• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Jumat, 26 April 2024

Literatur

Kisah Mimpi KH Noer Muhammad Iskandar Jadi Politisi

Kisah Mimpi KH Noer Muhammad Iskandar Jadi Politisi
KH Noer Muhammad Iskandar, Pendiri Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta. (Foto: dok Asshiddiqiyyah)
KH Noer Muhammad Iskandar, Pendiri Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta. (Foto: dok Asshiddiqiyyah)

KH Noer Muhammad Iskandar memiliki mimpi dan keinginan yang kuat untuk menjadi seorang politisi. Keinginan ini disebabkan oleh latar belakang kehidupan di desa yang banyak diwarnai intrik politik dan terinspirasi oleh perjuangan para tokoh NU di dalam ranah politik. Sebenarnya menjadi seorang pendakwah adalah cita-cita kedua, sementara menjadi politikus masih berlangsung secara diam-diam. Kiai Noer meyakini bahwa politik sangat dibutuhkan dalam perjuangan dakwah dan pendidikan.


Banyak alasan yang memperkuat Kiai Noer untuk memilih cita-cita itu. Di antaranya adalah pasang surut perjuangan dakwah NU sejak 1945 yang dipengaruhi oleh situasi politik. Banyak pula kebijakan politik yang merugikan umat seperti kezaliman, intimidasi, kecurangan, sampai pada langkah-langkah kotor yang terjadi.


Kiai Noer merasakan betapa dunia pesantren sangat mempunyai andil besar terhadap berdirinya republik ini. Mulai era 1970-an, santri seakan tidak memiliki kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara adil. Dalam sistem pendidikan nasional, pondok pesantren terbukti sudah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, ulama-ulama dan pejuang yang militan, tetapi ternyata tidak mendapat pengakuan. Seakan ada rekayasa politik untuk menghabisi peran pondok pesantren.


Kiai Noer mulai melibatkan diri dalam dunia politik saat di bangku perkuliahan. Aktivitas politiknya dimulai di sana. Sebagai mahasiswa yang aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kiai Noer mulai menyadari praktik politik yang sesungguhnya. Ia menganggap fase itu merupakan permulaan dan pengenalan terhadap seluk-beluk dunia politik praktis. Setelah keluar dari kampus, Kiai Noer harus memutuskan sebuah pilihan, antara terus terlibat dalam politik praktis atau keluar dan memulai celah lain yakni berpolitik tidak dalam bentuk yang praktis.


Kiai Noer akhirnya mencoba melakukan pendekatan politik dari segi moral. Sebab persoalan-persoalan moral dalam aktivitas politik terasa diabaikan. Para praktisi politik menghalalkan berbagai cara demi mencapai tujuannya. Karena hal itu, ia mencoba untuk memahami persoalan-persoalan tersebut. Sebab menurut Kiai Noer, berpolitik tidak harus dilakukan melalui kegiatan di partai politik.


Upaya Kiai Noer untuk menegakkan amar ma’ruf pada dasarnya adalah aktivitas politik, karena dibutuhkan strategi dan taktik yang sedapat mungkin bisa mempengaruhi orang lain. Menegakkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, juga sebuah kegiatan politik. Sebab upaya itu adalah demi mempengaruhi kondisi sosial. Karenanya, ketika merencanakan membangun Pesantren Asshiddiqiyah, Kiai Noer membuka jaringan ke semua komunitas yang terkait dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.


Sebagai institusi pendidikan, tugas utama pondok pesantren yang dibangun ini memang bergelut di dunia pendidikan. Namun, untuk menjabarkannya secara lebih luas, banyak aspek lain yang tidak bisa dilepaskan. Misalnya, membangun citra pondok pesantren yang sedang menghadapi banyak tantangan. Menjelaskan kepada para pemegang kebijakan bahwa pondok pesantren adalah institusi pendidikan yang punya hak sama dengan lembaga pendidikan lain.


Kiai Noer menempatkan Pesantren Ashiddiqiyah untuk fokus dengan persoalan sendiri tanpa menyadari realitas yang berkembang di lingkungannya, tanpa peduli dengan aspek lain yang ikut menentukan cita-citanya. Untuk mengambil posisi itu memang tidak mudah. Dibutuhkan pendekatan dan jaringan komunikasi yang luwes, fleksibel, dan akomodatif. Kiai Noer memberi keberpihakan kepada kepentingan masyarakat, khususnya komunitas pendidikan dan dakwah.


Kiai Noer selalu berkomunikasi dengan masyarakat arus bawah, terutama ketika melayani permintaan berceramah. Sembari memberikan siraman rohani untuk mereka, beliau pun juga mendapat pelajaran yang sangat berharga dari komunitas sosial yang paling rendah.


Pada masa Orde Baru, setiap penceramah yang bernada kritis dan koreksi terhadap pemerintah selalu mendapatkan intimidasi. Mereka seakan membutuhkan pertolongan agar bisa keluar dari praktik-praktik penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan oleh penguasa. Bukan cerita baru kalau seorang dai ditangkap, diintimidasi, diteror, dan bahkan diancam pembunuhan.


Semua teks khutbah Idul Adha, Idul Fitri, ceramah maulid dan sejenisnya harus diperiksa oleh penguasa setempat, yakni para birokrat dan tentara. Pondok pesantren dianggap sebagai sarang ekstremis. Ini semua merupakan bentuk dari perilaku politik yang diskriminatif.


Ancaman ini selalu muncul dari dua kelompok, yakni kelompok dessident (pembangkang) dan kelompok subversif. Kelompok subversif terdiri dari dua golongan, yakni ektrem kiri dan ekstrem kanan. Ekstrem kiri itu sebutan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ekstrem kanan itu adalah sebutan untuk Islam. Dalam operasinya, mereka selalu menggunakan strategi infiltrasi, baik ke ABRI maupun ke pondok-pondok pesantren.


Sebuah posisi politik yang sangat merugikan umat Islam yang diberikan penguasa saat itu. Dalam keadaan seperti itu, Kiai Noer pun ikut membantu untuk mengubah keadaan sekecil apa pun, peran itu dibutuhkan. Maka selain terus melayani masyarakat, baik melalui pendidikan di pondok pesantren, pengajian rutin untuk masyarakat langsung, Kiai Noer pun merasa berkewajiban untuk memahami persiapan tersebut. Praktik kotor tersebut harus dihentikan.


Kiai Noer berkeyakinan bahwa meski tidak mampu menghentikan, minimal harus bisa menguranginya. Kiai Noer bersama para mubaligh lainnya mencoba membangun kesadaran ini. Kepada kalangan penguasa, Kiai Noer menyampaikan aspirasi agar mereka bisa melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Bahkan kepada institusi militer, ia menyampaikannya. Karena Kiai Noer menyadari peran mereka cukup strategis dalam proses kehidupan sosial saat itu.


Bila penguasa memberi ruang pada akhlak dan moral atau para politisi melandasi perjuangannya pada orientasi kerakyatan bukan pada kekayaan dan kekuasaan, tentu berbagai bentuk intimidasi tidak akan terjadi. Namun, perlu waktu untuk mengubah keadaan menjadi seperti itu. Kekuasaan yang terlalu kuat sampai merenggut semua institusi yang ada di dalam negara ini membuat Kiai Noer lebih memilih bergerilya di tataran moral.


Halimatu Sa'diyah, Mahasantri Mahad Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta
*)Tulisan ini disarikan dari buku Pergulatan Membangun Pesantren karya Amin Idris (2009).
 


Editor:

Literatur Terbaru