• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 3 Mei 2024

Fiqih

Putusan LBM PWNU DKI Hukum Mengkafirkan Muslim Akibat Pemahaman Agama yang Berbeda dengan Mayoritas

Putusan LBM PWNU DKI Hukum Mengkafirkan Muslim Akibat Pemahaman Agama yang Berbeda dengan Mayoritas
Dan ditetapkan bahwa ‘ishmah (perlindungan dari takfir) berasal dari pernyataan “tidak ada Tuhan selain Allah” secara pasti, sehingga hal ini hanya dapat dibantah secara pasti. (Foto: NU Online
Dan ditetapkan bahwa ‘ishmah (perlindungan dari takfir) berasal dari pernyataan “tidak ada Tuhan selain Allah” secara pasti, sehingga hal ini hanya dapat dibantah secara pasti. (Foto: NU Online

Nabi Muhammad diperintah oleh Allah hanya sebatas untuk mengajak umat manusia agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat, dan menjatuhkan hukuman pidana kepada mereka yang secara terang-terangan melakukan kerusakan, merugikan, atau melenyapkan nyawa seseorang. Tetapi, Nabi membolehkan para sahabat dan umatnya yang berilmu (ulama) untuk berijtihad. Sehingga, bisa dipahami bahwa kekeliruan seseorang dalam berijtihad tidak bisa dijadikan alasan untuk menjatuhkan hukum pidana kepadanya, merampas hartanya, dan menjatuhkan martabat serta kewibawaannya.


Terlebih jika seseorang itu berpendapat di luar maisream akan tetapi sejatinya pendapat itu selaras dengan pendapat seorang ualam klasik yang tertulis dalam kitab kuning, maka pandangannya adalah absah masih dalam kategori pandangan yang berbasis referensi dan merujuk pendapat ulama salaf al-shalih, sehingga hal ini tidak boleh sama sekali dikafirkan dan dihukum pasal penistaan agama.


Apabila seseorang keliru dalam berijtihad, maka kewajiban kita adalah meluruskannya dengan menyampaikan argumentasi-argumentasi ilmiah, terjadi diskusi dan polemik yang produktif, sebagaimana para ulama salaf as-shalih yang terdapat dalam kitab kuning yang begitu kaya dan beragam pendapat lantaran di antara ulama saling menghormati pendapat yang lain, tidak dengan menerapkan pasal penistaan agama. 


Selama seseorang itu shalat atau ahli kiblat dan menyebut kedua kalimat syahadat “Lâ Ilâha Illâllâh Muhammad Rasûlullâh”, maka jika ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas (di luar mainstream), maka tidak boleh dianggap sebagai penista agama dan tidak boleh dipidanakan.


Penjelasan Para Ulama


فيصل التفرقة مابين الإسلام والزندقة، ٨۲-٨۳
فأن تكف لسانك عن أهل القبلة ما امكنك ما داموا قائلين لا إله إلا الله محمد الرسول الله غير مناقضين لها والمناقضة تجويزهم الكذب على رسول الله بعذر او غير عذر فإن التكفير فيه خطر والسكوت لا خطر فيه.
وأما القانون فهو ان تعلم ان النظريات قسمان قسم يتعلق باصول العقائد وقسم يتعلق بالفروع. واصول الإيمان ثلاثة الإيمان بالله وبرسوله وباليوم الآخر وما عداه فروع. فاعلم انه لا تكفير في الفروع اصلا لكن في بعضها تخطئة كما في الفقهيات وفي بعضها تبديع كالخطأ المتعلق بالإمامة وأحوال  الصحابة.


“Hendaknya kamu menjaga lisanmu semampumu kepada ahli kiblat (orang-orang yang melaksanakan shalat) selama mereka mengucapkan kalimat Lâ Ilâha Illâllâh Muhammad Rasûlullâh tanpa menentangnya. Mereka ditentang kalau mereka membolehkan untuk tidak percaya kepada Rasulullah Saw. dengan atau tanpa udzur/darurat. Maka pengkafiran—kepada ahli kiblat itu—adalah berbahaya, dan diam adalah tidak berbahaya.
Adapun undang-undang, perlu diketahui bahwa teori terdapat dua bagian, yaitu: bagian pertama berkaitan dengan dasar-dasar/pondasi-pondasi keyakinan (akidah) dan bagian kedua berkaitan dengan cabang-cabang. Sedangkan dasar-dasar iman ada tiga yaitu iman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir, sementara yang lainnya adalah furû’ (cabang). Maka ketahuilah bahwa tidak ada pengkafiran sama sekali dalam persoalan furu’ (cabang), tetapi sebagian ada kekeliruan sebagaimana dalam masalah fikih, dan sebagian yang lain ada pembid’ahan seperti kekeliruan terkait imamah dan prilaku para sahabat.”


الاقتصاد في الاعتقاد، ٨١/١
الرتبة الرابعة: المعتزلة والمشبهة والفرق كلها سوى الفلاسفة، وهم الذين يصدقون ولا يجوزون الكذب لمصلحة وغير مصلحة، ولا يشتغلون بالتعليل لمصلحة الكذب بل بالتأويل ولكنهم مخطئون في التأويل، فهؤلاء أمرهم في محل الاجتهاد. والذي ينبغي أن يميل المحصل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً. فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأ، والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم. وقد قال صلى الله عليه وسلم: أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله محمد رسول الله، فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها. وهذه الفرق منقسمون إلى مسرفين وغلاة، وإلى مقتصدين بالإضافة إليهم، ثم المجتهد يرى تكفيرهم وقد يكون ظنه في بعض المسائل وعلى بعض الفرق أظهر. وتفصيل آحاد تلك المسائل يطول ثم يثير الفتن والأحقاد، فإن أكثر الخائضين في هذا إنما يحركهم التعصب واتباع تكفير المكذب للرسول، وهؤلاء ليسوا مكذبين أصلاً ولم يثبت لنا أن الخطأ في التأويل موجب للتكفير، فلا بد من دليل عليه، وثبت أن العصمة مستفادة من قول لا إله إلا الله قطعاً، فلا يدفع ذلك إلا بقاطع. وهذا القدر كاف في التنبيه على أن إسراف من بالغ في التكفير ليس عن برهان فإن البرهان إما أصل أو قياس على أصل، والأصل هو التكذيب الصريح ومن ليس بمكذب فليس في معنى الكذب أصلاً فيبقى تحت عموم العصمة بكلمة الشهادة.


“Golongan keempat: Muktazilah, Musyabbihah, dan semua golongan selain para filsuf, mereka adalah orang-orang beriman dan tidak membolehkan berdusta karena suatu kepentingan atau tidak, dan mereka tidak mempergunakan pembenaran untuk kepentingan dusta mereka itu tetapi dengan takwil (penafsiran). Hanya saja mereka keliru dalam takwil, maka masalah mereka itu ada di wilayah ijtihad. Hal yang seharusnya dilakukan [terhadap mereka] adalah menghindari takfir (mengkafirkan) sekalipun ditemukan cara/jalan untuk melakukannya. Menghalalkan darah dan harta dari orang-orang yang melaksanakan shalat menghadap kiblat yang dengan jelas menyatakan ‘tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah’ adalah kesalahan. Dan kesalahan meninggalkan seribu orang kafir dalam hidup lebih ringan daripada kesalahan menumpahkan secangkir darah umat Muslim. Rasulullah Saw. telah bersabda: (Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka berkata bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah. Jika mereka mengatakannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak). 
Aliran-aliran ini terbagi atas golongan-golongan musrifîn (berlebihan) dan ghulât (ekstrimis), dan selain golongan-golongan tersebut juga terdapat golongan muqtashidîn. Seorang mujtahid menganggap mereka kafir, dan pendapatnya mungkin lebih jelas dalam beberapa masalah dan terhadap sejumlah golongan. Beberapa masalah ini dirinci secara panjang lebar dan kemudian menimbulkan perselisihan dan kebencian. Kebanyakan dari mereka yang melakukan hal ini dimotivasi oleh fanatisme dan mengikuti pengingkaran terhadap Rasulullah oleh orang yang mengingkarinya. Kebanyakan dari mereka yang melakukan hal ini dimotivasi oleh fanatisme dan mengikuti takfir yang mendustakan [ajaran] Rasulullah Saw., dan mereka sama sekali bukan pendusta, dan tidak ada ketentuan bagi kami bahwa keliru dalam takwil harus dikafirkan, harus ada dalil untuk itu. Dan ditetapkan bahwa ‘ishmah (perlindungan dari takfir) berasal dari pernyataan “tidak ada Tuhan selain Allah” secara pasti, sehingga hal ini hanya dapat dibantah secara pasti. Hal ini cukup untuk menunjukkan bahwa keberlebih-lebihan adalah tindakan ekstrim seseorang dalam menyatakan takfir tanpa didasarkan pada bukti, karena bukti itu bisa berupa dasar atau analogi dengan suatu dasar. Dan dasar itu adalah pendustaan/pengingkaran yang nyata, dan barangsiapa yang tidak mengingkari, maka ia sama sekali tidak bisa disebut ingkar, sehingga ia tetap berada di bawah pengertian umum ‘ishmah dengan kalimat syahadat.”


Artikel diatas telah disahkan oleh Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi dan Tim Perumus KH Asnawi Ridwan, KH Taufik Damas, KH Mulawarman Hannase, dan KH Ahmad Mahrus Iskandar, pada 17 September 2023.


Fiqih Terbaru