• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 2 Mei 2024

Dari Betawi

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

5 Kuliner Khas Jakarta yang Begitu Melekat dengan Filosofi dan Tradisi Islam

5 Kuliner Khas Jakarta yang Begitu Melekat dengan Filosofi dan Tradisi Islam
Ilustrasi: Kuliner khas Jakarta (foto: unsplash.com).
Ilustrasi: Kuliner khas Jakarta (foto: unsplash.com).

Sebagai rumah bagi suku Betawi, Jakarta tak hanya kaya akan keanekaragaman budaya namun juga kaya akan keanekaragaman kulinernya. Salah satu yang menarik adalah hadirnya kuliner-kuliner khas Betawi yang begitu melekat akan filosofi dan tradisi Islam.


Kuliner-kuliner tersebut telah menjadi bagian dari warisan budaya Betawi selama berabad-abad. Semuanya memiliki makna dan pesan tersendiri yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam.


Dari sekian banyak kuliner, berikut ini sederet kuliner khas Jakarta yang sarat dengan filosofi dan tradisi Islam.


Nasi Uduk

Nasi uduk merupakan kuliner khas Betawi yang memiliki aroma khas dan menggugah selera karena menggunakan perpaduan santan, serai, dan daun pandan. Biasanya, nasi uduk disajikan dengan berbagai macam lauk seperti ayam goreng, telur dadar, orek tempe, bihun goreng, sambal terasi, dan kering kentang untuk semakin memperkaya rasanya.


Dari beberapa bukti sejarah, salah satu sejarah menjelaskan bahwa nasi uduk sebenarnya berasal dari kerajaan Mataram, di mana Sultan Agung yang menyukai nasi Arab mencoba membuat nasi Arab dengan selera sendiri dan diberi nama 'nasi wudu'. Nasi ini dimasak dengan santan dan disajikan dengan ayam ingkung yang diikat dengan tali sehingga nampak seperti sedang bersujud.


Ada juga sambal gepleng yang berarti pengingat untuk banyak berzikir. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang Jawa memperkenalkan nasi wudu saat berada di Jakarta dan menjadi semakin populer sehingga kini menjadi salah satu makanan khas yang terkenal dari Betawi.

Ali Bagante
Bagi sebagian besar orang, ali bagente mungkin begitu asing. Kuliner ini memang sudah tergolong sebagai kuliner yang langka dan terancam punah. Padahal, ali bagente merupakan jajanan khas Jakarta yang begitu sarat makna.


Jika diperhatikan, nama dan penyebutan alie bagente nampak lekat dengan budaya Arab. Namun, jajanan ringan ini ternyata merupakan perpaduan antara budaya Arab, Cina, Jawa, dan Betawi.


Konon, jajanan renyah ini berawal dari kebiasaan masyarakat Betawi yang begitu dekat dengan ajaran Islam sehingga memilih untuk mengeringkan sisa nasi hangus mereka dibandingkan harus dibuang. Setelah dijemur, nasi hangus yang telah dikeringkan kemudian digoreng hingga matang dan diberi lapisan gula. Teksturnya yang renyah dan rasanya yang manis membuat ali bagente seringkali hadir saat Ramadan dan lebaran.
 

Nasi Kebuli

Di Jakarta, nasi kebuli adalah hidangan populer yang dapat ditemukan di banyak restoran hingga warung makan. Sejarah nasi kebuli dapat ditelusuri kembali ke masa penjajahan Belanda di Indonesia pada abad ke-19.


Pada saat itu, Belanda membawa banyak rempah-rempah dari Asia Selatan dan Timur Tengah ke Indonesia untuk diperdagangkan. Salah satu rempah-rempah yang dibawa adalah beras basmati dan beberapa rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkeh, kardamom, dan jintan. Dari sinilah muncul masakan nasi kebuli yang merupakan perpaduan antara rempah-rempah Timur Tengah dengan beras Basmati.


Awalnya, hidangan ini hanya disajikan di kalangan keluarga Arab dan Melayu di Jakarta sebagai hidangan spesial untuk perayaan-perayaan tertentu, seperti pernikahan atau hari raya. Umumnya disajikan dalam porsi besar dan dapat dimakan bersama-sama, sehingga mendorong orang untuk berkumpul dan saling berbagi.


Bir Pletok

Bir pletok asal Betawi merupakan minuman yang terbuat dari campuran rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, cengkeh, kapulaga, daun pandan, jeruk purut, dan kayu secang yang direbus hingga berwarna cokelat kemerahan. Meskipun menggunakan kata 'bir', minuman ini sama sekali tidak mengandung alkohol yang memabukkan. Rempah-rempah yang digunakan justru memberikan cita rasa yang unik dan sulit digambarkan.


Pada zaman kolonial Belanda, Orang-orang Betawi seringkali menyaksikan betapa meriah dan mewahnya pesta yang digelar oleh kalangan penjajah ditemani jamuan wine. Mereka terinspirasi oleh cita rasa wine yang memabukkan namun tidak boleh dikonsumsi di dalam Islam.


Maka mereka menciptakan bir pletok, varian non-alkohol dari wine yang menggunakan bahan dan rempah-rempah lokal. Nama 'bir' diambil karena warnanya mirip dengan bir dan wine, sementara 'pletok' berasal dari suara yang timbul saat membuka botol wine.


Gabus Pucung

Selain ali bagente, kabarnya gabus pucung juga turut menjadi salah satu kuliner khas Jakarta yang terancam langka. Dari beberapa faktor, ikan gabus yang merupakan bahan utama dalam pembuatan gabus pucung mulai sulit untuk didapatkan di daerah perkotaan seperti Jakarta.


Padahal, awal kemunculan gabus pucung dikarenakan mahalnya budidaya ikan bandeng, ikan mas, dan ikan mujair pada zaman kolonial Belanda. Agar masyarakat Betawi tetap bisa mengkonsumsi ikan, mereka akhirnya memilih ikan gabus karena pada saat itu lebih mudah untuk diperoleh. Wilayah Jakarta yang sebagian besar ditutupi oleh area persawahan dan rawa-rawa pada saat itu membuat masyarakat Betawi lebih mudah untuk memperoleh ikan gabus.


Seiring berjalannya waktu, hidangan berkuah hitam ini akhirnya begitu menyatu dengan tradisi masyarakat Betawi. Kuliner ini seringkali hadir di beberapa tradisi Betawi, seperti tradisi nyorong. Tradisi di mana seorang anak atau menantu harus mengantarkan makanan kepada orang tua mereka dalam rangka mempererat tali silaturahmi menjelang bulan Ramadan dan lebaran.


Menelusuri sejarah dan filosofi yang melekat pada setiap kuliner khas Jakarta tersebut dapat memberikan gambaran bagaimana pengaruh Islam dan budaya-budaya lain telah menyatu di dalam sebuah cita rasa kuliner yang unik dan beragam. Tak bisa dipungkiri pengaruh budaya lokal dan mancanegara juga turut berperan penting dalam perkembangan kuliner-kuliner khas Jakarta yang patut dilestarikan.
 

Baca juga:

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/01/12/bagaimana-asal-usul-dari-nasi-uduk
https://www.google.com/amp/s/metro.sindonews.com/newsread/675915/173/sejarah-nasi-uduk-berawal-dari-kegemaran-sultan-agung-mataram-menyantap-nasi-arab-1643893370
https://www.senibudayabetawi.com/6890/ali-bagente-jajanan-khas-betawi-yang-legendaris.html#:~:text=Nama%20Ali%20Bagente%20tak%20lepas,yang%20artinya%20Ali%20cinta%20kamu.
https://books.google.co.id/books?id=e3-sCAAAQBAJ&pg=PA33&dq=nasi+kebuli+dan+islam+Jakarta&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&sa=X&ved=2ahUKEwiTv-fy3OT-AhWS4DgGHSnGDTEQ6AF6BAgCEAM#v=onepage&q=nasi%20kebuli%20dan%20islam%20Jakarta&f=false
https://www.google.com/amp/s/www.tagar.id/bir-pletok-asal-mula-khasiat-dan-standarisasi-mutu/amp/?bshm=bshwcqp/2
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150622154243-262-61620/sejarah-bir-pletok-betawi-tiruan-anggur-barat-tanpa-alkohol
https://www.merdeka.com/jabar/diadakan-jelang-puasa-tradisi-nyorog-jadi-simbol-hormat-warga-betawi-ke-orang-tua.html?page=2


Artikel di atas merupakan karya dari Ridha Tiara Motik, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta.


Dari Betawi Terbaru