Jakarta Raya

Mahfud MD: Kalau Hukum Ingin Bagus, Politiknya Harus Bagus

Sabtu, 28 Juni 2025 | 19:30 WIB

Mahfud MD: Kalau Hukum Ingin Bagus, Politiknya Harus Bagus

Prof Mahfud MD di kegiatan Sekolah Nahdliyin Pergerakan (Sniper) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, di Kantor PWNU DKI Jakarta, Sabtu (28/6/2025). (Foto: NU Online/Arif)

Jakarta Timur, NU Online Jakarta

Mantan Menteri Koordinator (Menko) Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Prof Mahfud MD menegaskan bahwa kondisi politik dan hukum di Indonesia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dia mengatakan bahwa tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia di mana hukum bisa berjalan baik sementara politiknya buruk.


Hal itu ia sampaikan dalam kegiatan Sekolah Nahdliyin Pergerakan (Sniper) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, di Kantor PWNU DKI Jakarta, Sabtu (28/6/2025). 
 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan bahwa kualitas hukum sepenuhnya bergantung pada kualitas politik yang ada. Ia menyampaikan pandangannya mengenai korelasi antara politik dan hukum berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia dalam kegiatan.

 

"Kalau politik bagus, hukum bagus. Tapi memang kalau hukum ini ingin bagus, politiknya harus bagus. Tidak ada sejarahnya hukum bagus tapi politiknya kurang," tegasnya.

 

Dia memaparkan bukti konkret dengan mengambil contoh periode 1945-1959 ketika Indonesia menerapkan sistem demokratis. Mahfud menjelaskan bahwa saat politik berjalan demokratis dengan terbentuknya partai politik secara bebas dan pembentukan DPR dari BPKNIP, kualitas hukum juga mengalami kemajuan pesat.

 

"Jadi ketika politik demokratis sampai tahun 1959, hukumnya bagus-bagus. Karena pada saat itu hampir semua undang-undang dibuat oleh DPR," ungkapnya.

 

Sebaliknya, dia mencatat kemunduran kualitas hukum ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang mengubah sistem dari demokratis menjadi otoriter. Mahfud menyebutkan bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, undang-undang tidak lagi dibuat bersama DPR melainkan melalui Perpres sepihak.

 

"Undang-undang tidak diperhatikan pada waktu itu, sudah dekret-dekret Bung Karno. Kalau undang-undang itu kan dibuat bersama DPR, tapi Bung Karno tidak mau, maka dia buat Perpres," katanya.

 

Pola serupa terjadi pada masa Orde Baru. Dia menjelaskan bahwa tiga tahun awal pemerintahan Soeharto (1966-1969) menunjukkan kondisi politik dan hukum relatif baik, namun mulai 1969 keduanya mengalami kemunduran hingga Reformasi 1998.


Mahfud juga memberikan contoh Singapura yang meskipun politiknya kurang demokratis, hukumnya tetap tidak bisa berjalan dengan baik.


"Seperti di Singapura, politiknya kurang demokratis, tidak ada pemilu, sampai akhirnya pemimpinnya turun sendiri," ungkapnya.


Dia menggunakan analogi bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana politik dan hukum juga memiliki hubungan erat.


"Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Kalau kamu mau memperjuangkan agama, kalau kamu tidak punya kekuasaan, kamu akan dikalahkan seperti waktu zaman Belanda," katanya.