• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Minggu, 28 April 2024

Fiqih

Putusan LBM PWNU Jakarta soal Politik Identitas di Masjid

Putusan LBM PWNU Jakarta soal Politik Identitas di Masjid
Ilustrasi Masjid Raya Sheikh Zayed. (Foto: NU Online Jakarta/Suwitno).
Ilustrasi Masjid Raya Sheikh Zayed. (Foto: NU Online Jakarta/Suwitno).

Selama ini fungsi masjid selain untuk ibadah shalat jamaah lima waktu dan i’tikaf, tetapi juga dijadikan sebagai sarana untuk indoktrinasi pemahaman keagamaan melalui kajian, majlis ta’lim, dan seterusnya. Namun belakangan, ketika tahun politik tiba, baik terkait Pilpres atau pun Pileg atau Pilkada, fungsi masjid mengalami pergeseran, yakni oleh oknum tertentu dijadikan sebagai sarana kampanye, agitasi politik, dan penyebaran politik identitas serta ideologi keagamaan tertentu melalui ustadz-ustadz yang ditentukan oleh pengurus masjid. Kalau pengurus masjidnya moderat, maka yang akan dipilih adalah ustadz-ustadz moderat. Tetapi kalau pengurus masjidnya cenderung konservatif, maka yang akan dipilih adalah ustadz-ustadz yang konservatif. Atau pengurus masjidnya memiliki afiliasi politik tertentu sehingga mengundang ustadz-ustadz yang sejalan dengan afiliasi politik tersebut.


Pertanyaan:


Bagaimana bila masjid dijadikan sarana kampanye, agitasi politik, dan politik identitas?


Jawaban:


Politik identitas yang berpotensi memecah-belah bangsa dan provokasi adalah haram apalagi dilakukan di tempat yang suci yaitu masjid. Tetapi jika menyuarakan persatuan, etika politik, perdamaian, keadilan, dan nilai-nilai luhur lain serta high politics (politik luhur) maka diperbolehkan. Juga yang terpenting adalah bahwa kita wajib mentaati dan mengikuti peraturan pemerintah, khususnya peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Republik Indonesia sebagai lembaga yang diberi amanat dan yang punya domain mengatur kampanye dan aturan yang lain terkait Pemilu.


Penjelasan Para Ulama


حاشية الصاوي على الشرح الصغير - بلغة السالك لأقرب المسالك، ٥۰٦/١
وَأَوَّلُ مَنْ قَرَأَ فِي آخِرِهَا: {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ} [النحل: 90] عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَإِنَّهُ أَحْدَثَ ذَلِكَ بَدَلًا عَمَّا كَانَ يَخْتِمُ بِهِ بَنُو أُمَيَّةَ خُطْبَتَهُمْ مِنْ سَبِّهِمْ لِعَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، لَكِنْ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ عَلَى خِلَافِهِ.


“Orang pertama yang membaca di akhir khutbah: (Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan) [Q.S. al-Nahl: 90] adalah Umar bin Abdul Aziz. Ia melakukan itu untuk menggantikan apa yang dilakukan Bani Umayyah di dalam khutbah mereka dengan mengutuk Ali ra., tetapi penduduk Madinah melakukan sebaliknya.”


منح الجليل شرح مختصر خليل، ٤۳٨/١
وَأَمَّا خَتْمُهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ} [النحل: 90] الْآيَةُ، فَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ غَيْرُ مَطْلُوبٍ، وَأَوَّلُ مَنْ قَرَأَهَا فِي آخِرِهَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - عِوَضًا عَمَّا كَانَ يَخْتِمُ بِهِ بَنُو أُمَيَّةَ خُطَبَهُمْ مِنْ سَبِّ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - لَكِنْ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ عَلَى خِلَافِهِ.


“Adapun khubah ditutup dengan firman Allah Swt: (Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan)” [Q.S. al-Nahl: 90, maka arti kata-kata mereka yang tampak adalah tidak diwajibkan, dan orang pertama yang membacanya di akhir khutbah adalah Umar bin Abdul Aziz ra. sebagai ganti apa-apa yang dilakukan Bani Umayyah di dalam khutbah mereka dengan mengutuk Ali ra., tetapi penduduk Madinah melakukan sebaliknya.”


حاشية ابن قاسم العبادي (قَوْلُهُ: وَلَوْ فِي حَالِ الدُّعَاءِ لِلسُّلْطَانِ) قَدْ يُخَالِفُهُ مَا تَقَدَّمَ عَنْ الْمُرْشِدِ إذْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الدُّعَاءَ لِلسُّلْطَانِ لَيْسَ لَهُ حُكْمُ الْخُطْبَةِ إلَّا أَنْ يُفَرَّقَ.


“(Perkataannya: meskipun dalam berdoa bagi sultan/penguasa) mungkin bertentangan dengan apa yang telah disebutkan di atas dari guru pembimbing/mursyid, karena ini menunjukkan bahwa doa kepada sultan/penguasa tidak bisa dihukumi khutbah kecuali dipisah/dibedakan.”


بريقة محمودية، ١۲۳/۳كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ} [البروج: 10] الْآيَةَ وَقَالَ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «الْفِتْنَةُ نَائِمَةٌ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَيْقَظَهَا» قَالَ الْمُنَاوِيُّ الْفِتْنَةُ كُلُّ مَا يَشُقُّ عَلَى الْإِنْسَانِ وَكُلُّ مَا يَبْتَلِي اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ وَعَنْ ابْنِ الْقَيِّمِ الْفِتْنَةُ قِسْمَانِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ وَفِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ وَقَدْ يَجْتَمِعَانِ فِي الْعَبْدِ وَقَدْ يَنْفَرِدَانِ (كَأَنْ يُغْرِيَ) مِنْ الْإِغْرَاءِ (النَّاسَ عَلَى الْبَغْيِ) مِنْ الْبَاغِي فَقَوْلُهُ (وَالْخُرُوجِ عَلَى السُّلْطَانِ) عَطْفُ تَفْسِيرٍ لِأَنَّ الْخُرُوجَ عَلَيْهِ لَا يَجُوزُ وَكَذَا اعْزِلُوهُ وَلَوْ ظَالِمًا لِكَوْنِهِ فِتْنَةً أَشَدَّ مِنْ الْقَتْلِ وَكَذَا الْمُعَاوَنَةُ لِقَوْمٍ مَظْلُومِينَ مِنْ جِهَتِهِ إذَا أَرَادُوا الْخُرُوجَ عَلَيْهِ وَكَذَا الْمُعَاوَنَةُ لَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ لِكَوْنِهِ إعَانَةً عَلَى الظُّلْمِ كَمَا فِي الْحَاشِيَةِ لَعَلَّ هَذَا مِنْ قَبِيلِ الْأَخْذِ بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ عِنْدَ تَعَارُضِهِمَا إذْ الْخُرُوجُ عَلَى السُّلْطَانِ الظَّالِمِ لِظُلْمِهِ يُفْضِي إلَى سَفْكِ دِمَاءٍ كَثِيرَةٍ مِنْ الطَّرَفَيْنِ وَمُحَارَبَاتٍ وَمُقَاتَلَاتٍ أَكْثَرَ ضَرَرًا مِنْ ظُلْمِ السُّلْطَانِ. قَوْلُهُ: (وَإِنَّمَا بُنِيَتْ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ) قَالَ النَّوَوِيُّ: مَعْنَاهُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَالصَّلَاةِ وَالْعِلْمِ وَالْمُذَاكَرَةِ فِي الْخَيْرِ وَنَحْوِهَا. قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى مَنْعِ الصَّنَائِعِ فِي الْمَسْجِدِ قَالَ: وَقَالَ بَعْضُ شُيُوخِنَا: إنَّمَا يُمْنَعُ مِنْ الصَّنَائِعِ الْخَاصَّةِ، فَأَمَّا الْعَامَّةُ لِلْمُسْلِمِينَ فِي دِينِهِمْ فَلَا بَأْسَ بِهَا وَكَرِهَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ تَعْلِيمَ الصِّبْيَانِ فِي الْمَسَاجِدِ وَقَالَ: إنَّهُ مِنْ بَابِ الْبَيْعِ وَهَذَا إذَا كَانَ بِأُجْرَةٍ، فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ كَانَ مَكْرُوهًا لِعَدَمِ تَحَرُّزِهِمْ مِنْ الْوَسَخِ.


Sebagaimana Allah Swt. berfirman: (Sesungguhnya orang-orang [para pemilik parit] yang menganiaya orang-orang beriman, serta para perempuan yang beriman) [Q.S. al-Buruj: 10]. Rasulullah Saw. bersabda: (Fitnah itu tidur, Allah melaknat orang yang membangunkannya). Al-Manawi berkata: ‘Fitnah adalah segala sesuatu yang menyulitkan manusia yang Allah jadikan sebagai ujian/cobaan kepada hamba-hamba-Nya.’ Ibnu al-Qayyim berkata: ‘Ada dua macam fitnah: fitnah syubhat (keragu-raguan) dan fitnah syahwat (hawa nafsu). Keduanya bisa menyatu dalam diri seorang hamba, atau berdiri sendiri-sendiri/terpisah, seperti menggoda/merayu manusia untuk melakukan pelanggaran/kejahatan dan melakukan pemberontakan melawan penguasa. 


Pemberontakan melawan penguasa tidak diperbolehkan, demikian juga pemakzulannya meskipun ia zhalim (tidak adil), karena merupakan fitnah yang lebih buruk dari pembunuhan. Demikian pula membantu suatu kaum yang tertindas oleh penguasa jika mereka ingin memberontak melawannya, serta membantu penguasa dengan cara ini untuk membantu kezhalimannya, seperti dijelaskan dalam hâsyiyah, mungkin ini termasuk dalam al-akhdz bi akhaff al-dharayn (mengambil yang lebih ringan dari dua bahaya yang bertentangan) karena memberontak melawan penguasa zhalim karena ketidakadilannya dapat menyebabkan pertumpahan banyak darah di kedua belah pihak, juga perang dan pembunuhan yang lebih berbahaya daripada ketidakadilan penguasa.


Sabda Rasulullah Saw.: (Masjid dibangun untuk tujuan [kenapa ia] dibangun). Al-Nawawi berkata: ‘Artinya untuk mengingat Allah, shalat, menuntut ilmu, mudzakarah dalam kebaikan, dan sejenisnya.’ Qadhi Iyadh berkata: ‘Hadits ini mengindikasikan larangan melakukan kerajinan di masjid.’ Ia berkata, ‘Sebagian dari syaikh kami berkata: ‘Sesungguhnya yang dilarang adalah pekerjaan-pekerjaan khusus, tetapi pekerjaan-pekerjaan umum terkait agama, maka tidak apa-apa. Sebagian ulama Hanafi memakruhkan pengajaran untuk anak-anak di masjid.’ Ia berkata: ‘Yang dilarang adalah aktivitas jual-beli dengan upah, tetapi kalau tanpa upah maka dihukumi makruh karena tidak mereka tidak bisa menghindar dari mengotori masjid.”


الشوكاني، نيل الأوطار، ١٨٢/٢ والمنافقون الذين بنوا مسجدًا؛ مضارة للمؤمنين وكفرًا بالله وتفريقًا بين المؤمنين، ليصلي فيه بعضهم ويترك مسجد (قباء) الذي يصلي فيه المسلمون، فيختلف المسلمون ويتفرقوا بسبب ذلك، وانتظارا لمن حارب الله ورسوله من قبل -وهو أبو عامر الراهب الفاسق- ليكون مكانًا للكيد للمسلمين، وليحلفنَّ هؤلاء المنافقون أنهم ما أرادوا ببنائه إلا الخير والرفق بالمسلمين والتوسعة على الضعفاء العاجزين عن السير إلى مسجد (قباء)، والله يشهد إنهم لكاذبون فيما يحلفون عليه. وقد هُدِم المسجد وأُحرِق.


Dan orang-orang munafik yang membangun masjid; untuk menimbulkan kemudharatan bagi orang-orang beriman dan kekafiran kepada Allah serta perpecahan di kalangan orang-orang yang beriman, sehingga sebagian dari mereka shalat di masjid itu dan meninggalkan masjid Quba tempat umat Muslim shalat. Akibatnya, umat Muslim berselisih dan terpecah-belah, dan untuk menunggu orang-orang yang berperang melawan Allah dan Rasul-Nya sebelumnya—yaitu Abu Amir al-Rahib yang tidak bermoral—untuk menjadi tempat berkomplot melawan umat Muslim, dan supaya orang-orang munafik ini bersumpah bahwa dengan membangun masjid tersebut mereka tidak bermaksud apa-apa selain kebaikan dan bentuk kasih sayang kepada umat Muslim dan memberikan kemudahan kepada orang-orang lemah dan tidak mampu berjalan ke masjid Quba. Dan Allah bersaksi bahwa mereka adalah pendusta terhadap apa yang mereka sumpahkan itu. Dan masjid telah dirobohkan dan dibakar.


تفسير الجلالين : و منهم «الذين اتخذوا مسجدا» وهم اثنا عشر من المنافقين «ضرارا» مضارة لأهل مسجد قباء «وكفرا» لأنهم بنوه بأمر أبي عامر الراهب ليكون معقلا له يقدم فيه من يأتي من عنده وكان ذهب ليأتي بجنود من قيصر لقتال النبي صلى الله عليه وسلم «وتفريقا بين المؤمنين» الذين يصلون بقباء بصلاة بعضهم في مسجدهم «وإرصادا» ترقبا «لمن حارب الله ورسوله من قبل» أي قبل بنائه، وهو أبو عامر المذكور «وليحلفن إن» ما «أردنا» ببنائه «إلا» الفعلة «الحسنى» من الرفق بالمسكين في المطر والحر والتوسعة على المسلمين «والله يشهد إنهم لكاذبون» في ذلك، وكانوا سألوا النبي صلى الله عليه وسلم أن يصلي فيه فنزل.


“Di antara mereka ada ‘orang-orang yang mendirikan masjid’; mereka berjumlah 12 orang dari kaum munafik; ‘untuk menimbulkan kemudharatan’, yaitu membahayakan (menimbulkan kemudharatan) bagi jamaah Masjid Quba; ‘untuk untuk kekafiran’, karena mereka mendirikannya atas perintah Abu Amir al-Rahib untuk menjadi benteng pertahanan baginya di mana ia dapat memajukan siapa pun yang datang di sisinya. Ia telah pergi membawa tentara dari Kaisar untuk melawan Nabi Saw..; ‘untuk memecah belah antara orang-orang mukmin’ yang shalat di masjid Quba dengan shalat beberapa orang dari mereka di masjid mereka sendiri; ‘untuk menunggu’ kedatangan ‘orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu”, yaitu sebelum masjid itu dibangun, ia adalah Abu Amir al-Rahib yang tersebut di atas; ‘mereka sesungguhnya bersumpah’ bahwa yang; ‘kami inginkan’ dengan membangun masjid itu; ‘tidak lain hanyalah’ perbuatan ‘baik’, berupa kebaikan kepada orang-orang miskin di tengah hujan, panas terik, dan juga keluasan bagi umat Muslim; ‘Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta’ dalam sumpahnya. Mereka telah meminta Nabi Saw. untuk shalat di dalamnya, maka turunlah ayat ini.”


تفسير السعدي كان أناس من المنافقين من أهل قباء اتخذوا مسجدا إلى جنب مسجد قباء، يريدون به المضارة والمشاقة بين المؤمنين، ويعدونه لمن يرجونه من المحاربين للّه ورسوله، يكون لهم حصنا عند الاحتياج إليه، فبين تعالى خزيهم، وأظهر سرهم فقال‏:‏ ‏‏وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا‏‏ أي‏:‏ مضارة للمؤمنين ولمسجدهم الذي يجتمعون فيه ‏‏وَكُفْرًا‏‏ أي‏:‏ قصدهم فيه الكفر، إذا قصد غيرهم الإيمان‏.


“Sebagian orang munafik dari penduduk Quba membangun sebuah masjid di sebelah masjid Quba. Mereka ingin menimbulkan konflik dan perselisihan di antara orang-orang yang beriman, dan mereka mempersiapkannya untuk orang-orang yang mengharapkannya dari kalangan orang-orang yang memerangi Allah SWT. dan Rasul-Nya, agar menjadi benteng bagi mereka ketika mereka memerlukannya. Maka Allah SWT. menunjukkan aib mereka dan membuka rahasia mereka. Dia berfirman: (Dan [di antara orang-orang munafik itu] ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin). ‘Kemudharatan’ maksudnya: mudharat bagi orang-orang yang beriman dan bagi masjid tempat mereka berkumpul. ‘Kekafiran’ maksudnya: niat mereka adalah kekafiran ketika ada orang-orang selain mereka yang ingin beriman.”


Artikel di atas adalah hasil bahtsul masail LBM PWNU DKI Jakarta yang telah disahkan oleh: Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi di Jakarta, pada 17 September 2023.


Fiqih Terbaru