• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Senin, 29 April 2024

Fiqih

Putusan LBM NU DKI Ucapan Shalom Aleichem

Putusan LBM NU DKI Ucapan Shalom Aleichem
Ilustrasi berjabat tangan. (Foto: NU Online).
Ilustrasi berjabat tangan. (Foto: NU Online).

Hukum bagi orang Islam yang mengucapkan shalom aleichem dan sejenisnya adalah halal, sah, dengan tiga pertimbangan. Sebagai berikut;


Pertama, Islam tidak mengenal bahasa khusus sebagai bentuk ucapan salam dari seseorang kepada orang lain. Menggunakan bahasa apapun, asalkan ada unsur sapaan dan doa kebaikan dan damai maka sudah termasuk dalam bentuk salam yang harus dijawab. Shalom aleichem merupakan bahasa Ibrani yang biasa digunakan untuk menyapa dan mempunyai makna doa keselamatan oleh seseorang kepada orang lain yang disapanya. 


Bahasa Ibrani adalah bahasa semitik yang serumpun dengan bahasa Arab sehingga mempunyai kesamaan dalam kosa kata, makna kata dan tata bahasa serta penulisan dan dibacanya sama-sama dari kanan ke kiri. Dan bahasa ini juga menjadi bahasa kitab suci Taurat. Perbandingan huruf pada Shalom Aleikhem atau dalam tulisan bahasa Ibraninya sebagai berikut;
שלום עליכם
Padanannya dalam bahasa Arab sesuai alfabetikal sebagai berikut;
السلام عليكم
س ل ا م - ع ل ي ك م
ש  ל  ו ם - ע ל  י  כ ם


Meski Ibrani adalah bahasa serumpun dengan Arab tapi tetapi disebut sebagai a’jamîy (bahasa non-Arab). Hukum mengucapkan “Shalom Aleichem” diperbolehkan. Sebab salam, bahkan menggunakan bahasa a’jamîy sekalipun, adalah sah, sunnah, dan menjawabnya adalah wajib. Shalom aleichem ini sama seperti ungkapan salam yang lain yang biasa kita dengarkan bersama yaitu Shalom, om swastiastu, namo buddhaya, salam kebajikan, ralam rahayu rahayu rahayu (salam orang Jawa), sampurasun (salam orang Sunda), dan sejenisnya.


Kedua, “Shalom Aleichem” bukanlah salam khas agama tertentu, karena di dalam ajaran agama Yahudi tidak pernah diajarkan untuk mengucapkan salam khusus yakni “Shalom Aleichem” sebagai bentuk ritual ibadah agama Yahudi. “Shalom Aleichem” bukan termasuk ritual ibadah. Penganut agama-agama lain, seperti Muslim dan Kristiani, yang hidup di negara yang menggunakan bahasa Ibrani pun biasa menggunakan “Shalom Aleichem”, karena itu merupakan bahasa mereka sendiri. 


Ketiga, meniru gaya yang biasa ditunjukan oleh masyarakat non-Muslim dalam mengekspresikan kebaikan, hukumnya diperbolehkan. Oleh karena itu meskipun “Shalom Aleichem” banyak digunakan orang-orang Yahudi-Israel, bagi umat Muslim tetap diperbolehkan. Salam yang diucapkan oleh non-muslim adalah boleh dan bahkan wajib dijawab jika memahaminya. Jika “Shalom Aleichem” dan sejenisnya itu diucapkan oleh non-Muslim, maka orang Muslim boleh dan bahkan wajib menjawabnya.


Penjelasan Para Ulama


الأنصاري، زكريا، أسنى المطالب في شرح روض الطالب، ٤/١٨٤
(وَلَوْ سَلَّمَ بِالْعَجَمِيَّةِ جَازَ إذَا فَهِمَ) الْمُخَاطَبُ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ (وَوَجَبَ الرَّدُّ) ؛ لِأَنَّهُ يُسَمَّى سَلَامًا.


“Dan jika mengucapkan salam menggunakan bahasa non-Arab maka diperbolehkan selama dapat dipahami oleh audiens/lawan bicara meski [sebenarnya] mampu mengucapkan salam menggunakan bahasa Arab. Dan menjawabnya adalah wajib; karena itu dinamakan ‘salam’.”


الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ١٧/٦
وَلَوْ سَلَّمَ بِالْعَجَمِيَّةِ جَازَ إنْ أَفْهَمَ الْمُخَاطَبُ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ، وَيَجِبُ الرَّدُّ؛ لِأَنَّهُ يُسَمَّى سَلَامًا.


“Dan jika mengucapkan salam menggunakan bahasa non-Arab maka diperbolehkan selama dapat dipahami oleh audiens/lawan bicara meski [sebenarnya] mampu mengucapkan salam menggunakan bahasa Arab. Dan menjawabnya adalah wajib; karena itu dinamakan ‘salam’.”


بغية المسترشدين ٢٥٣
ويصح السلام بالأعجمية إن فهمها المخاطب وإن قدر على العربية ويجب الجواب.


“Dan jika mengucapkan salam menggunakan bahasa non-Arab maka diperbolehkan selama dapat dipahami oleh audiens/lawan bicara meski [sebenarnya] mampu mengucapkan salam menggunakan bahasa Arab dan wajib menjawabnya.” 


Pada tahun 2019 Darul Ifta` al-Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir) mengeluarkan fatwa No. 3467 mengenai bolehnya menjawab salam dari para pemeluk agama lain, termasuk Yahudi dan Nasrani. Fatwa lengkapnya sebagai berikut:


وروى الإمام ابن أبي شيبة في [مصنفه] عنِ ابنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه، قالَ: "مَنْ سَلَّمَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ فَرُدُّوا عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا أَوْ مَجُوسِيًّا".
وروى أيضا عَنْ علقَمةَ، قالَ: "أَقْبَلْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ مِنَ السَّيْلَحِينِ فَصَحِبَهُ دَهَّاقِينُ مِنْ أَهْلِ الحِيرَةِ، فَلَمَّا دَخَلُوا الكُوفَةَ أَخَذُوا فِي طَرِيقٍ غَيرِ طَرِيقِهِم، فَالتَفَتَ إِلَيهِم فَرَآهُم قَد عَدَلُوا، فَأَتبَعَهُمُ السَّلامَ، فَقُلتُ: أَتُسَلِّمُ عَلَى هَؤُلاءِ الكُفَّارِ؟ فَقَالَ: نَعَم صَحِبُونِي، وَلِلصُّحبَةِ حَقٌّ".
أما حديث النهي عن السلام، فيحمل على حادثة خاصة، وذلك عندما سار المسلمون بقيادة النبي صلى الله عليه وسلم إلى بني قريظة لمعاقبتهم على غدرهم ونقضهم لعهدهم مع المسلمين، فعن أبي الخير قال: سمعت أبا بصرة رضي الله عنه يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إِنَّا غَادُونَ عَلَى يَهُودَ فَلا تَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلامِ، فَإِذَا سَلَّمُوا عَلَيْكُمْ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ) رواه الإمام أحمد في [مسنده].
وعليه؛ فلا مانع شرعاً من ابتداء غير المسلم بالسلام؛ لأنّ المسألة هذه من المسائل الخلافية، والذين حرموا ذلك أدلتهم في المسألة موضع اجتهاد. والله تعالى أعلم.
دار الافتاء، رقم الفتوى ۳٤٦٧
التاريخ : 20-02-2019


“Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab karyanya, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, ‘Barangsiapa dari makhluk Allah (umat manusia) mengucapkan salam kepadamu, maka wajib bagimu menjawabnya, meskipun beragama Yahudi atau Nasrani atau Majusi.’


Diriwayatkan juga dari Alqamah, ia berkata, ‘Aku datang bersama Abdullah dari Sailahin,’ dan ia ditemani beberapa Dahhaq dari penduduk Hirat. Ketika mereka memasuki Kufah, mereka mengambil jalan yang berbeda dari mereka, maka ia menoleh kepada mereka dan melihat bahwa mereka telah berbalik, lalu ia memberi salam kepada mereka, lalu aku berkata: ‘Bolehkah memberi salam kepada orang-orang kafir ini?’ Ia berkata, ‘Ya, mereka menemaniku, dan persahabatan itu ada haknya.’


Adapun hadits yang melarang menucapkan salam mengacu pada peristiwa khusus, yaitu ketika umat Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. berbaris menuju Bani Quraizhah untuk menghukum mereka karena mereka berkhianat dan melanggar janji mereka dengan umat Muslim. Dan dari Abu al-Khair, ia berkata, “Aku mendengar Abu Basra ra. berkata, ‘Rasulullah Saw. berakata, ‘Sesungguhnya kami akan mendatangi orang-orang Yahudi, maka janganlah kamu memberi salam kepada mereka. Ketika mereka memberi salam kepadamu, katakanlah, ‘Dan atasmu.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya.


Dengan demikian, tidak ada larangan menurut syariat bagi non-Muslim yang memulai dengan salam. Sebab persoalan ini merupakan persoalan khilâfîyyah (perbedaan pendapat antar ulama). Dan mereka yang melarangnya mempunyai dalil mengenai persoalan tersebut berdasarkan ijtihadnya. Wallahu a’lam.”
(Dar al-Ifta al-Mashriyah, No. 3467, Tanggal: 20-02-2019)


حسن السير في بيان أحكام أنواع التشبة بالغير للسيد محمد عوض الشريف الدمياطى، ١١-١٢
ما نصه: فإن قلت فقد صرح هذا الخضاب شعار الأعجم وقد نهينا عن التشبة بهم لأن من تشبه بقوم فهو منهم فما تصنع فى هذا التعارض قلت أما حجة الإسلام الغزالى رضى الله تعالى عنه فإنه قال فى كتاب السماع من إحيائه مهما صارت السنة شعارا لأهل البدعة قلنا لتركها خوفا من التشبة بهم. وأما سلطان العلماء العز الدين عبد السلام فإنه أشار إلى رده فى فتاويه إذا قال المراد بالأعجم الذين نهينا عن التشبة بهم أتباع الأكاثرة فى ذلك الزمان ويختص النهي بما يفعلونه على خلاف مقتضى شرعنا فأما ما فعلوه على وفق الإيجاب أو الندب أو الإباحة فى شرعنا فلا يترك لأجل تعاطيهم إياه فإن الشرع لا ينهى عن التشبة بما أذن الله فيه.


“Jika kamu mengatakan bahwa pigmen ini dinyatakan sebagai simbol orang-orang non-Arab, dan kami dilarang meniru mereka karena barangsiapa yang meniru suatu kaum maka ia menjadi bagian dari kaum itu. Lalu apa pendapatmu tentang kontradiksi ini? Aku katakan, Hujjatul Islam al-Ghazali ra. berkata di dalam bab al-Sama’ dari kitab Ihyâ ‘Ulum al-Din, bahwa meskipun yang menjadi semboyan ahlul bid’ah adalah perkara sunnah, kami katakan untuk meninggalkannya karena takut meniru mereka. Sedangkan Sulthanul Ulama Izzuddin bin Abdissalam dalam fatwanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan non-Arab, yang mana kita dilarang untuk meniru mereka, adalah para pengikut golongan al-Akatsirah pada zaman itu. Dan larangan itu khusus untuk sesuatu yang mereka lakukan yang bertentangan dengan syariat kami. Adapun bila sesuatu yang mereka lakukan itu sesuai dengan kewajiban atau sunnah atau diperbolehkan dalam syariat kami, maka hal itu tidak boleh ditinggalkan hanya karena mereka menyalahgunakannya. Karena syariat tidak melarang peniruan/penyerupaan terhadap sesuatu yang diizinkan oleh Allah.”


Imam Fakhruddin al-Razi di dalam kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb, vol. 10, hal. 217-218 memberikan penjelasan,


من سرادقات الجلال: السلام عليك، وأنزل قوله (إن الله وملائكته يصلون على النبي) إلى قوله (وسلموا تسلياً) .وأما ما يدل من الأخبار على فضيلة السلام فما روى أن عبد الله بن سلام قال : لما سمعت بقدوم الرسول عليه الصلاة والسلام دخلت في غمار الناس، فأول ما سمعت منه، يا أيها الناس أفشوا السلام وأطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام.
وأما ما يدل على فضل السلام من جهة المعقول فوجوه: الأول: قالوا: تحية النصارى وضع اليد على القسم، ولحية اليهود بعضهم لبعض الاشارة بالأصابع، وتحية المجوس الانحناء، وتحية العرب بعضعم لبعض أن يقولوا: حياك الله، وللملوك أن يقولوا: أنعم صباحاً، وتحية المسلمين بعضهم لبعض أن يقولوا: السلام عليك ورحمة الله وبركاته، ولا شك أن هذه التحية أشرف التحيات وأكرمها: الثاني: أن السلام مشعر بالسلامة من الآفات: والبليات. ولا شك أن السعي في التحصيل الصون عن الضرر أولى من السعي في تحصيل النفع. الثالث: أن الوعد بالنفع يقدر الانسان على الوفاء به وقد لا يقدر، أما الوعد بترك الضرر فإنه يكون قادراً عليه لا محالة، والسلام يدل عليه . فثبت أن السلام أفضل أنواع: التحية.
(المسألة الثالثة) من الناس من قال: من دخل داراً وجب عليه أن يسلم على الحاضرين، واحتج عليه بوجوه: الأول: قوله تعالى (يا أيها الذين أمنوا لا تدخلوا بيوتاً غير بيوتكم حتى تستأنسوا وتسلموا على أهلها) وقال عليه الصلاة والسلام: أفشوا السلام، والأمر للوجوب. الثاني: أن من دخل على إنسان كان كالطالب له، ثم المدخول عليه لا يعلم أنه يطلبه الخير أو لشر، فإذا قال: السلام عليك فقد بشره بالسلامة وأمنه من الخوف، وإزالة الضرر عن المسلم واجبة قال عليه الصلاة والسلام المسلم من سلم المسلمون من يده ولسانه، فوجب أن يكون السلام واجباً. الثالث: أن السلام من شعائر أهل الإسلام، وإظهار شعائر الإسلام واجب، وأما المشهور فهو أن السلام سنة، وهو قول ابن عباس والنخعي. وأما الجواب على السلام فقد أجمعوا على وجوبه، ويدل عليه وجوه: الأول: قوله تعالى دواذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منهاء الآية. (وإذا حبيتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها (الثاني: أن ترك الجواب إهانة، والاهانة ضرر والضرر حرام. المسألة الرابعة) منتهى الأمر في السلام أن يقال: السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، بدليل أن هذا القدر هو الوارد في التشهد .
واعلم أنه تعالى قال (فحيوا بأحسن منها أو ردوها) فقال العلماء: الأحسن هو أن المسلم إذا قال السلام عليك زيد في جوابه الرحمة، وإن ذكر السلام والرحمة في الابتداء زيد في جوابه البركة ، وإن ذكر الثلاثة في الابتداء أعادها في الجواب. روى أن رجلاً قال للرسول: السلام عليك يا رسول الله، فقال عليه الصلاة والسلام: وعليك السلام ورحمة الله وبركاته، وآخر قال: السلام عليك ورحمة الله، فقال: وعليك السلام ورحمة الله وبركاته ، وجاء ثالث فقال: السلام عليك ورحمة الله وبركاته، فقال عليه الصلاة والسلام: وعليك السلام ورحمة الله وبركاته، قال الرجل: نقصتني، فأين قول الله (فحيوا بأحسن منها) فقال: إنك ما تركت لي فضلاً فرددت عليك ما ذكرت .
(المسألة الخامسة) المبتدى يقول: السلام عليك والمجيب، يقول: وعليكم السلام، هذا هو الترتيب الحسن، والذي خطر ببالي فيه أنه إذا قال: السلام عليكم كان الابتداء واقعاً بذكر الله، فإذا قال المجيب: وعليكم السلام كان الاختتام واقعاً بذكر الله، وهذا يطابق قوله (هو الأول والآخر) وأيضاً لما وقع الابتداء والاختتام بذكر الله فإنه يرجى أن يكون ما وقع بينهما يصير مقبولاً ببركته كما في قوله (أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل إن الحسنات يذهبن السيئات) فلو خالف المبتدى، فقال: وعليكم السلام فقد خالف السنة ، فالأولى للمجيب أن يقول: وعليكم السلام، لأن الأول لما ترك الافتتاح بذكر الله، فهذا لا ينبغي أن يترك الاختتام بذكر الله.


“Di antara tanda-tanda keagungan: Assalamu’alaika (salam sejahtera untukmu), dan firman-Nya diturunkan (Allah dan para malaikat-Nya melimpahkan shalawat kepada Nabi) hingga firman-Nya (dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya). Adapun riwayat-riwayat yang menunjukkan keutamaan salam adalah apa yang diriwayatkan Abdullah bin Salam, ia berkata: ‘Ketika aku mendengar kedatangan Rasulullah Saw., aku masuk ke kerumunan manusia. Hal pertama yang kudengar dari beliau adalah: (Wahai manusia, sebarkan salam, berikanlah makanan, sambunglah tali silaturrahim, dan shalatlah di malam hari ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat). Adapun yang menunjukkan keutamaan memberi salam dari sudut pandang yang masuk akal, ada beberapa pendapat, yaitu: Pertama, mereka berkata: salam orang Kristiani adalah dengan mengangkat tangan pada sumpah, salam orang-orang Yahudi adalah saling memberikan isyarat dengan jari, dan salam orang-orang Majusi adalah dengan membungkuk, dan salam orang-orang Arab adalah saling mengatakan: ‘Semoga Tuhan memberkatimu,’ dan salam raja-raja saling mengatakan: ‘Selamat pagi.’ Umat ​​Muslim saling menyapa dengan mengatakan: ‘Semoga damai, rahmat, dan berkah dari Allah senantiasa tercurah padamu.’ Tidak ada keraguan bahwa salam ini adalah sebaik-baiknya salam. Kedua, salam adalah syiar keselamatan dari kesengsaraan. Tidak ada keraguan bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya lebih baik daripada upaya untuk mendapatkan manfaat. Ketiga, janji kemaslahatan adalah sesuatu yang mampu dipenuhi oleh seseorang, atau ia mungkin tidak dapat memenuhinya. Adapun janji meninggalkan keburukan, mau tidak mau ia harus mampu memenuhinya, dan salam menunjukkan hal itu. Dan telah terbukti bahwa salam adalah jenis penghormatan yang terbaik.
(Masalah ketiga), sebagian orang berkata: ‘Barangsiapa memasuki sebuah rumah, maka ia harus memberi salam kepada orang-orang yang hadir, ada beberapa alasan mengenai hal ini: pertama, firman Allah Swt.: (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya). Rasulullah Saw. bersabda: (Sebarkanlah salam), perintah ini wajib. Kedua, barangsiapa yang mengunjungi seseorang, ia ibarat orang yang mencarinya, maka orang yang dicarinya tidak mengetahui apakah ia sedang mencari untuk kebaikan atau keburukan. Sehingga ketika dicapkan kepadanya: ‘Assalamu’alaikum,’ ia telah memberinya kabar baik, keselamatan dan rasa aman dari rasa takut. Menghilangkan bahaya bagi seorang muslim adalah wajib. Rasulullah Saw.: (Seorang muslim adalah orang yang tidak menyakiti orang-orang Muslim lainnya dengan tangan dan lisannya), maka menyebarkan salam itu wajib. Ketiga, salam termasuk salah satu syiar umat Muslim, dan menampilkan syiar Islam itu wajib. Dan yang populer adalah bahwa salam itu sunnah, yang pendapat Ibnu Abbas dan al-Nakha’i. Adapun menjawab salam, mereka sepakat bahwa itu wajib, dan ada beberapa aspek yang mengisyaratkannya: Yang pertama: firman Allah Swt. bahwa apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya. (Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Yang kedua: tidak menjawab salam adalah penghinaan, dan penghinaan bahaya, dan bahaya adalah haram. 
(Masalah keempat), akhir urusan mengenai salam adalah mengucapkan: Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh, dengan dalil bahwa ini disebutkan di dalam tasyahhud.
Ketahuilah bahwa Allah Swt. berfirman: (Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Para ulama berpendapat: Yang terbaik adalah jika seorang muslim menyebutkan salam, maka pada jawabannya ditambahkan rahmah, dan jika ia menyebutkan salam dan rahmah di awal, maka barkah ditambahkan pada jawabannya, dan jika ia menyebutkan ketiganya di awal, maka itu diulangi pada jawabannya. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah: ‘Assalamu’alaika, wahai Rasulullah,’ dan beliau berkata: ‘Wa’alaikassalam wa rahmatullah wa barakatuh.’ Yang lain berkata: ‘Assalamu’alaika wa rahmatullah,’ dan beliau berkata: ‘Wa’alaikassalam wa rahmatullah wa barakatuh.’ Kemudian yang lain berkata: ‘Assalamu’alaika wa rahmatullah wa barakatuh,’ dan beliau berkata: ‘Wa’alaikassalam wa rahmatullah wa barakatuh.’ Laki-laki itu berkata: ‘Engkau kekurangan sesuatu, lalu di mana firman Allah (maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya)?’ Beliau berkata: ‘Kamu tidak meninggalkan kelebihan apapun untukku, maka aku kembalikan kepadamu apa yang kamu sebutkan.’
(Masalah kelima), orang yang memulai berkata: ‘Assalamu’alaika,’ dan yang menjawab berkata: ‘Wa’alaikumussalam.’ Ini adalah urutan yang baik, dan yang terlintas dalam benakku adalah jika ia berkata: ‘Assalamu’alaikum,’ maka permulaannya terjadi dengan mengingat Allah. Dan jika yang menjawab berkata: ‘Wa’alaikumussalam,’ maka penutupnya terjadi dengan mengingat Allah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: (Dialah yang pertama dan yang terakhir). Juga, karena karena awal dan akhir terjadi dengan mengingat Allah, maka diharapkan apa yang terjadi di antara keduanya diterima dengan ridha-Nya, sebagaimana firman-Nya: (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk). Maka jika yang memulai berkata: ‘Wa’alaikumussalam,’ maka ia telah melanggar sunnah. Akan lebih baik bagi yang menjawab mengatakan: ‘Wa’alaikumussalam,’ karena jika permulaan tidak dibuka dengan mengingat Allah, maka penutup tidak boleh meninggalkan mengingat Allah.”


Artikel diatas telah disahkan oleh Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi dan Tim Perumus KH Asnawi Ridwan, KH Taufik Damas, KH Mulawarman Hannase, dan KH Ahmad Mahrus Iskandar, pada 17 September 2023.


Fiqih Terbaru