• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Sabtu, 20 April 2024

Literatur

Mengenang KH Ahmad Hamid Wijaya: Ketua Umum GP Ansor Pertama Yang Ahli Tafsir

Mengenang KH Ahmad Hamid Wijaya: Ketua Umum GP Ansor Pertama Yang Ahli Tafsir
KH Ahmad Hamid Wijaya adalah sosok tokoh NU yang memiliki banyak prestasi dan kelebihan. Beliau tidak hanya seorang aktivis dan organisatoris yang banyak berjasa membesarkan NU. (Foto: Istimewa).
KH Ahmad Hamid Wijaya adalah sosok tokoh NU yang memiliki banyak prestasi dan kelebihan. Beliau tidak hanya seorang aktivis dan organisatoris yang banyak berjasa membesarkan NU. (Foto: Istimewa).


Saat saya diminta untuk menuliskan hasil riset Tim Riset Jakarta Islamic Centre (JIC) tahun 2022 tentang Tafsir Al-Qur`an dan Hadits Ulama Jakarta, ada seorang mufasir Al-Qur`an di Jakarta yang selama ini belum diketahui banyak orang, yaitu: KH Ahmad Hamid Wijaya. 


Beliau direkomendasikan sebagai ulama tafsir atau muffasir Jakarta dari salah seorang narasumber riset, Nur Hamidah Muhibbudin, atas saran dari Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A, Mantan Menteri Agama RI. 


Dari yang saya pelajari, KH Ahmad Hamid Wijaya adalah sosok tokoh NU yang memiliki banyak prestasi dan kelebihan. Beliau tidak hanya seorang aktivis dan organisatoris yang banyak berjasa membesarkan NU, terutama GP Ansor, tetapi juga seorang ulama tafsir, mufasir dengan karya tafsirnya yang menjadi bagian dari khazanah tafsir Nusantara. 
   

Namanya yang tertulis menggunakan ejaan lama: Chamid Widjaja.  KH Ahmad Hamid Wijaya lahir di  Bugul Lor, Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 24 April, 1923. Beliau adalah salah seorang cucu dari KH Muhammad Siddiq, Jember, Jawa Timur.  


Semasa kecil, beliau belajar agama kepada orang tuanya sendiri, KH Mahmud Siddiq di Pesantren Gebang, Jember, Jawa Timur.


Kemudian bleiau melanjutkan pendidikannya kepada KH Cholil Harun Kasingan, Rembang, Jawa  Tengah kemudian ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur untuk berguru kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy`ari.   


Selama belajar di Pesantren Tebuireng, beliau menjabat Ketua Kring (Ranting) NU Tebuireng.  Di zaman penjajahan Jepang, Beliau dipercaya menjabat sebagai Ketua NU Babat, Lamongan, Jawa Timur. Beliau juga pernah menjadi guru agama di asrama pusat pelatihan Hizbullah di Cibarusa, Bogor pada tahun 1944. 


Ketika terjadi revolusi pada tahun 1945, beliau aktif di GPII Cabang Bangil, Jawa Timur sekaligus menjabat Kepala Staf Hizbullah dan Sekretaris Sabilillah Bangil.


Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua GPII Karesidenan Besuki (1947-1948), Wakil Ketua Cabang Masyumi Jember (1948), dan menjabat Sekretaris Umum PBNU (1949) dalam usia 26 tahun.


Dengan jabatannya sebagai Sekretaris Umum PBNU ini, beliau ditugasi oleh PBNU untuk melakukan konsolidasi Pimpinan Pusat Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) yang telah lama vakum akibat revolusi fisik.


Pada tanggal 14 Desember 1949, konsolidasi ANO berhasil dilakukan oleh KH Ahmad Hamid Wijaya di Surabaya, Jawa Timur. Di konsolidasi ini, ANO berganti nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dengan KH Ahmad Hamid Wijaya sebagai ketua umumnya yang pertama ketika GP Ansor menggelar kongresnya yang pertama (1951).


Begitu pula dalam kongres GP Ansor yang kedua di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1952, nama KH Ahmad Hamid Wijaya masih dalam posisi pertama. Beliau pula yang memimpin penerbitan majalah Bintang Sembilan milik PP GP Ansor.


Menjelang pemilu pertama di Indonesia (1955), KH Ahmad Hamid Wijaya menjabat sebagai Sekretaris Pusat Lapunu (Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama). Hasil pemilu tahun 1955 ini mengantarkan dirinya menjadi anggota Konstituante. Dan pada tahun 1963,beliau terpilih lagi sebagai Ketua Umum PP GP Ansor di Kongres GP Ansor di Surabaya, dalam persidangan yang dipimpin oleh AA Acshin. 


Sejak tahun 1968, beliau terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA), dengan KH Ahmad Syaichu sebagai Presiden OIAA sedangkan NU bertindak sebagai pemrakarsa OIAA. Pada tahun yang sama, beliau juga menjabat sebagai Pimpinan Umum Koran Duta Masyarakat.


Puncak Karir KH Ahmad Hamid Wijaya di PBNU terjadi sejak bulan Juni 1979. Beliau dipercaya untuk menjabat sebagai Katib Aam PBNU, hasil keputusan Muktamar NU ke-26 di Semarang, Jawa Tengah. 


Beliau mendampingi KH Bisri Syansuri sebagai Rais Aam PBNU. Begitu pula dalam periode selanjutnya posisinya tidak berubah karena hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 kembali mempercayakan posisi Katib Aam PBNU kepada KH Ahmad Hamid Wijaya dan beliau mendampingi KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU.


KH Ahmad Hamid Wijaya wafat pada tanggal 10 Nopember 1988 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Turbah Condro, Jember, Jawa Timur. Di antara peninggalan hasil karyanya adalah delapan jilid kitab Tafsir Al-Mahmudy dan sebuah manuskrip kitab fiqih yang belum diberi judul.      


Mufasir Jakarta

Menurut Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A. karena KH Ahmad Hamid Wijaya bertempat tinggal di Jakarta dan lama tinggal di Jakarta, maka KH Ahmad Hamid Wijaya termasuk ulama Jakarta, mufasir Jakarta.


Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A. menyampaikan dalam prakata di Tafsir Al Mahmudy, beliau mengenal dekat dengan (alm) KH Ahmad Hamid Wijaya.. Menurutnya, KH Ahmad Hamid Wijaya begitu semangatnya mengarahkan anak-anak muda, termasuk dirinya yang masih dianggapnya muda dan seperti anak sendiri. 


Dia merasakan semangat KH Ahmad Hamid Wijaya yang mempunyai konsep-konsep yang cukup hebat, tetapi dirinya mrasakan memang belum ada peluang untuk melakasanakan konsep-konsep dari KH Ahmad Hamid Wijaya.


Dalam kesempatan mengenang jasa di masa hidupnya, Prof Dr. H. Sayid Agil Husein Al Munawwar berulang kali menziarahi makam KH Ahmad Hamid Wijaya. 


Banyak pengalaman-pengalaman berharga yang diterima oleh Prof Dr. H. Sayid Agil Husein Al Munawwar.. KH Ahmad Hamid Wijaya  sama sekali tidak pernah bercerita  bahwa beliau telah berhasil menulis satu tulisan ilmiah yang cukup berharga. 


Hasil dari bacaan KH Ahmad Hamid Wijaya  yang begitu banyak kemudian dirangkum dengan kata-kata yang ringkas dan indah, dapat dicerna, serta dapat dipahami oleh semua golongan. Bahasanya tidak terlalu tinggi yang berbeda dari penulisan tafsir-tafsir yang sudah ada.


Sedangkan dari keluarga, di pengantar tafsir tersebut, yaitu isttri almarhum, Ny. H. Sa’adah Hamid, menyampaikan ucapan Alhamdulillah dan bersyukur karena telah terselesaikannya tafsir Al- Mahmudy Juz 1 yang dapat diterbitkan bertepatan dengan diselenggarakanya Muktamar NU di Yogyakarta. 


Tafsir ini telah lama selesai seluruhnya (30 Juz) dikerjakan oleh KH Ahmad Hamid Wijaya pada tanggal 11 April 1989, namun baru saat ini dapat diwijudkan untuk bisa dibaca, dinikmati dan ditelaah kaum Muslimin khususnya warga besar Nahdlatul Uiama disebabkan karena kesibukan dan kondisi KH Ahmad Hamid Wijaya yang kurang mendukung untuk segera dapat mewujudkan cita-citanya.


Di sela-sela kesibukan menjelang akhir hayatnya, KH Ahmad Hamid Wijaya tetap tidak melepaskan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, khusunya mendidik isteri dan putera-puterinya dala hal agama.


Tafsirnya ini merupakan warisan yang sangat berharga bagi keluarga yang ditinggalkan, dan bermanfaat untuk dipelajari guna mengetahui lebih lanjut tentang isi kandungan AL Qur’an. Tentunya kami ditinggalkan merasa bersyukur, karena almarhum mewariskan buah karyanya yang lainnya sebuah kitab fiqih.


Isi Tafsir Al-Mahmudy

Tafsir Al-Mahmudy ditulis oleh KH Ahmad Hamid Wijaya pada tahun 1980-an. Tafsir Al-Mahmudy diterbitkan oleh PBNU pada saat Maktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Penerbitan ini lengkap beserta dengan pengantar dari PBNU dan juga dari beberapa penganut PBNU yang menjabat pada periode tersebut. Sebab, penulis tafsir  Al-Mahmudy adalah Katib Am PBNU yang menjabat selama dua periode.


Dr. KH Idham Chalid dalam pengantar Tafsir Al-Mahmudy menyampaikan: “ Saya tertarik pada sistematika beliau dalam penyusunan tafsir ini. Dalam membahasa-Indonesiakan makna ayat-ayat, beliau menggunakan bahasa yang populer, mudah dipahami, namun selalu menjaga agar jangan terlalu bebas sehingga kehilangan atau mengurangi sari makna dari ayat-ayat yang mulia itu. 


Kemudian mendekatkan paham yang mendetail, beliau mengadakan `pengertian bahasa` sepatah demi sepatah. Baru kemudian dibuat ungkapan yang merupakan penjelasan dan tafsiran yang padat dalam isi dan maksud dari ayat-ayat itu. 


Saya menghargai dan terharu atas usaha sahabat saya yang saya hormati itu, karena saya memahami kesibukannya di sela-sela kesehatanya yang sering terganggu, almarhum masih sempat menyusun tafsir yang mulia dan bernilai ini. Semoga kitab ini bermanfaat bagi sekalian dan bagi almarhum merupakan Ilmun Yuntafa’u bihi yang maqbul di sisi Allah SWT ”.


Metode dan Corak Tafsir Al-Mahmudy

Tafsir Al-Mahmudy menggunakan metode tahlili, yaitu metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. 


Di Tafsir Al-Mahmudy beliau mengupas Surat Al-Fatihah dan Surat Al-Baqarah beserta ungkapannya.Namun, tafsir ini tidak sesuai dengan pemikiran NU karena dianggap masih dalam pemahaman atau bercorak ro’yi atau menggunakan tafsir ro`yi atau tafsir bil ro`yi.


Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Penulis Buku Mengenal Tafsir Al-Qur`an dan Hadits Ulama Jakarta
 


Literatur Terbaru