• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Kamis, 25 April 2024

Literatur

Mengenal KH Ahmad Bagja, Guru Pergerakan Kampus IKIP Jakarta

Mengenal KH Ahmad Bagja, Guru Pergerakan Kampus IKIP Jakarta
KH Ahmad Bagja. (Foto: dok istimewa)
KH Ahmad Bagja. (Foto: dok istimewa)

KH Ahmad Bagja lahir pada 13 Maret 1943. Ia adalah putra ketujuh dari pasangan Muhammad Tohir Husein dan Arkasih. Ia lahir dan dibesarkan dari kalangan petani yang berjiwa santri. Kiai Ahmad Bagja sangat jarang bertemu dengan sang ayah karena kesibukannya sebagai tentara Hizbullah Kuningan yang bermarkas di Lebakwangi. 


Keluarganya merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang pernah mengeyam pendidikan ilmu pesantren di Sindang Laut, Cirebon Timur, sekaligus mengaji pada seorang kiai trah kasultanan Cirebon yakni Kiai Ismail (Mbah Ismail), pendiri pesantren di Pesawan, Sindang Laut, Cipeujeuh.


Selama mengeyam pendidikan, Kiai Ahmad Bagja pernah mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) empat tahun di Cirebon sebagai persiapan untuk menjadi seorang guru Sekolah Dasar (SD). 
 

Kiai Ahmad Bagja dikenal sebagai seorang santri yang mahir berpidato semasa di Pesantren Cadas Ngampar. Pasca lulus dari pesantren, ia sempat melanjutkan Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) selama dua tahun di Bandung. Sebelum melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), ia sempat tinggal di daerah Kampung Rawa, Pasar Gembrong, Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.


Di periode ini, Kiai Ahmad Bagja bersama sahabatnya bernama Benyamin membentuk kepengurusan Ansor Ranting Rawa atas rekomendasi Muzaini Ramli yang merupakan Ketua Ansor DKI Jakarta semasa itu.


Dalam pendidikan, KH Ahmad Bagja menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Kemasyarakatan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sempat ditempatkan di Kampus IAIN Pacet, Cianjur tetapi terhenti karena aksi demonstrasi mahasiswa pada 1966. Lalu ia kembali melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan pendidikan di IAIN tahun 1969.


Dia juga pernah menjadi anggota dan pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Pacet, Cianjur, sehingga saat melanjutkan studi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ia begitu terobsesi untuk mengembangkan PMII. 


Pada 1970, Kiai Ahmad Bagja melengkapi gelar kesarjanaannya dengan melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (IKIP Jakarta) yang sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta (UNJ).


Dulu, UNJ belum memiliki komisariat seperti sekarang. Para mahasiswanya lebih banyak beraktivitas dalam organisasi yang lain seperti Dewan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Melihat hal ini, Kiai Ahmad Bagja berinisiatif membentuk sekaligus mendirikan Komisariat PMII IKIP Jakarta ketika masuk kuliah pada 1970.


Pengalamannya yang pernah menjadi pengurus Komisariat PMII Fakultas Tarbiyah IAIN itu, dikembangkan di kampus Rawamangun. Impiannya mengembangkan PMII menjadi organisasi mahasiswa yang mampu diperhitungkan secara nasional, dimulai dari kampus IKIP Jakarta. 


Bagi Kiai Ahmad Bagja, Kampus IKIP Jakarta mesti menjadi proyek percontohan awal untuk memulai gerakan untuk mengubah wajah baru PMII di kampus umum. Hal itu membuat dirinya mengajak mahasiswa lain untuk berkolaborasi. 


Puncaknya, Kiai Ahmad Bagja terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta periode 1971-1972. Gagasannya mengenai basis PMII dari kampus agama ke kampus umum berhasil diraih hingga membuat PMII UNJ semakin besar dan masif dalam bergerak hingga sekarang.


“Asumsi orang yang mengembangkan di luar IAIN memang susah, saya kira ternyata tidak juga. Ternyata saya mampu mengembangkan PMII di luar IAIN bahkan bisa menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa. Itulah permulaan saya ikut secara resmi di ekstra yang sebelumnya aktif di intra kampus,” tutur Kiai Ahmad Bagja. (lihat buku Ahmad Bagja Sang Guru Pergerakan, 2021).


Kiai Ahmad Bagja telah membuktikan bahwa perubahan itu bukan omong kosong. Idenya mengenai perubahan ini pun sampai terdengar hingga tingkatan cabang, serta DKI Jakarta. Bahkan sempat masuk dalam pembahasan Kongres ke-5 PMII di Ciloto, Jawa Barat.


Menurutnya, PMII merupakan anak kesayangan NU dan mewadahi para mahasiswa yang secara kultural dibesarkan dalam tradisi NU sehingga eksistensi bukan hanya terletak pada PMII saja, tetapi juga pada NU.


Kiai Ahmad Bagja sangat membebaskan anggotanya untuk menjadikan PMII apa saja. Mulai dari tempat mengangkut kader muda potensial NU ke kancah kekuasaan, wadah tempat pengembangan gagasan, atau menjadi tempat untuk menjaga tradisi NU agar tetap hidup dengan merawat rasa kangen kekeluargaan yang hangat. 


Dirinya sama sekali tidak menginginkan pembentukan komisariat tersebut hanya sebatas menaikkan popularitas, tetapi justru lebih ingin PMII UNJ menjadi laboratorium mahasiswa NU untuk terus eksis di kampus umum.


Annas Eka Wardhana, Kader PMII UNJ Jakarta
*) Tulisan di atas disarikan dari buku Ahmad Bagja Sang Guru Pergerakan karya Nasution, Azis Muhammad, Abdullah Taruna, Yana Priatna (2021)
 


Editor:

Literatur Terbaru