut Imam Nawawi pendapat yang Shahih dan Mashur di kalangan madzhab kami (Syafi'i) sah pernikahan Rasulullah Saw sekalipun dilakukan tanpa adanya wali dan saksi tanpa ada hajat untuk melakukan itu dari diri Rasulullah Saw, dan peristiwa ini hanya terjadi khusus pada Zainab, Wallahu A'lam.
Para ulama menjelaskan bahwa fenomena di atas merupakan Khusiyatunnabi (previlege Nabi). Bahwa pernikahan tersebut tidak boleh dilakukan oleh umatnya. Selain itu, pernikahan tersebut tidak disebut sebagai pernikahan batin.
والزواج بلفظ الهبة من خصوصيات النبي صلّى الله عليه وسلّم دون سائر المؤمنين، فله الزواج بها من غير مهر ولا ولي ولا شهود
Artinya: Pernikahan dengan Lafaz hibbah merupakan kekhususan bagi Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam dan tidak berlaku bagi umat mu'minin lainnya. Dan pernikahan tersebut dilakukan tanpa mahar, tanpa wali dan saksi. (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Juz XXII, halaman 22).
Pemahaman terkait khususiyat Nabi, bahwa tidak semua yang dilakukan oleh nabi juga boleh dilakukan oleh umatnya. Dalam beberapa kasus nabi memiliki keistimewaan dan kekhususannya sebagai seorang Nabi.
Logika di balik kebijaksanaan ini tidak hanya menyoroti keunikan dari sosok kenabian, tapi juga menjelaskan bahwa pernikahan bukanlah sekedar akad formal tapi juga bentuk dari misi Ilahi.
Pernikahan Rasulullah dan Zainab memberi ibroh kepada umat muslim akan kebenaran Wahyu dan mendidik umat tentang kelebihan dari seorang nabi. Agar manusia tak lupa, sekalipun nabi adalah manusia yang lahir di tengah masyarakat pada umumnya, tapi Ia juga seorang nabi dan rasul yang diberikan Wahyu untuk menuntun manusia kepada kebenaran.
Kiranya telah tuntas penjelasan terkait nikah batin. Bahwa nikah tersebut tidak memiliki payung hukum dalam pelaksanaannya. Adapun praktek yang dilakukan Walid dalam film Bidaah merupakan bentuk penyimpangan terhadap ajaran Agama.
Sebagai penutup, seseorang tidak boleh menikah dengan istilah apapun yang mengatasnamakan Allah dan Rasul sebagai wali pernikahannya, dan malaikat sebagai saksinya. Sebab dalam agama telah diatur siapa yang berhak menjadi wali dalam pernikahan.
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه ... الحاكم
Artinya: Adapun wali yang utama adalah: Ayah, Kakek (Bapaknya ayah), Saudara laki-laki seayah seibu, Saudara laki-laki seibu saja, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah saja;, Paman ( saudara ayah), Anak paman (saudara ayah), jika urutan di atas tidak ada semua, maka boleh seorang Hakim. (Abu Syuja, Al-Ghayah wa At-Taqrib, {A'lam Al-kutub}, halaman 31).
Wallahu A'lam.
Terpopuler
1
Sengkarut Haji 2025, Bukan Kesalahan Kerajaan Arab Saudi
2
Kata Pengamat soal TNI Jaga Kejaksaan: Jika Tak Ada Ancaman Militer, Kapasitasnya Polisi
3
Dampak Inses dan Bahaya yang Mengintai
4
5 Taman di Jakarta Resmi Buka 24 Jam, Salah Satunya Lapangan Banteng
5
Sambangi Pelindo, Pramono Minta Kemacetan Parah di Tanjung Priok Tidak Terulang
6
Jelang Dzulhijjah 1446 H, LFNU Jakarta akan Gelar Rukyatul Hilal dan Pengamatan Arah Kiblat
Terkini
Lihat Semua